CULT OF PERSONALITY DALAM KUASA TANPA MAKNA

Kuasa tanpa makna bagaikan mata satu hanya menatap satu arah. Satu mata dibuka, satu mata ditutup. Politik yang membawa kebaikan bersama dibangun atas dasar komunikasi yang baik. Sehingga, satu kepentingan tidak mengabaikan kepentingan kolektif. Kuasa tanpa makna hanya melihat kebaikan untuk diri dan kelompoknya saja, bahkan dengan mudah meniadakan peran pihak-pihak lain. Adanya peran politik untuk membawa aspirasi bersama, untuk itu membangun komunikasi politik alternatif diperlukan.

Ruang atau juga disebut dengan dimensi spasial merupakan area di mana setiap peristiwa terisi padanya. Dalam perjalanan waktu tentunya banyak peristiwa yang dilalui oleh pelakunya. Sedangkan waktu atau juga disebut dengan dimensi temporal merupakan elemen penting dalam sejarah itu sendiri, sebab manusia selalu bergerak menuju penyempurnaannya, dan selalu hadir secara terus-menerus dalam kehidupan. Dalam konteks sejarah manusia selalu menjadi subjek dan objek.

Setiap waktu yang kita lalui adalah ruang yang selalu ada, dan setiap peristiwa yang kita lakukan adalah sejarah yang akan tersisa. Laluilah waktu itu dengan sebaik mungkin, serta gunakan ruang-ruang kehidupan dengan aktifitas yang bermanfaat bagi objek-objek yang lain; baik untuk manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, serta alam semesta. Akhir-akhir ini waktu yang setiap kita memiliki hak atasnya banyak diisi oleh prilaku-prilaku buruk yang sangat berpengaruh terhadap keharmonisan dalam kehidupan sosial.

Cult of personality; tipikal yang selalu mengedepankan framing menakuti pada pihak lain. Jika saja prinsip ini dimiliki oleh seorang penguasa di berbagai level, maka kepemimpinan yang dijalankan selalu menekan ke berbagai pihak, terutama sekali penekanan dilakukan dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan publik.

Prinsip ini tidak baik diamalkan dalam konteks kepemimpinan demokrasi. Namun juga bukan berarti pesona penguasa tidak dibutuhkan sama sekali, justru pesona itu telah dijaga melalui konstitusi. Dibenarkan membangun kekuatan dalam pengelolaan anggaran, tetapi juga harus mengedepankan prinsip keterbukaan, aspiratif, mencari serta menerima masukan-masukan dari berbagai pihak dengan baik.

Sikap cult of personality tidak baik digunakan; baik dalam wilayah kekuasaan politik maupun dalam wilayah pergaulan sehari-hari. Ketika seseorang merasa dirinya lebih penting dibandingkan yang lain, maka keberadaannya tidak lagi mengayomi melainkan selalu bertindak atas penekanan-penekanan dalam berbagai momen.

Personality juga penting, namun jika tidak dibarengi dengan daya yang kuat, maka gaya itu tidak ada artinya. Kebanyakan gaya dan terlalu cult dalam membangun citra diri, hingga ia lupa bahwa keberadaannya hanya menjalankan amanah saja bukan memiliki apalagi menguasai amanah tersebut.

Pengetahuan seperti ini harus dimiliki dan telah sering diingatkan melalui banyak narasi yang muncul. Namun, godaannya jauh lebih berat hingga mengalahka pesan moralnya. Kekuasaan selalu didapati padanya berbagai macam rintangan dan godaan. Rintangan dan godaan ini telah muncul sejak seseorang hendak meraih kekuasaan, hingga kekuasaan didapat.

Menghalalkan segala cara, jika telah dimulai sejak dari kekuasaan didapati, maka apapun caranya akan dilakukan juwa dikala kebijakan itu ada di tangannya. Minimal, bertambahnya perusahaan-perusahaan baru yang dikelola oleh diri dan kolega dekatnya saja.

The smiling general adalah gaya kepemimpinan lama yang menebar teror dalam senyuman. Penguasa-penguasa dunia yang menganut prinsip ini akan berakhir tragis dengan kekuasaannya. Bagaimana tidak, mulutnya begitu mudah tersenyum namun dibalik itu ia telah mempersiapkan ancaman. Pada siang hari ia tersenyum, pada malamnya orang yang disenyumi hilang.

Tentunya; hari ini hal yang demikian sudah tidak berlaku lagi, sekali senyum orang akan hilang. Sasaran tembak kekuasaan hari ini bukan lagi nyawa, melainkan hak-hak kolektif yang dikebiri. Kewajiban mengelola aset publik berubah menjadi kekuasaan personality yang kuat. Akhirnya, banyak hak-hak orang lain terabaikan bahkan hilang. Pada awalnya ia tersenyum, namun dalam prosesnya ia menghabisi.

Pemimpin yang memiliki karakter kuat sangat dibutuhkan disaat pablik krisis kepercayaan kepada pemimpinnya sendiri. Orientasi kepemimpinan hari ini tidak lagi mengedepan kepentingan kolektif dan sifatnya sangat temporal. Kekuasaan tidak lagi dipahami sebagai amanah. Padahal, setiap apa pun yang namanya kekuasaan di level mana pun adalah amanah dan akan diminta pertanggung jawabannya.

Amanah itu berat; maka gunung yang memiliki kekuatan paku bumi sempat menolak ketika amanah diserahkan kepadanya. Namun, berbeda dengan manusia hari ini, bukan hanya tidak menolak melainkan meminta amanah itu terkadang dengan cara-cara yang tidak baik. Bahkan, lebih buruk lagi mengkhianati amanah itu dengan mengutuk diri sendiri.

Kekuasaan adalah amanah yang berat, tetapi manusia sangat menginginkan memikul sesuatu yang berat itu. di sini, rakusnya manusia. Kesadaran dalam memahami amanah yang rendah akhirnya merusak banyak hal. Kesombongan yang sesungguhnya adalah ketika manusia lupa diri yang dibawa adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan.

Seharusnya pemimpin lihai mendesain insentif. Pemimpin adalah orang yang mampu mendesain insentif untuk orang lain. Insentif merupakan suatu kompensasi suatu perusahaan sebagai penghasilan tambahan atas gaji bulanan sebagai imbalan atas kerja keras pekerja. Perusahaan yang mengeluarkan modal pribadi saja dituntut untuk memperhatikan insentif pada karyawannya.

Lalu bagaimana dengan pemimpin di lembaga negara yang tidak perlu mengeluarkan modal, dan hanya mengelola anggaran yang telah disediakan. Sebagai hak pengelola, maka seharusnya pemimpin lebih giat dalam hal mendesain insentif pada orang-orang yang dipimpinnya. Bukan cuma pintar mendesain pencitraan untuk popularitas diri tanpa elektabilitas yang dapat dipercaya.

Desain insentif ini dengan  upaya membangun kesejahteraan umat manusia. Pemimpin tidak boleh mengekang pendapatan, apalagi menjual pendapatan tersebut untuk kepentingan dirinya. Apalagi desain pendapatan dengan cara membangun arogansi politik, menganggap bahwa penguasa anggaran ada di tangannya, sehingga ia berhak mengatur serta mendesain pendapatan orang-orang yang pada ujungnya mendatangkan pemasukan pada dirinya. Desain pendapatan seperti ini tidak boleh dilakukan oleh pemimpin di level mana pun, baik untuk diri, keluarga, dan kelompok, apalagi bagi mereka yang diberi hak kuasa atas anggaran.

Setiap kita adalah pemimpin, setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya. Pertanggung jawaban  pemimpin disaat ia hidup dan menjalani fungsi-fungsi sosial adalah seperti apa cara ia mendesain pendapatan serta insentif bagi orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya dan masyarakat secara luas.

Jika desain pendapatan dan insentif hanya untuk diri dan kelompoknya saja, maka ia tidak layak disebut sebagai pemimpin, tapi layak disebut sebagai pecundang atau perampok. Seyogianya kita menghindar diri dari upaya menghadirkan para perampok yang tidak berpikir bagaimana mendesain insentif untuk rakyat secara merata dan keseluruhan. Sehingga, setelah berakhir kepemimpinan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat terus tumbuh.

Tumbuhnya kelompok masyarakat yang tidak lagi membangun kesadaran atas politik kekuasaan disebabkan karena kebodohan yang dibangun secara struktural yang masif. Herd stupidity, dimaknai sebagai kelompok orang yang bermental bodoh berjamaah.  Istilah ini juga digunakan dalam rangka mengungkapkan kelompok kebal virus (herd imunity) dimasa pandemi. Herd imunity dipahami sebuah ilustrasi dari kelompok masyarakat yang mematuhi protokol kesehatan, sehingga mereka terhindar dari serangan virus. Begitu juga dengan herd stupidity, kelompok bodoh berjamaah, yang dapat membahayakan bagi orang banyak.

Dramaturgisme, yang berlaku dalam interaksi simbolik melahirkan prinsip sosial, yang mana realitas dilihat berdasarkan  kehendak fenomena sosial. Di sini Horton Cooley menyebutnya dengan istilah looking glass self (cerminan diri). Seseorang yang sengaja memainkan sikap sebagaimana diinginkan oleh orang lain.  Sikap ini bisa membuat seseorang yang bersikap manis di depan ketika balik belakang lain bicara. Prilaku-prilaku seperti ini sering bermunculan disaat musim pilkada dan pemilu tiba. Sehingga dengan prinsip tersebut orang banyak terpukau dan ingin memilihnya sebagai pemimpin.

Dari interaksi simbolik yang dimainkan, lalu mensyaratkan prinsip sosial berlaku dalam tindakannya, maka akan melahirkan penguasa-penguasa serakah di berbagai level, dan berkumpulnya elit partnership herd stupidity  dalam lingkaran legislasi. Pengawasan terhadap kebijakan publik tidak dapat dilakukan jika kelompok legislasi herd stupidity (kelompok elit pengawasan yang bodoh secara berjamaah), memainkan muka dua dalam melakukan fungsinya. Ini semua karena pendidikan politiknya belum usai, tapi kekuasaan duluan ada di tangannya.

Sekedar hidup saja tanpa berbuat apa-apa adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan, apalagi jika peran-peran keduniaan melekat pada diri setiap kita. Nabi Muhammad Saw adalah ma’sum, tetapi sangat hati-hati dengan amanah. Dalam memahami konsep amanah masih saja memohon kepada Tuhan untuk tidak menyerahkan beban tersebut hanya pada kemampuan dirinya saja sebagai manusia. Maka, manusia yang tidak memiliki jaminan apa pun mesti sering-sering meminta kepada Tuhan. “Allahumma laa takilni ila nafsitar fata ‘ainin abada wa ashlihli syakni kullahu”: Ya Allah janganlah Engkau serahkan persoalan diriku baik sekarang ataupun nanti pada kemampuanku. Sesungguhnya, aku serahkan kepada Engkau sampai kapan pun.

Orang yang kerdil hanya menyisakan waktu untuk dirinya, yang cerdas selalu menciptakana waktu untuk bersama, sementara orang yang ikhlas meluangkan waktu seikhlas-ikhlasnya. Politik dan kekuasaan adalah ruang waktu; mesti diisi dengan kecerdasan dan keikhlasan agar terwujud ruang kebersamaan nan luas serta dapat terjangkau oleh semuanya. Sejauh kekuasaan yang dinikmati prilakunya semakin kerdil, maka ia tidak layak diapresiasi kembali. Kekuasaan dalam ruang kekerdilan hanya menyisakan waktu untuk dirinya saja, tanpa disadari mengabaikan apa pun yang terkait di luar dirinya.

Jakarta, 20 Juni 2023



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama