MEMBANGUN PERSAHABATAN ADALAH SUNNAH TERBAIK

Bukan perpisahan yang aku tangisi, tapi pertemuanlah yang aku sesalkan. Pepatah ini berlaku dua sisi; baik sisi positif maupun sisi negatif. Sisi positif, ada kebaikan yang hilang dari sahabatnya yang telah pergi. Sementara sisi negatif, ada luka dan keburukan yang ditinggalkan.

Kata orang persahabatan seperti kepompong; merangkak berjalan dan terbang. Pertemanan yang dibangun seperti pohon pinang tumbuhnya jarang-jarang. Pertemanan yang dibangun seperti pohon pisang beranak banyak. Sementara pertemanan yang dibangun seperti pohon bambu tumbuh, kuat, berdekatan dan saling memperkuat. Dan bambu dapat dijadikan benteng pertahanan saat diserang musuh. Ini sudah tercatat dalam sejarah Aceh menahan musuh (Belanda) dengan pagar bambu. Persahabatan seperti pohon bambu  inilah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, membangun barisan yang rapat dan berjamaah.

Asas kehidupan telah diajarkan oleh bangsa ini, dengan rapatnya barisan terbangun sebuah kekuatan besar, sehingga dengan kekuatan tersebut bangsa ini mampu membungkam penjajahan. Rapat dalam pengertian saling mendekatkan tujuan serta menyatukan rencana. Menumbuhkan semangat serta merencanakan sesuatu tanpa kekuatan bersama, seperti pohon pinang yang tumbuhnya jarang-jarang sangat mudah dihancurkan oleh musuh. Satu ditebang tidak akan tumbuh yang lainnya, kecuali ditanam kembali, dan butuh waktu yang lama untuk tumbuh kembali.

Sepanjang sejarah manusia; permusuhan antar kelompok telah mendatangkan dua hal. Pertama, permusuhan membangun kekuatan. Kedua, permusuhan sifatnya menghancurkan, permusuhan membangun kekuatan sepihak, dan melenyapkan pihak lain, permusuhan melahirkan perang, dan ini telah tercatat dalam sejarah bahwa perang-perang yang terjadi diakibatkan sebab manusia dalam tindakannya mengedepankan sifat-sifat arogansi.

Nabi Muhammad Saw telah membangun persahabatan dengan manusia. Dalam pengertian, siapa pun dia dan dari kelompok mana pun, serta apa pun agamanya yang dilihat adalah manfaatnya. Bahkan, yang tidak bermanfaat sekali pun masih saja mengedepankan semangat persahabatan. Nabi telah membangun persahabatan dengan musuh sekali pun. Permusuhan hanya dipahami dikala rekonsiliasi pikiran tidak berjalan, maka perang adalah solusinya.

Perang-perang yang terjadi dimasa Rasul masih hidup bukanlah upaya pembasmian etnis, melainkan menghentikan permusuhan. Perang bukanlah solusi, dan ini dipahami betul oleh Rasul, maka tercatat dalam sejarah bahwa Nabi mengedepankan rekonsiliasi terlebih dahulu dengan musuh-musuh Islam saat itu. Dalam situasi perang berkecamuk sekalipin Nabi masih membangun asas-asas persahabaan. Situasi perang Islam tidak membolehkan membunuh orang yang telah menyerah atau orang yang telah lumpuh saat berperang.

Era pembebasan kota Mekah atau yang dikenal dengan Fathul Mekah kekuatan sepenuhnya berpihak pada pasukan yang dipimpin oleh Nabi, namun tetap saja Nabi mengeluarkan matlumat persahabatan. Dan ini dapat dilihat dari titah yang diucapkan Nabi, “hadhal yaum-yaumul marhamah, walaisal yaum yaumul malhamah”. Hari ini adalah hari kasih sayang bukan hari pembantaian.

Kembalinya Nabi Muhammad Saw ke kota Mekah, setelah hijrah ke Madinah bukanlah hendak mengumandang perang. Nabi tidak membawa dendam dalam peristiwa Fathul Mekah. Diusirnya Nabi dari Mekah oleh masyarakat Qurays bukanlah akhir dari semuanya. Malah peristiwa tersebut dipahami sebagai bentuk penyadaran, bahwa menanamkan kebenaran pada manusia tidak hanya mengandalkan semangat saja melainkan harus memiliki strategi dan kekuatan. Kekuatan di sini bukanlah untuk menakut-nakuti apalagi mengancam perang.

Dan; ini sangat berbeda dengan kondisi umat hari ini, semangat rekonsiliasi peristiwa Fathul Mekah tidak dipahami dengan baik, sehingga kekuatan yang dimiliki difungsikan untuk mengancam pihak-pihak yang berlawanan dengannya. Situasi politik dipahami sebagai arena perang dalam pengertian membangun perang politik yang mengedepankan permusuhan.

Politik tidak dipahami sebagai ajang suksesi kepemimpinan dalam pengertian mengantarkan kesejahteraan atas umat manusia. Melainkan, ajang politik lima tahunan dipahami sebagai perang memperebutkan tahta/kekuasaan. Ini, akibat dari kebodohan berfikir yang dialami mundur oleh umat hari ini. Mereka mengobarkan permusuhan dengan saudaranya sendiri; baik suadara sebangsa maupun seagama.

Pengetahuan politik yang rendah, pembentukan mental yang belum selesai, moral yang tidak tertanam dengan baik, dan berbagai macam kemunduran lainnya. Akhirnya, yang terbangun bukanlah persahabatan melainkan permusuhan. Padahal, Nabi Muhammad Saw sejak empat belas abad yang lalu telah menanamkan persahabatan kepada manusia dan diteruskan oleh para sahabat. 

Kata "sahabat" merupakan narasi kenabian. Kata sahabat teradopsi dari bahasa Arab, ash-shahabah, kemudian kata ini menjadi kosa kata yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Banyak kata-kata yang digunakan dalam bahasa Indonesia teradopsi dari bahas Arab, seperti kata musyawarah, rakyat, dewan, qarib, qanun, jiran, dan beberapa kata lainnya.

Terdapat beberapa istilah pertemanan atau kata yang dipahami dekat disebutkan dalam bahasa Arab. Kata-kata tersebut di antaranya; shadiqie, rafiq, qarib, jiran, dan beberapa istilah lainnya. Namun, yang digunakan dalam sejarah kenabian adalah kata ash-shahabah atau dalam bahasa Indonesia disebut sahabat. Alquran juga menyebutkan beberapa istilah seperti kata al-wali, al-hamma, qarin, dan beberapa istilah lainnya. Semua itu menunjukkan term orang-orang yang dekat atau orang-orang yang saling mendekatkan diri satu sama lain.

Sunnah terbesar dalam sejarah kenabian adalah Nabi membangun persahatan. Nabi, telah membangun persahabatan baik dengan orang yang pro dengan dakwahnya maupun orang yang memusuhinya. Sunnah-sunnah yang diajarkan Nabi bukan hanya puasa, shalat sunat, cara makan dan minum, cara berpakaian, dan sunnah-sunnah lainnya yang dilakukan sepanjang hidup Nabi. Tetapi sunnah terbaik dalam sejarah kenabian adalah Nabi membangun persahabtan dengan manusia. Bahkan, bukan hanya membangun persahabatan dengan manusia melainkan juga makhluk-makhluk yang lain.

Kisah-kisah para sahabat tertulis dengan baik dalam sejarah. Kisah-kisah para sahabat menjadi pedoman bagi umat setelahnya dalam membangun kehidupan baik dalam konteks politik, sosial, dan kebudayaan. Pengertian sahabat dalam term keislaman adalah siapa saja, dan dari golongan mana pun, serta suku apa pun asalkan ia sempat bertemu dengan dengan Nabi mereka disebut dengan sahabat. Walaupun dari sisi tertentu orang yang disebut sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi dan telah masuk Islam.

Bagi siapa pun yang telah berikrar diri bersahabat, maka ia harus mengikat dirinya dengan titah kenabian dalam menjaga hubungan dan relasi antar sesama manusia. Filosofi kenabian dalam memahami sahabat berupaya hadir sebagai orang yang bukan hanya dekat, tetapi juga berusaha hadir sebagai orang yang sedekat mungkin dan memahami sebaik mungkin keberadaan dan kondisi sahabatnya.

Seorang sahabat tidak pernah befikir, bahkan tidak pernah berniat sama sekali menyakiti sahabatnya, sebagaimana Nabi tidak pernah menyakiti sahabat-sahabatnya walaupun dalam hal terkecil sekali pun. Relasi dengan manusia dibangun berdasarkan hubungan “persahabatan”, sebagaimana Nabi melakukannya. Sementara relasi manusia dengan Tuhan dimaknai “kedekatan” (qarib). Konsep kedekatan ini dapat dilihat dari firman Allah Swt;

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ....... 

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat............." Q. S. Al-Baqara/002: 186.

Hubungan manusia dalam pengertian “kedekatan” bukan bermakna manusai bisa melihat, meraba, mendekat secara fisik, melainkan “kedekatan” dalam pengertian relasi absolut, relasi yang tidak setara tapi berhubungan. Bagaimana mungkin relasi manusia dengan Tuhan setara, sebab makna dekat dalam ayat ini untuk menyambung relasi antara Tuhan dengan hamba.

Manusia sebagai hamba mesti berharap sesuatu kepada Tuhannya. Di sini, berlaku hukum sepihak bahwa Tuhan menyediakan jalan bagi hambanya agar menembus relasi itu melalui ibadah dan doa-doa. Bahkan, Tuhan sendiri membuat pengakuan bahwa diri-Nya sangat dekat dengan hamba-Nya. Ayat ini dipertegas dengan kebenaran yang tidak dapat dicapai kecuali dengan rasa keimanan yang kuat. Artinya, merasa dekat dengan Tuhan adalah bagian dari iman. 

Konsep persahabatan yang dibangun oleh Nabi, penulis menyebutnya dengan istilah “narasi kenabian”, sementara relasi manusia dengan Tuhan dalam konsep “kedekatan” penulis menyebutnya dengan “narasi ketuhanan”. Narasi kenabian, Nabi membangun persahabat dengan manusia melalui kontak fisik dan non-fisik yaitu rasa. Pada diri Nabi ada sifat “Rasul” melalui konsep leader, sementara pada diri manusia ada sifat “rasa” melalui qalbunya. Dalam pengertian, persahabatan adalah sebuah upaya memahami timbal balik. Seorang sahabat tidak hanya dekat secara fisik tetapi ia mampu merasa apa yang dirasakan oleh sahabatnya.

Sedangkan, “narasi ketuhanan” dalam pengertian dekat bermakna relasi sepihak. Manusia tidak diminta untuk memahami tentang Tuhannya, apalagi memahami sebagaimana manusia memahami sesamanya, melainkan dibangun kedekatan itu dengan keimanan yang kuat. Relasi ini berlaku hukum tekanan dari atas ke bawah. Sehingga, manusia tetap harus mengimaninya secara suka rela dan terpaksa.

Realitas yang dijalani manusia hari ini, bertolak belakang dengan persahabtan yang dibangun oleh Nabi dengan orang-orang yang dekat dengannya.  Semakin dekat dengan manusia semakin merasa tertekan sebab semakin diketahui sifat aslinya. Akhirnya, tidak terbangun rasa untuk bersahabat, tetapi yang muncul adalah keinginan untuk mengecilkan satu sama lain.

Tabiat manusia menghindari berfikir yang berat, makanya yang dipilih adalah sesuatu yang ringan; yakni menghukumi. Alih-alih membangun persahabatan dalam rangka meningkatkan pemahaman, memahami orang lain dengan baik, sehingga keberadaan di antara mereka menghidupkan sifat saling menghormati dan menyayangi, malah yang muncul adalah saling membuka ruang kebencian yang mana pada akhirnya pikiran-pikiran satu sama lain terbelah.

Orang yang membangun relasi dengan manusia yang mengadopsi “narasi ketuhanan” selalu menunjukkan kesombongan dan keangkuhan. Kedua sifat ini, manusia dengan sendirinya berlagak seperti Tuhan, yang menggantungkan dirinya di atas, sehingga ia selalu melihat rendah orang lain hanya karena satu kelebihan yang dimiliki.  Relasi manusia dengan Tuhan walaupun berlaku hukum sepihak, tetapi tidaklah dibangun atas ancaman, melainkan dibangun berdasarkan relasi kasih sayang. Dan sifat kasih sayang inilah sebagai  bukti kecintaan Tuhan pada hamba-Nya.

Relasi yang dibangun oleh kebanyakan manusia hari ini bukan dalam bentuk persahabatan melainkan dalam bentuk “kedekatan”, atau sekedar disebut teman. Berdasarkan konsep dekat manusia tidak lagi berfikir untuk memahami pihak lain, melainkan ia menginginkan dipahami sepihak. Selalu yang harus dimengerti adalah dirinya saja, tanpa peduli dengan kondisi orang lain.

Relasi seperti ini adalah “narasi ketuhanan”, manusia tidak dapat menjelaskan tentang Tuhannya walaupun Tuhan sendiri menyatakan dekat dengan hamba-Nya. Bahkan, begitu lemah pemahaman manusia tentang diri-Nya Tuhan sendiri yang memberi informasi kepada hamba tentang diri-Nya melalui sifat-sifat-Nya. Terdapat sembilan sifat, sebagaimana tercantum dalam asmaul husna. 

Orang yang hanya ingin dimengerti oleh orang lain tanpa disadari ia telah memposisikan diri sebagai Tuhan. Nabi Muhammad Saw yang dikenal maksum tidaklah membangun kedekatan seperti itu, melainkan Nabi membangunnya berdasarkan konsep persahabatan, yang mana dalam membangun relasi dengan sahabat-sahabatnya Nabi mengedepankan sifat memahami, mengerti, dan saling mencari tahu kondisi psikologis orang-orang yang dekat dengannya.

Melalui konsep persahabatan inilah Islam yang didakwahkan oleh Nabi berkembang dengan cepat. Persahabaan yang dilakukan oleh Nabi tidaklah menoton tetapi dibangun atas dasar keteladanan. Ketika Nabi memerintahkan sesuatu maka Nabi terlebih dahulu melakukannya, “ana awwalu ma amartukum bih”.

Berdasarkan konsep inilah orang-orang dimasa Nabi rela mengorbankan; baik waktu, pikiran, tenaga, harta, bahkan berkorban nyawa sekali pun. Sebab, semakin mereka dekat dengan Nabi semakin terlihat kebaikan yang ada pada diri Nabi. Berbeda dengan umat hari ini, semakin dekat dengan seseorang semakin terlihat buruk perangainya, atau sebaliknya. Bahkan terlihat buruk dalam segala hal.

Seharusnya, awal pertemuan dijadikan tonggak dasar persahabatan. Bukan malah sebaliknya, awal pertemuan sebagai pintu permusuhan. Persahabatan adalah pintu untuk saling berbuat baik. Semakin bersahabat, semakin dekat, dan semakin tumbuh rasa menyayangi antara Nabi dan para sahabatnya. Akhirnya, mereka yang bersahabat saling mengisi, berjuang, dan berkorban untuk sahabatnya. Umat hari ini memang bukan Nabi, dan juga bukan sahabatnya Nabi. Umat hari ini adalah pelaku-pelaku akhir zaman yang sangat rapuh dalam menata relasi antar sesama. Terkadang bersahabat hanya dimulut, dipikiran, diucapan tapi tidak dalam tindakan.

Walaupun umat hari ini bukan Nabi, dan bukan sahabatnya Nabi tetapi jauh sebelumnya sudah dititipkan rasa melalui qalbu, bahwa muslim hari ini telah diajarkan oleh Nabi dan sahabatnya jalan menuju persahabatan yang baik melalu firman dan sunnah-sunnah, serta contoh teladan yang ada pada diri Nabi dalam membangun persahabatn antar sesama.

Bersahabatlah dalam berbagai aspek kehidupan. Sahabat yang baik adalah ia yang mampu merasakan apa yang dirasakan oleh sahabatnya. Bersahabatlah dengan hati dan tindakan, bukan dengan ucapan, sehingga setiap individu tidak pernah lupa menghitung jasa-jasa dan kebaikan sahabatnya. Bukan malah melupakannya tapi, giliran jasa-jasa yang telah ditorehkan pada sahabatnya selalu diingat-ingat. Ketika kata sahabat disematkan dan dilaksanakan, maka umat hari ini adalah penerus sunnah Nabi.

Pada saat seseorang berkhianat pada sahabatnya, sama dengan ia telah berkhianat pada sunnah terbaik yang secara konsisten dipraktekkan oleh Nabi. Bangunlah persahabatan dengan orang-orang yang dekat denganmu. Dekat dalam skala prioritas, baik dekat tidurnya/istri atau suami, dekat rumah, dekat kantor, dekat pekerjaan, sahabat studi, sahabat perjuangan, dan dalam berbagai bentuk relasi persahabatan lainnya. Nabi telah membangun persahabatan dalam pengertian hubungan timbal balik. Artinya, relasi yang dibangun Nabi bersifat aktif tidak pasif.

"Tameungon beumeanek pisang, tameurakan beumeanek panjo, wate tarempok duk senang, susah rakan beutapako".

Jakara, 9 Juni 2023

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama