MUTA’ALLIM: MEMASUKKAN SIFAT TUHAN DALAM JIWA

Al-‘ilmu nuurun, ilmu adalah cahaya. Gelapnya ruangan dapat diterangkan dengan sinar lampu, gelapnya semesta hanya dapat diterangkan dengan cahay ilmu. Ada beberapa cahaya di alam ini’ cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang, dan cahaya lampu. Selemah-lemah cahaya adalah yang tersimpan dalam benda-benda tertentu seperti batu misalnya. 

Cahaya batu tersembunyi dalam dirinya, untuk memantulkan cahayanya harus dibantu dengan sinar yang lain. Orang yang memiliki cahaya yang lemah (awam) ibarat cahaya yang tersimpan dalam batu (batu giok). Di sinilah, fungsi al-‘alim memantulkan cahayanya untuk menerangkan pikiran-pikiran awam.

Belajar adalah pekerjaan yang berat. Proses belajar-mengajar merupakan akifitas memasukkan ilmu dalam jiwa manusia. Karena dipahami berat, orang yang menempuh jalan ilmu disejajarkan dengan jihad. Bahkan, seseorang yang berangkat dari rumahnya menuju tempa di mana ilmu diajarkan, sampai ia kembali lagi ke rumahnya, jika saja dalam perjalanan berhadapan dengan maut, maka ia tergolong dalam katagori orang-orang mendapat pahala syahid.

Al-‘alim, salah satu sifat ketuhanan, terdapat pada urutan ke-19 dalam asmaul husna. Apa pun ilmu yang dipelajari dari alam ini bagian dari sifat-sifat ketuhanan. Tuhan Maha Mengetahui atas apapun yang berlaku, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Manusia, hanya mengetahui secuil saja dari sifat-sifat ketuhanan tersebut. Kemampuan manusia dalam memahami ilmu, sejauh apa pun pengetahuannya memiliki batas maksimal kemampuan makhluk.

Proses memasukkan ilmu dalam jiwa sangat berat, sebab sedang berusaha memasukkan sifat Tuhan dalam jiwa manusia. Manusia tidak akan mampu menerima ilmu jika tidak diberikan perangkat yaitu akal. Batas kemampuan pengeahuan makhlu dibatasi dengan “wama utitum minal ‘ilmi illa qaliil”. Sebanyak apa pun ilmu yang mampu dipelajari manusia tetap saja dalam batas “minal qaliil”.

Berilmu saja tidak cukup jika tidak diberi kemampuan dalam memahami ilmunya. Kecerdasan memahami adalah kedua dari proses pembelajaran. Tuhan sang pemilik ilmu tidak mengetahui tetapi juga mampu merincikan segala sesuatu dari apa yang diciptakannya. Bahkan, tidak hanya sampai disitu, Tuhan juga Maha Bijaksana (al-Hakiim).

Berbeda dengan manusia, untuk mengetahui sesuatu harus menempuh jalan yang rumit, dan melalui proses pendidikan berjenjang. Sebab, kemampuan manusia terbatas maka ilmu-ilmu yang dipelajari dipilah dalam banyak bagian. Begitu lemahnya kemampuan manusia terkait dengan ilmu, untuk mengetahui sesuatu harus melewati proses yang panjang. 

Menempuh kemajuan satu bidang ilmu saja harus melalui proses penemuan teori keilmuan selama beratus-ratus tahun. Walaupun telah menempuh jalan panjang, tetap saja pengetahuan manusia tidak sempurna, kecuali sebatas kemampuan seseorang memahami sesuai dengan zamannya.

Melalui lembaga pendidikan manusia telah menyambung pengetahuannya lewat pikiran-pikiran kaum intelektual. Ceceran-ceceran pengetahuan ini dicerdasai kembali oleh generasi berikutnya. Mencerdasi pengetahuan sangatlah penting, sebab yang namanya pengetahuan bersifat temporal. Kecerdasan zaman bukan berarti pengetahuan yang dimiliki oleh generasi sebelumnya dianggap usang, melainkan untuk mencoba membangun kembali tatanan ilmu, sehingga pikiran tidak jumud dalam memahami zamannya.

Mencerdasi ilmudi sini, bukan hanya ilmu pengetahuan alam, hukum, dan sosial semata, melainkan juga ilmu pengetahuan agama. Banyak hal yang berubah dari hidup ini. Bahkan perubahan terjadi sangatlah cepat. Jika saja pengetahuan manusia tidak bergerak lebih cepat dari zamannya, maka kehidupan ini akan digilas oleh waktu yang terus bergerak. Gerak manusia yang dibantu oleh mesin sekali pun seperti tidak mampu mengikuti pergerakan zaman itu sendiri.  Buktinya, mesin-mesin yang diciptakan manusia untuk membantu pergerakan tersebut harus diperbaharui secara terus menerus.

Alquran memuliakan orang-orang yang berilmu dengan menaikkan beberapa derajat, tetapi bukan berarti terbebas dari kekeliruan. Kemualian orang yang berilmu terletak pada kebutuhan manusia itu sendiri. Hidup adalah ruang keterbatasan, sementara manusia dihadapkan dengan masalah dalam berbagai bidang. Di sinilah fungsi orang yang berilmu dibutuhkan. Kebenaran apa saja dicapai melalui ilmu pengetahuan, logika, dan argumentasi. Ilmu tidak ada gunanya jika tidak membangun keimanan pada Tuhan. Ilmu akan menjerumuskan manusia pada keburukan jika tidak dibangun untuk iman. 

Fas alu ah-ladz adz-dzikri; bertanya pada ahli dzikir. Dalam konteks penyelesaian masalah di bidang dan pada level masing-masing "ahli dzikir" adalah ahli fikir atau disebut juga ilmuan, intelektual, petua, orang bijak, senior, orang yang telah berpengalaman di bidang masing-masing, serta apa pun ahli yang dimiliki oleh banyak pihak. Apa pun masalah yang muncul solusinya adalah ilmunya para ahli.

Bagi yang dipercaya menyelesaikan satu persoalan berdasarkan kebutuhan manusia, maka layanilah dengan baik. Sebab, melayani bagi orang yang berilmu adalah perintah agama. Antara yang bertanya dan orang yang memiliki pengetahuan terkait dengan masalah tersebut sama-sama dapat perintah dari Alquran. Pada saat dua orang bertemu dalam momen keilmuan, ketika itulah ayat Tuhan bertemu dalam satu momen.  Peran keduanya dalam menyelesaikan masalah akan mendapatkan curahan rahmat dari Tuhan. 

Selagi ada tempat bertanya, maka jangan pernah khawatir apa pun masalah yang menimpa kita. Tuhan tidak akan membebani suatu kaum kecuali sesuai dengan kemampuannya menanggung beban. Ketika suatu masalah ditimpakan pada suatu kaum atau seseorang Tuhan telah mempersiapkan solusinya melalui hamba-hambanya yang terpilih.

Pada saat seseorang memilih untuk menayakan masalah baik masalah pribadi dan orang banyak yakinlah Tuhan yang membisikkan pada orang-orang tersebut. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa ilmu adalah sifat ketuhanan. Pada saat Tuhan menginginkan jalan keluar terhadap masalah seseorang Tuhan telah mempersiapkan ilmunya melalui orang-orang yang duberikan peunjuk terhadap berbagai masalah. 

Melayani orang-orang yang membawa masalahnya, sama dengan melayani Tuhan itu sendir. Sebab, tiada hal yang berlaku di dunia ini kecuali semua itu berasal dari Tuhan itu sendiri. Di sini, letaknya keadilan Tuhan dan kebijaksanaan-Nya. Kedua, harus saling memuliakan. Orang alim dan orang awam pada saat proses belajar berlangsung mereka sedang berada dalam wilayah ketuhanan (kedamaian dan keindahan). Maka, majelis ilmu disebutkan dalam hadis sebagai taman-taman syurga.

Seorang atasan harus memberi solusi terbaik atas bawahannya. Bukan pula berlaku sebaliknya; atasan malah menutupi informasi dan mengekang kinerja bawahannya, apalagi menyangkut dengan karir, posisi, dan pemasukan. Atasan yang menutupi peluang karir bagi bawahannya melanggar perintah bertanya atas masalah. 

Seharusnya, atasan berlaku hukum informatif, sebelum bawahannya bertanya atasan terlebih dahulu memberi keterangan agar informasi yang diperoleh tidak melewati batas waktu yang dapat merugikan orang-orang. Arogansi dari sifat serakah sering berlaku sehingga banyak orang teraniaya.

Mengajar adalah perbuatan yang sangat baik, sebab ia menaruhkan kebaikan bagi orang lain. Mengajar tidak hanya identik dengan transfer ilmu pengetahuan semata, tetapi juga identik dengan sikap dan prilaku. Sehingga dua pernyataan muncul dalam proses mengajar yakni transfer of knowladge dan transfer of value.

Terkait dengan menanamkan nilai dalam proses belajar, maka mengajari anak-anak jauh lebih baik dibandingkan dengan mengajari orang dewasa. Sebab, anak-anak walaupun lemah penangkapan ilmunya, tetapi tajam dalam menangkap prilaku. Anak-anak lebih mudah diajarkan bagaimana cara bersikap, dalam waktu singkat ia akan terbawa dengan pembelajaran tersebut. oleh sebab itulah, pembelajaran sikap jauh utama bagi anak-anak dibandingkan dengan pembekalan ilmu pengetahuan.

Belajar diwaktu kecil bagaikan melukis di atas batu, belajar dikala dewasa bagaikan menulis di atas air. Pepatah lama yang sarat kebenaran ini sebagai dalil bahwa mengajari anak-anak jauh lebih mulia dibandingkan dengan mengajari orang dewasa. Ketika anak-anak menerima pelajaran walaupun sekedar bagaimana mengucapkan "basmalah" saat ia memulai sesuatu, maka pelajaran tersebut akan melekat dan terbawa dalam kehidupannya. 

Di sinilah, pendidikan caracter lebih utama dibandingkan pendidikan knowladge bagi anak-anak, termasuk bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Mengajari orang dewasa bagaikan melukis di atas air. Orang dewasa banyak masalahnya dan banyak pula maunya.

Ilmu dapat dimiliki oleh siapapun. Kepemilikan yang ada pada diri seseorang, yang mana ketika diberikan setiap orang dapat menerimanya tanpa kurang sedikitpun, dan tanpa lebih di antara satu dengan yang lainnya adalah ilmu pengetahuan. Orang yang berilmu apa pun ilmu yang dimiliki ketika ia membagikan ilmu tersebut akan didapati secara merata. Semua kalangan dapat menerimanya; baik orang yang dekat dengannya maupun yang jauh, baik yang kaya maupun yang miskin, baik pejabat maupun rakyat biasa. Ilmu dapat dimiliki dan diperoleh oleh siapa pun tanpa melihat latar belakang hidupnya.

Apalagi dengan tekonologi informatika yang semakin canggih, ilmu dapat dibagi melalui berbagai macam media dan dihantarkan dalam genggaman masing-masing kita. Dan tidak ada orang yang memiliki ilmu sombong atas dirinya sendiri, sebab semakin berilmu ia semakin tahu bagaimana menurunkan jiwanya ke bumi. Jika pun ada yang demikian, sungguh ia adalah orang yang merugi.

Sementara kepemilikan yang dimiliki oleh seseorang berupa harta dan kekuasaan ketika di-share pada yang lain hanya didapatkan oleh sebagian orang saja. Bisa jadi orang yang paling dekat dengannya, bertalian darah, orang yang bekerja dengannya, serta jumlahnya dan aksesnya pun berbeda-beda. Dan terkadang kekayaan dan kekuasaan hanya beradu pada tempat yang sama. Orang kaya akan berbagi harta pada sesama kaya, pejabat akan memberi jabatan atau posisi pada sesamanya juga. Lebih parahnya lagi kekuasaan dan kekayaan sangat mudah dibagi untuk anak dan keturunannya.

Maka pantas, siempunya ilmu ketika ilmunya disebarkan ke publik melalui media apa pun, maka seluruh isi bumi mendoakan kebaikan atasnya, dan daun-daun itu akan meminta ampun atas dosa-dosanya. Pantas saja Tuhan menyatakan dalam firman-Nya bahwa "orang yang berilmu akan ditinggikan posisinya beberapa derajat". Di samping yang memiliki ilmu diangkat derajatnya, ia juga milik semua orang. Untuk itu muliakanlah orang yang mengajari suatu ilmu yang sebelumnya tidak diketahui sama sekali, walaupun yang diajarkan adalah hal-hal kecil.

Hanya orang yang berilmu dapat dimiliki oleh semuanya. Ketika ilmu disampaikan, maka penyampainya telah menjadi miliki semua kalangan. Sementara siempunya kuasa dan harta hanya dapat dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Apalagi siempunya kuasa dan harta tertanam sifat tamak dan keserakahan dalam dirinya. Dua sifat tersebut membawa kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki seseorang menjadi hijab yang nyata antara dirinya dengan orang lain.

Mengajar adalah perbuatan yang sangat baik, sebab ia menaruhkan kebaikan bagi orang lain. Mengajar tidak hanya identik dengan transfer of knowladge semata, tetapi juga identik dengan transfer of value. Terkait dengan menanamkan nilai, maka mengajari anak-anak jauh lebih baik dibandingkan dengan mengajari orang dewasa. Walaupun lemah penangkapan ilmunya, tajam dalam menangkap nilai. Mengingat ilmu sifatnya berat, maka menanamkan pada orang-orang harus dengan cara yang ringan, lembut, berangsur-angsur, dan penuh kesabaran.

Umat Islam hari ini mendapat kemudahan belajar ilmu-ilmu keislaman. Melalui berbagai macam media dan teknologi informasi kita bisa mengakses ilmu pengetahuan, walaupun berada di tengah laut sekalipun. Alquran melarang menyakiti orang yang di dalam hatinya ada Alquran. Terdapat Alquran dalam dirinya; bisa jadi ia menghafal dan memahaminya. Dan juga termasuk orang yang mengamalkan isi Alquran. Walaupun Alquran tidak ada dalam dadanya, tetapi sikap dan prilakunya sesuai dengan ajaran yang ditanamkan Alquran.

Bukankah dalam hati masyarakat kita adalah orang-orang yang menyimpan Alquran dalam qalbunya. Walaupun tidak banyak, minimal induk Alquran (Alfatihah) ada dalam dadanya. Dan juga masyarakat yang berprilaku baik sebagaimana Alquran mengajarkannya. Menyakiti hati masyarakat yang dalam dadanya ada Alquran sama dengan melanggar ajaran Islam. Tentunya, semakin banyak wilayah pengelolaan manusia yang kita kelola, maka semakin besar pula kesalahan dilakukan.

Menundukkan hati pada nilai kebenaran sama dengan menggiring diri menempuh jalur kebenaran itu sendiri. Walaupun kebenaran masih jauh dari kita, dengan upaya penggiringan tersebut menjadi bagian yang menegakka kebenaran. Kebenaran bukanlah milik manusia, sebab ia berdiri sendiri. 

Namun, walaupun demikian manusia memiliki panduan untuk menuju ke sana. Ilmu penting dipelajari, tetapi mengelola akal jauh lebih berguna. Tidaklah bermasalah jika ilmu sedikit asalkan memiliki akal yang banyak. Konsep dasarnya “jika ilmu yang dimiliki satu galah maka harus mempunyai akal dua galah”. Artinya, akal harus lebih cepat dari ilmu itu sendiri.

Ilmu yang tidak dicerdasi tidak akan menggiring seseorang menjadi baik, tetapi dengan ilmu manusia bisa manfaat bagi orang lain melalui informasi-informasi yang disampaikan. Untuk itu, jangan pernah mengukur seseorang berdasarkan ilmu yang dimiliki, strata sosial, jubah kealiman, intelektualitas, bernilai akademis, kecakapan bicara, keindahan sastranya dalam menulis sesuatu, serta kepemilikan apa pun yang dimiliki seseorang. Semua itu tidak menjamin dapat memengaruhi jiwa, sikap, dan prilakunya jika tidak cerdas memahami ilmunya.

Begitu beratnya proses memasukkan ilmu dalam jiwa seseorang, maka tidak semua orang dapat menempuhnya. Menuru imam Syafe’i, terdapat beberapa syarat bagi penuntu ilmu diantaranya; memiliki kesabaran, kecerdasan, kemauan, petunjuk atau bimbingan, biaya, dan waktu atau tempo. Waktu dipahami jenjang yang ditempuh yang diatur berdasarkan kurikulum lembaga pendidikan. Sementara, tempo menyangku dengan bagaiman seseorang berilmu mampu mencerdasi ilmunya dalam memecahkan masalah yang dihadapi manusia dalam momen apa pun.

Karena, belajar itu berat, maka bantulah orang-orang yang sedang menempuh jalan ilmu sesuai dengan kemampuan. Walaupun tidak bermanfaat secara kontan bagi yang membantu jalan untuknya, tapi yakinlah keberadaan orang yang berilmu di bidangnya akan bermanfaat untuk orang-orang pada eranya dikemudian hari. Dan, sudah pasti siempunya ilmu mendapat derajat yang tinggi, tetapi tidak menjamin keberadaan orang yang berilmu dapat bermanfaat bagi manusia jika tidak memuliakan keberadaannya.  

Jakarta, 16 Juni 2023



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama