SEMAKIN SEMPURNA SEMAKIN TAK BERGUNA

Mencari orang yang sempurna sama dengan menambah lapangan pekerjaan baru. Lapangan kerja yang sudah ada saja belum sepenuhnya mampu membawa kesejahteraan apalagi jika ditambah dengan pekerjaan mencari kesempurnaan. Manusia tidak diciptakan sempurna, manusia hanya diciptakan sebaik-baik bentuk.

Begitu juga halnya orang-orang yang suka mencari nama, sementara nama yang sudah tertulis di Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya dirasa belum sempurna. Akhirnya, ia mencari nama di panggung-panggung yang lain; ada yang mencari nama di panggung politik, di panggung keagamaan, di panggung seni, ada yang mencari nama atas nama orang lain, dan panggung-panggung lainnya.

Semua itu karena ia tidak percaya atas dirinya sendiri. Panggung-panggung politik adalah kumpulan orang-orang yang memframing namanya atas hak-hak orang lain. Demi mencari nama ia rela dan tega menipunya dan menipu orang-orang yang menaruh perhatian kepadanya. Semakin melihat kesempurnaan semakin tak berguna perannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Begitu juga dengan orang yang mencari muka lain, ia lupa telah diberi muka yang sebaik bentuk.

Tuhan hanya menciptakan manusia sebaik-baik bentuk bukan sesempurna wujud. Maka, dengan begitu tidak usah menjadi orang yang sempurna apalagi menginginkan orang lain sesempurna mungkin. Sebagian orang sangatlah perfek, dan juga menginginkan perfek bagi orang lain. Menginginkan orang lain sempurna sama dengan menciptakan pekerjaan baru.

Cukup baik di dunia, tidak perlu berfikir akhirat. Sebab, baik di dunia sudah pasti mendapatkan kebaikan di akhirat. Dunia adalah ladang menanam benih untuk panen di akhirat. Orang yang berusaha sempurna di dunia jiwanya akan terus merasa kesepian, sebab ia merasa tidak ada satu pun yang setara dengannya. Akhirnya, tidak ada satu orang pun dan tidak ada satu pihak pun layak berinteraksi dengan dirinya.

Orang yang berfikir sempurna ia terus menciptakan konflik dengan dirinya dan orang lain. Sebab, orang yang merasa sempurna  mudah menganggap rendah orang lain. Pada saat sikap merasa baik dinampakkan, maka apa yang dilihatnya menjadi tidak baik. Dunia dengan kesemestaannya adalah manifestasi ketuhanan, merendahkan apa pun dan makhluk mana pun sama dengan telah merendahkan unsur-unsur ketuhanan di bumi. Hanya orang-orang yang rendah jiwanya yang suka merendahkan orang lain.

Perintah-perintah dalam agama adalah bermusyawarah dan bergotong royong. Bergotong royong tanpa musyawarah sama dengan tindakan yang tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Pepatah mengatakan, “arang habis besi binasa”. Begitulah umpama orang-orang yang hanya membangun gotong-royong tanpa bermusyawarah. Tindakan tanpa musyawarah melemahkan kebersamaan. 

Ada yang menggelitik pikiran publik dari fenomena memilih orang yang dianggap sempurna dan juga penting akhir-akhir ini Komisi Independen Pemilihan (KIP). Orang-orang yang dipercayai mampu melahirkan para pemimpin yang handal di negeri ini. Bukan orangnya yang dianggap sempurna, tapi lembaganya. Kesempurnaan dimaksud dapat dilihat dari cara perekrutan anggota yang mensyaratkan banyak hal.

Proses politik mulai berjalan, perangkat-perangkat politik pun terealisasi pelan-pelan. Partai politik sudah ada nomor urutnya, calon-calon yang hendak bertarung mulai menunjukkan keberanian, bahkan mulai menampakkan diri bersama partai yang mengusungnya.

Pelaksanaan pemilihan aktor utamanya adalah lembaga penyelenggara. Dalam proses demokrasi di negara ini pihak penyelenggara pemilu atau lembaga pemilihan umum, sebagaimana termaktub dalam undang-undang seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Independen Pemilihan (KIP) di tingkat kabupaten dan propinsi, serta adanya BAWASLU, PANWASLIH, dan perangkat-perangkat lainnya.

Komisi Independen Pemilihan atau Komisi Pemilihan Umum adalah kumpulan orang-orang hebat. Hebat dimaksud dikarenakan terpilihnya komisioner KIP melewati fit and propertest yang sangat kompetitif. Artinya, begitu ketat proses pemilihannya, ini semua untuk menjaga kemuliaan pemilihan itu sendiri. Lebih lanjut silakan dibaca syarat-syaratnya.

Namun, muncul persoalan setelah komisoner KIP baik di tingkat kabupaten maupun propinsi dilantik, dipundak merekalah tanggung jawab pelaksanaan pemilihan umum diamanatkan untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas, profesional, dan kredibel. Persoalannya, adakah tes kelayakan calon legislatif dan eksekutif syaratnya satu oktaf di atas syarat yang ditentukan untuk menentukan komisioner di lembaga pemilihan.

Masalah ini seharusnya menjadi persoalan utama bagi bangsa ini. Bagaimana bisa komisioner KIP melaksanakan proses pemilihan berhadapan dengan orang-orang yang mencalonkan diri tidak jelas kompetensinya. Informasi yang beredar adanya orang-orang yang mencalonkan diri kapasitas lulus studi ijazah paket C. Belum lagi kita melihat kecacatan-kecacatan yang lain.

Intinya, kapasitas orang-orang yang dipilih melalui proses yang sangat ketat akhirnya mengurus orang-orang yang tidak jelas asal usul pendidikan, karakter, sikap, masa lalunya dan latar belakang hidupnya, kecerdasan, kemampuan memahami dan memetakan masalah, moral, akhlak, dan yang lainnya, bahkan berkemungkinan adanya orang-orang yang mencalonkan diri pernah bermasalah secara hukum; korupsi misalnya tau pelaku narkoba.

Walaupun komisioner KIP bukan juga orang yang sempurna, tetapi dari proses pemilihannya dapat diidentifikasikan bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya, profesional, dan memiliki kapabilitas yang tinggi. Sangat berbeda dengan tugas-tugas mereka, melayani dan meyeleksi orang-orang yang tidak diketahui secara pasti asal-usulnya. Kesempurnaan komisioner KIP akhirnya seperti tidak berguna, padahal mereka dipilih secara ketat dan dibiayai mahal oleh negara, serta satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas.

Jika saja, calon legislatif dan eksekutif syaratnya tidak serumit memilih komisioner KIP, lalu untuk apa menentukan syarat yang rumit memilih orang-orang yang duduk di lembaga tersebut. Toh, kerja mereka hanya mengurus sesuatu yang biasa-biasa saja, bahkan mengurus orang yang akhirnya tidak berguna sama sekali. Dan jika ini adalah realitas, maka keberadaan komisioner pun nilainya rendah.

Oleh karena tidak ada yang sempurna, negara membuat aturan untuk mengawasi ketidak sempurnaan tersebut. Dalam wilayah kekuasaan dan pemerintahan tidak ada orang yang sesempurna mungkin dalam menjalankan roda pemerintahan, sebab itu wadah menuju sempurna dibentuk. Karena manusia terlahir serba terbatas; baik terbatas pengetahuannya, kemampuannya, dan terbatas pula anggarannya, maka asas musyawarah harus diutamakan.

Karena kita tidak sempurna, maka diperlukan sebuah visi dan misi yang jelas untuk sebuah perubahan, karena anggaran yang dihabiskan cukup banyak, baik untuk membiayai program kerja maupun akomodasi bagi pelakunya. Pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pemerintahan adalah kelompok orang yang diberi akomodasi oprasional yang memadai. Maka, keberadaan mereka harus mengutamakan musyawarah dan bergotong royong dengan visi dan misi yang jelas, bukan bermusyarakah tanpa kewarasan.

Jika saja program pemerintah yang berjalan hanya untuk membiayai akomodasi oprasional semata, sementara rakyat sebagai objek pembangunan tidak merasakannya secara baik. Dengan begitu, kita telah melakukan sesuatu yang lemah. Lemah yang diakibatkan karena tujuan yang tidak jelas, sebab misi yang tidak terkonsepsi dengan baik.

Musyawarah-musyawarah di tingkat mana pun tiap tahunnya apakah telah membawa misi yang jelas serta tujuan yang sesuai dengan kebutuhan publik. Atau jangan-jangan musyawarah yang dilakukan hanya sebagai seremoni saja tanpa peduli dengan kebutuhan kekinian.

Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang lemah, manusia tidak kuasa, manusia tidak mampu, dan tidak bisa bekerja. Oleh karena tidak mampu, maka perlu menyusun rencana secara bersama-sama, dengan asas gotong royong yang kuat. Prilaku, “yu jak dike toh gentot, yu jak dilikot sipak tumet. Ini yang membuat kita lemah dari segala hal.

Program yang sering muncul dan mengemuka adalah pencitraan. Pencitraan yang paling merugikan rakyat adalah memamerkan pesona diri sendiri dengan menggunakan anggaran negara. Ho tajak yang deh citra pejabat, sementara program kesejahteraan minim informasi dan rendah realisasi.

Dengan demikian, lahirlah program tidak tepat sasaran atau program musiman. Terakhir kita pun melihat aset-aset pemerintah diberitakan lelang. Ini pertanda cara kerja kita lemah, sehingga aset-aset itu seperti barang mainan saja. Akhir masa jabatan aset-aset negara seperti tidak jelas kemana wujudnya. Bahkan diakhir jabatan mereka berani membelinya dengan harga yang atas dasar dibolehkan secara aturan.

Akhirnya, aset-aset itu harus diproses pengadaan kembali. Melaksanakan program yang sama, sementara rakyat dipaksa bekerja dengan caranya sendiri. Para elit hanya dekat dengan rakyat melalui gambarnya saja itu pun menjelang pemilu, hari-hari besar Islam, dan hari-hari besar kenegaraan; baik di spanduk, stiker, facebook, tweeter, youtube, tiktok, majalah,, even-even terentu, dan tempat-tempat lainnya. Keberadaan mereka tidak dekat dengan program yang signifikan yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat.

Manusia bukanlah makhluk yang sempurna, tetapi dalam ketidak sempurnaannya manusia diberi hak untuk menguasai sebagian yang lain. Hak menguasai ini bukan berarti manusia itu kuat. Mengawasi kelemahan dibuatlah seperangkat aturan. Aturan-aturan tersebut diatur sedemikian rupa, dan dilaksanakan berdasarkan hasil musyawarah, serta direalisasikan dengan cara bergotong-royong untuk membangun kepentingan bersama.

Jakarta, 8 Mei 2023



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama