FEODUM: BURUKNYA KAPITALISASI KEHIDUPAN

Manusia suka merasa lebih penting dari yang lain. Tabiat merasa lebih penting kedudukannya dalam konteks sosial sering merekayasa banyak hal. Hidupnya tidak lagi natural berjalan semestinya, protokuler hidup yang melelahkan lebih suka diperankan dari pada hidup apa adanya. Sebab, tidak selamanya hidup ini harus diatur berdasarkan teori kewibawaan, membangun ketokohan lebih penting baginya dari pada membangun kebersamaan. 

Akhirnya, hidup ini dijalankan dengan penuh kepalsuan. Menjadi tokoh yang membawa perubahan positif bagi orang banyak itu baik, tetapi menokohkan diri adalah sikap yang buruk. Sebab, keberadaan manusia dilihat dari fungsi dan perannya, bukan dari kedudukannya.

Islam mengajarkan kesetaraan dalam wilayah sosial, tetapi juga memuliakan status manusia dalam konteks amanah. Pemimpin mendapat hak imunitas untuk diikuti oleh orang-orang yang dipimpinnya. Posisi pemimpin sebuah pengejewantahan Tuhan di muka bumi. The shadow of God in the earth, tugasnya membangun kesimbangan realitas, yakni kesejahteraan bersama. Begitu juga halnya dengan pemimpin umat yang mengurus persoalan agama, kedudukannya dihormati sebab ia membawa ilmu-ilmu ketuhanan.

Ilmu apa pun bentuknya; Tuhan memposisikan berbeda keberadaannya dibandingkan dengan orang awam. Ilmu pengetahuan mengangkat derajat manusia beberapa derajat, namun bukan berarti ia tidak perlu lagi menjadi takwa, justru ilmu apa pun yang dimiliki seseorang harus mengantarkannya pada ketakwaan, jika tidak mencapai takwa maka ilmu yang dimiliki hanya sebatas meluruskan pikiran beberapa tingkat, dan menjadikan pemilikinya dibutuhkan banyak orang. 

Sebab, menjawab kebutuhan inilah derajatnya dinaikkan beberapa tingkat. Namun, ketika ilmu yang dimiliki tidak lagi relevan dengan kebutuhan manusia, maka keberadaannya otomatis tidak dibutuhkan lagi. Derajat yang dimaksud di sini adalah karena keberadaannya memenuhi hajat hidup orang banyak.

Orang-orang alim di bidangnya ibarat lampu yang bercahaya, berfungsi sebagai penerang dalam lorong kegelapan, semakin langka ilmu yang dikuasai semakin dibutuhkan cahayanya. Cahaya di sini bukanlah jalan menuju ke suatu tempat, melainkan pedoman untuk melangkah ke suatu tujuan. Ilmu agama cahayanya menerangkan kegelapan berfikir. Cahaya adalah kegelapan, kehadiran Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa cahaya kebenaran, ikutilah cahaya (Muhammad) kebenaran itu  jika ingin meperoleh kehidupan yang lurus.

Oleh sebab itulah Nabi Muhammad diibaratkan matahari yang menabur cahaya di siang hari, Nabi juga diibaratkan bak rembulan yang menerangkan gelapnya malam. Untuk mendapatkan cahaya penuh di siang hari harus berdiri di tanah yang lapang, begitu juga jika ingin mendapatkan cahaya rembulan. Cahaya yang diperoleh sedikit ibarat cahaya lampu yang menerangkan satu ruang saja. Benda-benda yang ada di bumi pada dasarnyanya adalah cahaya langit, ada yang bercahaya dengan sendirinya seperti matahari, dan yang menerima pantulan cahaya dari benda yang lain seperti rembulan.

Selemah-lemah cahaya adalah yang terdapat pada suatu benda seperti batu, bercahaya memang tapi keberadaannya tersembunyi. Untuk melihat cahaya yang tersebunyi ini harus dibantu dengan cahaya yang lain, yakni cahaya yang dipantulkan melalui cahaya yang lain; senter misalnya. Begitulah ibaratnya manusia yang tidak memiliki pengetahuan, ia harus dibantu oleh pemilik ilmu. Pemilik ilmu keberadaannya menjadi penting, oleh karenanyalah cahaya-cahaya yang tersembunyi pada setiap orang dapat dimunculkan.

Manusia dimuliakan karena ilmunya, ilmu yang membawa ketakwaan. Pemimpin dimuliakan karena keadilannya. Dua kelompok inilah yang pantas mendapat porsi berbeda. Pemimpin yang adil dan pemilik ilmu yang membangun ketakwaan adalah kelompok yang pantas mengemban feodalisme dikarenakan fungsinya bukan karena kedudukannya. Kedudukan manusia adalah sama di mata Tuhan kecuali takwa. Artinya, di mata Tuhan hanya berlaku ketakwaan baik bagi pemimpin umat dan pemilik ilmu. Kedua kelompok inilah yang patut menyematkan sifat feodal dalam pengertian positif.

Feodum atau juga disebut dengan feodalisme bermakna tanah. Tradisi penguasaan alat produksi oleh pemilik tanah, penguasa (raja), dan orang-orang dekat dengannya. Dalam perjalanan dan perannya terjadi ketegangan antara pemilik tanah, kalangan kerajaan dengan rakyat yang tak memiliki tanah. Gaya feodalisme bukan hanya pada penguasaan tanah dan segala aset yang ada tapi juga terlihat bagaimana cara kita menyapa dan tersenyum pada manusia.

Gaya feodalisme telah berlangsung lama. Sejak masa renainsance telah berlaku antagonisme dalam masyarakat feodal terkait dengan penguasaan kaum elit kerajaan/penguasa dengan orang-orang kaya. Bajak membajak hak atas kekayaan alam ini juga berlangsung sampai saat ini.  Kekuasaan dan penguasaan hak-hak seperti tidak dapat dipisahkan dari kelompok yang berkuasa dan orang-orang kaya yang memiliki koneksi dengan penguasa.

Feodalisme terus memperbaharui ruang lingkupnya, penguasaan penuh terhadap rakyat tidak lagi hanya dilakukan oleh kaum elit dan orang-orang kaya yang berada dilingkup kekuasaan, tetapi juga telah merambat pada kaum elit agama yang tidak membangun ketakwaan. Elit kekuasaan menggunakan power politiknya untuk menekan dengan segala keputusannya, sementara kaum agamawan menggunakan firman-firman Tuhan untuk mengintervensi banyak orang, dan kaum pengusaha memperbanyak usahanya dengan modal yang serendah-serendahnya meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme seperti nabi baru bagi elit-elit yang rakus melihat dunia.

Kekuasaan politik bersama kaum elit kapital selalu bekerja sama dalam hal membagi-bagi pendapatan. Dalam membagi-bagi pekerjaan yang didapati melalui anggaran objek dari kekuasaan itu sendiri sering terabaikan, objek kekuasaan disini adalah rakyat. Rakyat sebagai pihak yang tidak memiliki hak kepemilikan atas anggaran dalam konteks pengelolaan sering mendapati dua efek sekaligus, efek tidak memiliki akses langsung terhadap anggaran dan efek dari buruknya pengelolaan pemerintahan.

Efek langsung pengelolaan anggaran di mana rakyat tidak dilibatkan, bukan bermakna rakyat tidak dilibatkan dalam mengeksekusi anggaran melainkan aspirasi rakyat sering diabaikan ketika anggaran-anggaran itu dieksekusi. Pelaksanaan anggaran sering merujuk pada keinginan di level elit yang berkuasa. Akhirnya, apa yang dibangun sering berbenturan dengan kenyataan atas kebutuhan mendesak rakyat.

Dengan anggaran yang banyak lalu memiskinkan penghuninya, tapi pembangunan terlihat di mana-mana. Ini berarti ada ketidak sinkronan antara keinginan kelompok elit kuasa dengan realitas yang dihadapi oleh masyarakat. Anggaran-anggaran yang sering diarahkan pada pembangunan yang sarat dengan fisik banyak terbengkalai, sementara program padat karya tidak tersentuh menghadirkan modal usaha rakyat. Artinya, program yang dipaksakan dari atas tidak menjawab kebutuhan bawah.

Feodalisme anggaran juga berlaku dari anggaran pusat hingga daerah, bahkan anggaran yang diperuntukkan dalam meningkatkan pembangunan di tingkat gampong/desa sekalipun. Semua anggaran berpusat pada program kaum elit, dan sedikit sekali yang digunakan sesuai dengan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat saat ini. Wakil-wakil yang ditempatkan hanya memperlihatkan gaya feodal tanpa jelas aspirasi pihak mana yang dilaksanakan. Sering, ketika menyangkut dengan harapan rakyat terabaikan, tetapi kewibawaan elit sangat nyata terlihat.

Feodalisme juga berlaku pada kaum agamawan, merasa elit sebab dirinya merasa berhak mendakwahkan firman-firman Tuhan kepada umat ini. Dan ini tidak hanya dianut oleh personal kaum agamawan itu sendiri tetapi juga berlaku secara berkelompok yakni para alumni dari lembaga yang memproduksi kaum elit agama. Kelompok elit agama kadang terkesan sebagai sales marketing ayat-ayat kepentingan kelompok, terkadang mereka lebih memilih menjadi mesin politik yang akhirnya juga ditinggalkan.

Dipundak elit-elit agamalah ayat-ayat ini merasa diserahkan, lalu ayat-ayat tersebut tidak lagi digunakan sepenuhnya untuk menyelesaikan persoalan umat, melainkan digunakan untuk mengintervensi pikiran-pikiran masyarakat untuk kepentingan tertentu, sehingga pelaksanaan atas hukum-hukum agama masyarakat awam sering menjadi imbasnya.

Bukan hanya berimbas pada jiwa, terkadang juga berimbas pada materi-materi dengan alasan masyarakat harus ikut mensukseskan dakwah agama dengan hartanya. Melalui titah ini memengaruhi psikologi jiwa orang awam. Dari pengaruh tersebut banyak pendapatan rakyat seperti tanah misalnya diserahkan pada kaum elit agama dengan tujuan keberlangsungan proses dakwah.

Feodalisme kaum agamawan ini juga berbahaya bagi umat ini. Apalagi menyangkut dengan kontestasi politik, ketika calon yang digadangkan dari kelompok elit agama bukan orang yang memiliki kapasitas kepemimpinan yang kuat, maka ketidak layakan ini ditutupi dengan ayat-ayat yang dipaksakan terkadang lari dari konteks yang sedang dihadapi. Firman kelagu hadih ke lage, ayat ke mita bu hadih ngon teumipe.

Pada lingkup yang lebih dekat dengan rakyat feodalisme lebih berkait dengan penguasaan kaum elit kekuasaan dan orang-orang yang berada di sekitarnya atas aset, tanah, dan anggaran di setiap level. Serta juga berkaitan dengan elit agama yang terkadang suka semena-mena atas pengelolaan harta umat seperti pengelolaan tanah wakaf misalnya. 

Aset yang sebelumnya adalah kerelaan umat yang diberikan untuk kepentingan dakwah seperti membangun lembaga pendidikan agama. Dari milik umat yang diserahkan secara pribadi tapi pada akhirnya menjadi milik pribadi atau milik yayasan yang mana kepengurusannya juga mengarah pada milik pribadi dan kelompok pengelola.

Gaya feodalis adalah penyakit umat hari ini; baik feodalisme atas tanah, feodalisme anggaran, feodalisme ekonomi, maupun feodalisme elit agama, dan feodalisme intelektual. Sikap feodal ini telah menarik jurang pemisah yang dalam antar personal dan kelompok. Kelompok elit memperlebar kekuasaannya, kelompok kapital memperluas lahan usahanya, dan kelompok agama memperbanyak jamaah dan pengaruhnya, sedangkan feodalisme intelektual sering mengelabui banyak pikiran. Lalu jarang sekali ada yang berfikir untuk memperbanyak lahirnya orang-orang kaya dari kalangan bawah.

Biasanya seseorang yang daya pikirnya lemah ketika ia mendapatkan perangkat dunia baik kekuasaan maupun kekayaan lebih cenderung bekerja dengan nafsunya dibandingkan dengan akal dan hatinya. Satu pekerjaan belum tuntas ia malah menginginkan pekerjaan yang lain dengan segala provokasi yang dilakukan dalam mencitrakan dirinya. Di lingkup kekuasaan amanah satu jabatan belum selesai diakerjakan dia telah berpikir untuk mendapatkan kedudukan yang lain yang jauh lebih tinggi.

Jika saja orang-orang seperti ini ada di sekitar kita, maka jangan pernah berharap adanya kemajuan yang dihantarkan olehnya, kecuali masyarakat hanya dijadikan sebagai jembatan baginya untuk mengantarkan dirinya mencapai posisi-posisi yang terus diincarnya. Dalam dunia politik kekuasaan ini sering sekali terjadi, satu posisi dijadikan sebagai batu loncatan untuk menggapai posisi yang lain.

Orang-orang seperti ini diibaratkan oleh orang tua kita "lage ungkong ta pesok baje". Apalagi di tahun-tahun politik banyak orang yang bermental “lage ungkong hawa keubaje”. Jika tidak hati-hati, maka setiap bergantinya kepemimpinan rakyat kembali terjebak dengan orang yang sama, dengan gaya dan mental yang sama pula. Terkadang jelas terlihat, keberadaannya tidak melakukan perubahan signifikan namun ia berani menginginkan/meminta tempat dan posisi yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya, dengan harapan ingin mendapat pengaruh yang lebih besar.

Feodalisme dalam bentuk apa pun; baik kekuasaan, ilmu, dan kapital tidaklah membawa perubahan nyata bagi bangsa dan negara. Seharusnya elit politik, elit agama, elit kapital, dan elit intelektual tidak pernah membuat jurang pemisah dengan orang-orang yang berhajat padanya. Sebab, Tuhan telah menciptakan manusia sama antara satu dengan yang lain baik dalam konteks sosial, budaya, berbangsa, dan bernegara, kecuali yang membedakannya adalah orang-orang yang membangun ketakwaan. Lalu kenapa manusia masih suka merasa lebih baik antara satu dengan lain hanya karena ingin terlihat penting.

Jakarta, 1 Mei 2023


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama