BAIK PUN BELUM TENTU BERMANFAAT
Sepuluh orang baik jauh lebih buruk dibandingkan satu orang yang menebar manfaat. Baik saja tidak cukup jika tidak bermanfaat, apalagi merasa diri paling baik. Asas kebaikan akan berlaku sewajarnya, sebab tidak semua manusia tau diri saat dibaikin. Namun, jauh berbeda dengan manfaat, ia tidak melihat reaksi apa pun kecuali keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfat.
Hidup ini adalah ruang serba keterbatasan. Apa pun yang sedang dijalani sebuah keterbatasan yang harus diterima. Posisi apa saja dan dari proses yang sedang dijalani saat ini harus dipahami sebagai bentuk keterbatasan diri kita masing-masing. Maka, tidak ada yang patut diagungkan dari keterbatasan tersebut, kecuali menjadikannya sebagai rute manfaat.
Oleh karena itulah Tuhan menekankan pada kita, bukan seberapa hebat keberadaan posisi masing-masing yang dituntut, melainkan seberapa manfaatkah yang dapat ditularkan kepada orang lain atau makhluk yang lain dari keberadaan kita. Percayalah, jika kesombongan atas keberadaan dan posisi masing-masing yang ditunjukkan, maka keberadaan siapa pun tidak akan pernah memberi manfaat yang nyata bagi lingkungannya.
Seandainya saja tidak memiliki materi yang banyak untuk menyodorkan modal-modal dalam rangka menggerakkan kehidupan orang lain, maka sodorkanlah kebaikanmu pada yang lain sesuai kemampuan dan keahlian. Ajak objek-objek yang lain dalam menempuh perjalanan itu, agar setiap kita bisa bergerak bersama secara kolektif. Semakin tinggi posisi dan kedudukan, maka semakin besar pula manfaat yang harus diberikan. Bukan sebaliknya, semakin tinggi posisi dan kedudukan semakin besar pula keuntungan yang harus didapatkan dari orang-orang.
Kebaikan yang diberikan dalam bentuk materi akan terpatri dalam dirinya, dan begitu juga dengan kebaikan dalam bentuk non-materi akan diingat sebagai bentuk saluran manfaat atas keberadaan dirimu bagi orang lain. Manusia tidak dituntut memberi sebanyak-banyaknya, kita hanya diminta bermanfaat sebisa yang dilakukan sesuai dengan keahlian dan profesi.
Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Iman Ahmad bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia”. (HR. Ahmad)
Ajak orang lain untuk menerima manfaat dari mu, sebagaimana seorang pemodal mengajak entepreneur mengembangkan potensi marketingnya. Bagi yang telah dipilih untuk menerima manfaat dari orang lain, peliharalah kepercayaan itu dengan baik. Jika tidak mampu atau tidak mungkin membalasnya dengan yang lebih baik atau setara, maka doakan dirinya selalu mendapati hal-hal positif setiap masa yang dijalani.
Keberadaan kita bukan hanya dituntut bermanfaat, tetapi juga harus dibangun berdasarkan komunikasi yang baik pula. Membangun komunikasi sangatlah penting, sebab ia adalah kerjanya hati. Ilmu yang dimiliki oleh seseorang hanya memberi informasi pada otak semata dan terkadang tidak mampu untuk diucapkan dengan baik. Provokasi ilmu lebih pada mengantarkan keinginan pribadi atau kelompok atau sebagian saja. Sementara pikiran hanya lahir dari informasi-informasi itu, dan sifatnya sangatlah mendadak sesuai fakta yang sedang dihadapi.
Komunikasi merupakan ucapan yang mencerminkan hati yang dikelola oleh pikiran saat menyampaikannya. Adapaun pikiran lebih mengakomodir aspirasi dirinya saja. Manusia sebagai hamba yang diberi potensi keinginan yang berlebihan yang disebut dengan nafsu, komunikasi sering dikacaukan oleh pikiran yang dibangun berdasarkan nafsu itu sendiri.
Sampai pada tahap ini apa yang diucapkan oleh mulut adalah keinginan hati, baik ucapannya disebabkan baik hatinya. Jika buruk ucapannya, maka itu juga keinginan hatinya. Buruk di sini dipahami dua pengertian; baik ucapan lisannya dan baik niat hatinya, begitu juga sebaliknya; buruk ucapannya dan buruk juga niat hatinya.
Baik ucapan lisan keluar kata-kata yang indah untuk didengar, sementara baik ucapan hati muncul tindakan yang membawa keberkahan untuk orang lain. Jika hati seseorang tidak baik maka ucapannya juga buruk dan niatnya juga jahat. Antara hati dan ucapan tidaklah kontradiksi dalam tindakan, jika hatinya baik, ucapannya juga baik, dan tindakannya juga baik. Tindakan yang baik adalah yang membawa manfaat untuk orang lain.
Belumlah tentu; ketika kita mendapati seseorang dengan pendidikan tinggi, seabed gelar melekat pada dirinya dapat membentuk hati yang baik. Sebab pendidikan hanya membentuk pikiran tidak membangun kekuatan pada hati. Dan tidak kecil kemungkinan dengan gelar-gelar tersebut ia akan menipu banyak orang dengan menampakkan baik di lisan ternyata buruk di hati. Ciri utama orang yang buruk pondasi hatinya ia selalu melihat keuntungan untuk dirinya saja dalam berbagai hal. Dan ini akan berlaku dalam wilayah apapun dalam kerja sosial.
Perbaikilah hatimu; walaupun ilmumu sedikit, dengan hati yang baik manusia akan menyuguhkan kebaikan bagi orang lain dalam bentuk apa pun. Jika hatimu buruk, maka tiada guna ilmu dan gelar pendidikan yang disandangkan. Modal utama membangun hati yang baik adalah dengan bersikap tenang, santai, tidak berlebihan, dan diri selalu dihadirkan sesuai dengan konteks yang sedang dihadapi. Sehingga keberadaan objek-objek yang lain ikut merasa santai dan tenang ketika berada di sekitar kita.
Orang-orang yang beriman menenangkan hatinya dengan berdzikir. Ketahuilah; dengan berzikir pada hatimu akan tenang (firman). Tenang di sini adalah mendapati hati yang baik. Dan dengan itu pula kita akan berucap sesuatu yang baik pula, serta tentunya akan menghasilkan tindakan yang baik pula untuk semua pihak dalam bentuk apa pun. Berkomunikasilah dan bertindaklah dengan baik agar supaya orang-orang tahu jika hatimu baik.
Orang-orang yang membatasi pengetahuan hanya sampai diotak saja ia akan mempertanyakan apa pun yang berada di sekelilingnya termasuk keberadaan orang lain. Sebab, sistem kerja pikiran selalu mendeteksi gejala-gejala yang muncul dari apa yang dilihat. Sebanyak apa pun pengetahuan yang dimiliki seseorang jika masih bertengger diotak ia tetap menjadi benalu dalam diri manusia.
Pengetahuan selalu curiga dengan objek-objek yang baru, maka keberadaannya terus mencari dan menemukan penjelasan-penjelasan terhadap objek-objek tersebut. Jika saja objek yang mengitarinya adalah manusia, maka ia terus mempertanyakan dan curiga atas keberadaan orang lain di sisinya. Bukan hanya sampai di situ ia akan menganggap keberadaan orang lain sebagai ancaman baginya; baik ancaman jabatan, karir, ekonomi, politik, kekuasaan, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan orang-orang yang memposisikan ilmunya sampai ke hati dan bersemanyam di qalbu, walaupun pengetahuannya sedikit akan berfungsi sebagai materi perasa, kedudukannya tidak lagi sebagai alat pencari, tetapi keberadaannya tidak pernah curiga pada apa pun, namun lebih pada media perasa. Ilmu yang tidak diamalkan hanya bermanfaat untuk lidah saja. Artinya, hanya berguna untuk ucapan semata.
Dengan media perasa itulah ia tidak lagi menganggap ancaman serta mencurigai objek-objek yang mengitarinya kecuali sudah nyata ancaman itu ada. Semua objek yang mengitarinya termasuk manusia itu sendiri menjadi magnet untuk saling merasa satu sama lain, dan bukan saling menghancurkan. Dengan begitu belajar tasawuf itu penting sebab ia memasukkan ilmu dalam qalbu.
Orang yang berilmu tapi tidak terbangun kesadaran dalam dirinya akan membawa problem buruk dalam kehidupan. Ia akan menjadi pribadi yang tuli rasa, apalagi jika orang seperti ini mendapatkan kedudukan penting dalam status sosial. Maka, kehadirannya akan melahirkan ketidaknyamanan banyak objek.
Namu, berbeda dengan seseorang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan yang banyak tetapi terbangun kesadaran yang kuat dalam dirinya; keberadaan dirinya akan menjadi diri yang baik. Tidak mengapa ilmu sedikit, namun ketika kesadaranmu banyak akan mencari cerahan pada orang lain yang memiliki pengetahuan. Karena kesadaranlah manusia mudah menerima masukan, nasehat, dan petunjuk dari orang yang berilmu.
Sebagian kelompok yang buruk; sudah ilmu tidak punya, kesadaran pun tidak tertanam dalam dirinya. Maka, orang seperti ini keberadaannya menjadi penyakit dalam masyarakat. Tentunya lebih berbahaya lagi jika ia mendapat posisi penting dalam kehidupan sosial.
Carilah ilmu sebanyak-banyaknya, bangunlah kesadaran rasa sekuat-kuatnya, dan hindarilah kebodohan, serta ketidaksadaran. Hindarilah kebodohan dengan giat belajar pada siapa pun; baik lembaga pendidikan umum maupun lembaga lembaga pendidikan agama, organisasi, atau dalam kehidupan sehari-hari dalam menangkap peristiwa apa pun yang dialami.
Satu orang bijak lebih baik dari pada sepuluh orang alim. Orang alim suka bermasalah dengan ilmunya, sementara orang bijak selalu menyelesaikan masalah dengan kata-katanya. Allah Swt memberikan hikmah pada orang yang dikehendaki-Nya. Untuk menjadi bijak haruslah berilmu, dan memperoleh kealiman harus mempelajari ilmu pengetahuan dengan baik. Jika saja pikiran dan hati belum bijak, maka berdoalah pada Tuhan agar ditanamkan sifat kebijaksanaan dalam diri, sehingga keberadaan manusia tidak menimbulkan masalah bagi bagi lingkungannya.
Begitu juga; keberadaan satu orang yang menebar manfaat jauh lebih penting dari pada berkumpulnya sepuluh orang baik. Sebab, orang baik hanya berguna untuk dirinya saja, sementara orang yang menebar manfaat akan berguna bagi banyak orang. Orang baik belum tentu menggerakkan kebaikan pada yang lain, sementara orang yang menebar manfaat selalu hadir menyuguhkan jalan keluar atas permasalahan yang muncul dalam realitas sosial. Bergeraknya dunia karena peran orang-orang yang bermanfaat.
Jakarta, 13 Juni 2023
Komentar
Posting Komentar