IBRAHIM: QURBAN MEMBANGUN CINTA TANPA LUKA

Rasa cinta yang menggebu-gebu pada objek tertentu tidak hanya buruk namun juga mencelakakan. Dalam sejarah perjalanan klasik cinta anak manusia, kisah Ibrahim patut dijadikan barometer bahwa cinta Ibrahim pada Tuhannya tidak membawa luka pada manusia. Artinya, kesalehan spiritual tidak membawa Ibrahim menghancurkan kesalehan sosial. Kekeliruan yang sering muncul ketika manusia membangun ketaatan kepada Tuhan tapi mengabaikan keharmonisan dengan manusia.

Nabi Ibrahim as dalam sejarah agama samawi adalah sosok yang sangat berpengaruh. Ibrahim banyak mewariskan keturunannya dalam agama-agama samawi seperti Yahudi, Narani, dan Islam. Terdapat dua peristiwa yang tidak dapat dipisahkan dari kedua Nabi yakni; Nabi Adam as dan Ibrahim; perintah untuk qurban. Qurban berdasarkan etimologi berasal dari kata qaraba-yaqrabu; yang berarti dekat atau mendekatkan.

Dekat di sini tidaklah dipahami pasif, tetapi aktif, butuh upaya untuk mendekatkan diri. Artinya, usaha hamba dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt, dengan cara mengurbankan serta menyisihkan harta terbaik yang dimiliki. Dua peristiwa ini adanya keterlibatan anak dari kedua Nabi yakni; Adam dan Ibrahim. Anak Adam telah diminta berkurban untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ketulusan Habil yang mempersembahkan qurban terbaiknya mengalahkan pengurbanan Qabil. Sementara Ismail anaknya Ibrahim diminta untuk diqurbankan.

Kisah qurban yang diperintahkan kepada anak Nabi Adam dan kepada Ibrahim melahirkan konsekuensi sama yakni; dari ritual pengurbanan ini mengakibatkan pertumpahan darah anak manusia. Qabil, sebab merasa kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi akhirnya membunuh Habil.

Dilihat dari peristiwanya, kisah pengurbanan menyisakan dua tinjauan. Pertama, pertumpahan darah terjadi karena Qabil lebih mengikuti keinginan hawa nafsunya yang tidak menerima keputusan atas dirinya. Artinya, Qabil tidak mensyukuri apa yang terbaik menurut Tuhan untuknya. Sementara Ibrahim telah mmenunjukkan sifat kebesaran hati dan rasa cintanya kepada Allah, sehingga mengalahkan cintanya pada apa pun termasuk cinta pada anaknya sendiri.

Dari ketulusan dan keikhlasan tersebut, pengurbanan Ibrahim bukan hanya diterima melainkan Ismail diganti dengan seekor domba. Dan akhirnya, pengurbanan ini menjadi syariat bagi umat Islam, yang dilaksanakan setiap 10 Zulhijjah, atau bertepatan dengan Idul adha, atau hari raya haji. Dan salah satu perintah tertua dalam ibadah umat manusia adalah perintah untuk berqurban.

Sifat ketulusan dalam diri seseorang terbangun berdasarkan kebijaksanaan. Ibrahim adalah sosok pribadi yang bijaksana. Seseorang yang memiliki kebijaksanaan setiap keputusannya tidak hanya berdasarkan cinta melainkan juga terbangun kasih sayang. Sesuai dengan namanya Ibrahim; yakni bapak yang memiliki sifat kasih sayang. Kebijaksanaan ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor usia, melainkan juga dipengaruhi berdasarkan keimanan dan kedekatan yang kuat antara Ibrahim dengan Tuhannya. Banyak juga orang yang usianya tua tapi tidak memiliki kebijaksanaan dalam dirinya.

Berbeda dengan Qabil, walaupun tidak diketahui persisi usianya, namun dapat ditebak bahwa usia Qabil tidaklah setua Ibrahim. Ibaratnya, Qabil adalah pemuda labil yang masih terpengaruh dengan keinginan-keinginan yang terkadang tidak penting. Karena masih memiliki pikiran yang demikian, maka keputusan Tuhan atas dirinya pun diingkari. Dan tidak hanya labil, Qabil juga belum mampu mengontrol emosinya, sehingga dengan ego yang diperturutkan Qabil tega membunuh sodara sekandung dengannya, hanya karena tidak rela wanita yang ia sukai harus menjadi milik Habil.

Begitulah adanya; peristiwa Qabil dan Ibrahim seharusnya menjadi barometer umat hari ini dalam menentukan siapa yang layak diangkat menjadi pemimpin di suatu wilayah atau negara. Peristiwa Qabil menandakan bahwa usia seseorang memengaruhi keputusan-keputusannya. Pemimpin yang dipilih seharusnya adalah seperti sosok Ibrahim, matang dari segi usia, pengalaman, dan cita-cita atau visi-misi menatap masa depan yang jauh.

Visi menatap masa depan, Ibrahim bukan hanya untuk dirinya saja tetapi diteruskan pada anaknya. Oleh karena visi itulah melalui doanya Ibrahim memperoleh anak yang shaleh dan keturunan-keturunannya menjadi pemimpin dimasa yang akan datang. Dan akhirnya, zaman pun membuktikan bahwa banyak dari keturunan Ibrahim diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Anak bagi Ibrahim adalah perjuangan panjang, diusia yang kesembilan puluh tahun Sarah baru dikabarkan hamil. Informasi Siti Hajar hamil bukanlah dari bidan, perawat, dokter, atau ahli-ahli kandungan dimasanya, tetapi Ibrahim dikhabarkan langsung oleh malaikat tentang kehamilan Sarah. Perjuangan untuk mendapatkan anak  dalam penantian panjang, namun anak itu lahir ke dunia Ibrahim perintah untuk mengurbankan anaknya sendiri.

Cerita tentang Nabi Ibrahim as adalah terkait dengan subjek diri. Kisah ini telah dicatat dengan baik dalam sejarah perjuangan umat manusia. Ibrahim adalah sosok ayah yang merasa belum sempurna hidup sebab belum dikarunia seorang anak. Bicara Ibrahim juga berbicara ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, sehingga hal-hal yang menyangkut dengan ketaatan dan kepatuhannya kepada Allah ia akan mengorbankan apa pun. Cerita Ibrahim juga cerita tentang pengabdian. Nabi Ibrahim telah berjalan jauh untuk menunaikan cintanya kepada Allah. Jangankan sekedar berjalan, belahan jiwanya pun jika diminta akan dikorbankan demi ketaatan kepada Tuhannya.

Puncak pengorbanan seorang ayah terlihat tatkala ia berkorban apa pun untuk kebahagiaan anaknya. Namun berbeda dengan apa yang dialami oleh Ibrahim, belum sepenuhnya membahagiakan Ismail dalam bentuk kebahagiaan dunia, malah diminta untuk menyembelih anaknya, sebagai qurban terbaik. Perintah ini sangatlah terbalik dari prinsip-prinsip kebahagian. Apalagi seorang ayah diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri yang kehadirannya sudah dinanti sangat lama.

Cerita Ibrahim bukanlah kisah kekejam seorang ayah yang rela mengikrarkan diri mengurbankan anak semata wayangnya, kisah ini tentang kecintaan seorang hamba pada Tuhannya. Ibrahim telah mencontohkan ketepatan menaruh cinta. Rasa cinta  hanya pantas diberikan pada Tuhan, sebab seseorang yang sudah menaruh rasa cinta ia ingin dibalas dengan sesuatu yang lebih baik nan harmonis.

Di sini, dalam kontek balasan cinta hanya Tuhan yang mampu membalas cinta hamba dengan tetap berlaku harmonis tanpa sedikit pun cinta itu berkurang.  Berbeda sekali jika cinta dialamatkan kepada manusia. Pertama, manusia tidak pernah mampu membalas rasa cinta yang diberikan seseoang kepadanya. Kedua, manusia tidak akan pernah berfikir untuk membalas rasa cinta itu, sebab sifaf dasar manusia lebih memilih untuk dicintai dari pada mencintai. Ketiga, manusia; jangankan berfikir membalas rasa cinta yang diberikan kepadanya dengan cinta yang lebih baik, malah manusia berfikir sebaliknya.

Keempat, manusia tidak akan berfikir membalas rasa cinta dengan membangun keharmonisan, sebagaimana Ibrahim rasakan. Kelima, manusia tidak akan pernah berfikir untuk menggantikan wujud cinta manusia dengan wujud yang lain, sebagaimana cinta Ibrahim pada Tuhannya melebihi cinta pada anaknya. Tetapi, Tuhan membangun keharmonisan cinta pada Ibrahim, dengan menggantikannya dengan seekor kibas tanpa mengurangi bobot cinta Allah pada Ibrahim, walaupun kewajibannya untuk berqurban tidak lagi sebagaimana yang diminta oleh Tuhan sebelumnya.

Cerita Ibrahim adalah cerita ketaatan, bukan cerita pembangkangan, apalagi cerita kekejaman. Ketaatan di sini bermakna Ibrahim patuh atas perintah Tuhan untuk menyembelih anaknya sebagai bentuk pengorbanan. Bukan cerita pembangkangan ketika batin seorang ayah bergejolak dikala anak semata wayangnya diperintahkan untuk disembelih, dan Ibrahim harus mengabaikan perasaan istrinya Siti Hajar.

Kisah Ibrahim bukanlah cerita kekejaman seorang ayah; manusia mana yang tidak akan mencemooh Ibrahim jika peristiwa memotong leher anaknya sendiri benar-benar dilakukan. Sifat dasar manusia, ketika keinginan-keinginannya tidak terpenuhi ia akan mengeluh dan berkata apa saja, terkadang di luar kesadarannya. Sebagaimana Ibrahim mengucapkan dalam perasaan cinta yang menggebu-gebu pada Tuhannya, jika Tuhan yang meminta anaknya sendiri pun akan dikurbankan. Dikala Tuhan menagih ucapan tersebut Ibrahim jiwa Ibrahim telah masuk dalam perasaan yang lain.

Dalam ilmu kebijaksanaan, akal tidak dibenarkan mengambil sebuah keputusan jika jiwa dalam situasi yang tidak normal, seperti dalam keadaan susah, sedih, bahkan dalam keadaan bahagia sekali pun tidak dibenarkan mengambil sebuah keputusan. Sebab, keputusan yang diambil berdasarkan perasaan menjadi bumerang bagi diri sendiri ketika suatu waktu berhadapan dengan perasaan yang lain.

Ibrahim, pada awalnya telah mengemukan sebuah pernyataan dikala jiwa dibalut cinta sepenuh hati pada Tuhannya, sehingga anaknya sendiri pun dipertaruhkan. Pada saat Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anak sewata wayangnya, itulah puncak pengorbanan seorang hamba pada Tuhannya. Tuhan ingin melihat sejauh mana ketaatan dan keimanan Ibrahim, yang pada akhirnya tiba pada titik akhir. Titik akhir cinta seorang hamba ketika ia mampu mengorbankan sesuatu yang sangat dicintainya.

Ibrahim adalah seorang Nabi yang gemar bersedekah. Suatu hari datanglah seseorang tamu ke rumahnya, dan tamu ini pun dijamu oleh Ibrahim dengan baik, serta dijamu dengan baik, dan seekor lembu dipotong untuk dipersembahkan pada tamunya. Setelah daging lembu selesai dimasak dan disajikan dihadapan tamunya, tapi tamu tersebut tidak mau memakannya, sebab ternyata tamu yang datang bukanlah manusia, melainkan malaikat yang menampakkan diri seperti manusia.

Datangnya malaikat ke rumah Ibrahim membawa berita baik kepada yakni berita tentang kehamilan istrinya. Informasi kehamilan istrinya yang sudah dinanti-nanti selama puluhan tahun. Mendengar informasi tersebut tentu membuat perasaan Ibrahim sangat bahagia. Anak yang dinanti selama puluhan tahun akhirnya berkembang di rahim Siti Hajar, lahir ke dunia, dan tumbuh menjadi anak yang shaleh. Kebahagiaan ini bukan tanpa alasan, dalam penantian panjang, diusia yang ke-90 tahun harapan untuk memiliki anak baru terwujud.

Ibrahim sebagaimana disampaikan oleh imam ar-Razi adalah bapaknya Para Nabi (Abul Ambiya). Doa-doa yang dipanjatkan oleh Ibrahim untuk memiliki anak serta anak cucunya dijadikan pemimpin dimasa yang akan datang. Melalui doa-doa tersebut akhirnya keturunan Ibrahim kebanyakan menjadi Nabi dan Rasul, seperti; Nabi Ismail, Ishak, Ya’qub, Yusuf, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Ayyub, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan Rasul penutup zaman Nabi Muhammad Saw.

                        وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim. Q. S. Al-Baqarah/002: 124.

Sudut pandang ilmu melihat banyak sisi atas peristiwa-peristiwa yang dialami manusia. Peristiwa yang dialami oleh para Nabi tidak hanya menjadi sejarah, melainkan banyak kisah-kisah yang diabadikan menjadi syariat umat bergama. Salah satu peristiwa yang menjadi syariat bagi umat Islam adalah perintah qurban pada Ibrahim untuk menyembelih anak yang begitu dicintainya. Sudut historis dari suatu peristiwa bukan hanya mengungkapkan kejadiannya, tetapi juga melihat keteladanan yang dapat diambl dari kisah-kisah tersebut. Alquran menyebutkan bahwa kisah-kisah masa lalu adalah ibrah bagi orang-orang yang berakal.

Filosof tersirat yang dapat diambil dari kisah Ibrahim dan Ismail atas perintah untuk berqurban dapat dilihat berdasarkan konteks sosiologis. Ali Syariati, sosiolog Muslim asal Iran mengemukakan bahwa Ismail adalah prilaku manusia dalam kehidupan sosial. Keberadaan Ismail bukan hanya sebagai anak, melainkan sebagai ego sentris, serta dorongan hawa nafsu yang dapat menjauhkan manusia dari Tuhannya. Qurban bermakna mendekatkan diri, karena ego dan nafsu yang dominan dalam diri manusia selalu berusaha menjauhkan dirinya dari Allah Swt.

Ismail sebagai simbol ego hadir dalam banyak prilaku sosial dengan wujud yang berbeda-beda sesuai laku hidup lintas bidang; baik dalam bentuk kekuasaan, pangkat, jabatan, kekayaan, popularitas, fisik, kecantikan, ilmu pengetahuan, pekerjaan, usaha, ketenaran, dan berbagai wujud lainnya. Ismail dalam bentuk wujud simbolik berperan pada upaya melemahkan iman dalam perjalanan spiritual manusia.

Lebih jauh dari itu semua, bahkan manusia terhindar dari rasa tanggung jawab. Akhirnya, yang dominan muncul dalam diri adalah sifat mementingkan diri sendiri, dan mengabaikan persoalan orang lain serta lingkungan sekitarnya. Atau, ego yang tertanam dalam diri mengalahkan semangat sosial dalam membangun nurani kolektif. Apapun yang dilakukan hal yang mengemuka adalah bagaimana menciptakan peluang untuk memudahkan urusan dirinya saja.

Begitu juga dengan Ibrahim yang hadir sebagai simbolik, Ibrahim dalam mengisi ruang kehidupan selalu menempatkan Tuhan atas segala sesuatu, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang begitu dicintainya. Idul adha seharusnya dijadikan sentris spiritual dalam membangun kekuatan wujud Ibrahim dalam kehidupan di berbagai lintas bidang, tanpa mengkhawatirkan wujud Ismail dalam diri.

Untuk menuju pembebasan ego atas nama cinta, wujud Ismail harus dihilangkan. Jika wujud Ismail tidak dilepas dari diri, maka manusia akan terus-menerus terhalang dengan Tuhannya. Qurban dalam pengertian upaya mendekatkan diri dengan Tuhan, malah semakin menjauh oleh karena dorongan ego dan nafsu. 

Melalui wujud simbolik Ismail dalam diri manusia, dapat menghempaskan sejauh mungkinan melihat jalan terang yang membutakan melihat kebenaran. Sebagaimana jalan gelap yang ditempuh Qabil, hanya karena keinginan yang tidak terpenuhi sesuai harapannya. Qabil tega membunuh sodaranya sendiri. Dan peristiwa seperti itu pun juga terjadi dalam masyarakat kita hari ini, yang suka membunuh karakter dan menghilangkan hak-hak orang lain.

Rasa cinta hanya pantas diberikan kepada Tuhan, sebagaimana Ibrahim melakukanya. Atas keikhlasan cinta Ibrahim, akhirnya mendapat balasan yang tidak hanya setimpal tetapi juga membangun keharmonisan dalam sejarah umat manusia. Menaruh rasa cinta pada selain Tuhan dapat mencelakakan, sebab sifat cinta tidak terlepas dari tiga perkara yang mengitarinya.

Kalo sudah tertanam sifat cinta dalam diri manusia, maka tiga perkara akan selalu mengikutinya ketika cintanya tidak sesuai dengan harapannya, yakni; cinta melahirkan sifat mencemburi, memarahi, lalu membenci. Dalam konteks Qabil, ia terlalu menaruh cinta pada manusia, sehingga Qabil tidak hanya mencemburui, memarahi, membenci bahkan ia tega menghilangkan nyawa sodaranya sendiri. Di sini, Qabil terlalu menaruh rasa cinta. Qabil terlalu mencintai lupa menyayangi.

Ibrahim; pada saat menanamkan rasa cinta pada Tuhannya, bukan berarti menghilangkan kasih untuk anak dan istrinya. Di sinilah, bentuk kebijaksanaan Ibrahim terlihat. Walaupun perintah untuk mengurbankan anaknya sudah diyakini yang datang melalui mimpi, tetapi dalam mewujudkannya tetap dilalui dengan kesepakatan bersama antara Ibrahim, Ismail, dan juga istrinya. 

Dalam konteks ini, dapat disimpulkan bahwa rasa cinta yang menggebu-gebu pada Tuhan tidak boleh menghilangkan rasa kasih dan sayang pada manusia, terutama keluarag. Walaupun itu adalah perintah Tuhan sekalipun, tetap saja dengan manusia membangun kasih dan menjalin sayang. Sebab, tidak semua orang dapat meraih cinta Tuhan. Dari rasa cinta yang ditunaikan dengan penuh keikhlasan, Ibrahim mendapatkan balasan yang jauh lebih baik dari Allah Swt. di mana, Ibrahim tidak pernah kehilangan anaknya, esensi qurban terlaksana, yang digantikan dengan seekor kibas.

Dilihat, berdasarkan perintah berqurban dapat dipahami bahwa atas ketaatan kepada Allah yang dibangun berdasarakan keikhlasan akan membentuk kebijaksanaan berfikir dalam diri seorang hamba. Dalam hal ini, Ibrahim membangun beberapa kesadaran yang dapat diambil pelajaran. 

Pertama, Ibrahim membangun kebijaksanaan dalam dirinya, melalui ketaatan kepada Tuhan. Kedua, Ibrahim membangun keharmonisan dengan manusia; yakni anak dan istrinya. Ketiga, Ibrahim membangkitkan kesadaran spiritual dan sosial. Kesadaran spiritual; Ibrahim membangun prototipe hamba yang tidak pernah putus asa dengan kehidupannya, walaupun dalam waktu lama tidak diberikan anak, namun ketika anak semata wayang lahir dan tumbuh besar juga tidak membutakan hatinya dalam membangun ketaatan kepada Tuhan.

Kesadaran sosial; Ibrahim memutuskan suatu perkara berdasarkan musyawarah, walaupun menyangkut dengan  perintah Tuhan sekali pun. Ibrahim, tidak semata-mata karena membangun ketaatan kepada Tuhannya lupa membangun keharmonisan dengan manusia. Artinya, Ibrahim membangun ketaatan tanpa membuat pihak lain terluka dengan taubatnya. Ini perlu ditanamkan dalam diri, mengingat akhir-akhir ini banyak muncul orang-orang yang membangun ketaatan tapi minim keharmonisan.

Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kisah Ibrahim sepanjang hidupnya; tidak hanya persoalan qurban saja. Ibrahim juga membangun kesadaran politik, dengan mempersiapkan generasi; sebagaimana doa yang dipanjatkan agar dikemudian hari anak-anaknya menjadi pemimpin. Anak-anak Ibrahim tidak hanya menjadi pemimpin di ranah sosial, tetapi juga menjadi pemimpin di wilayah agama yakni; menjadi Nabi dan Rasul.

Cerita Ibrahim adalah kisah seorang hamba yang komit membangun ketaatan dan keimanan. Cerita Ibrahim adalah kisah kesuksesan seorang ayah yang berhasil melahirkan serta mendidik generasi unggul. Generasi unggul ditandai dengan hadir Ismail sebagai pribadi yang shaleh tidak hanya patuh pada orang tuanya,  tetapi juga taat pada Tuhannya. Cerita Ibrahim adalah kisah seorang manusia yang membangun ketaatan tanpa mengenyampingkan keharmonisan.

Purwakarta, 30 Juni 2023 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama