DI ANTARA PANGGILAN FIR'UN DAN PANGGILAN KA'BAH
Panggilan dalam istilah pengadilan berarti menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly). Panggilan hukum ditujukan kepada orang-orang yang terlibat suatu perkara di pengadilan, dengan tujuan untuk memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.
Banyak panggilan yang berlaku dalam kehidupan ini. Jika dilihat dari pengertiannya, maka memenuhi panggilan adalah kewajiban. Panggilan yang di refresentasikan pada agama diwajibkan bagi pemeluk suatu agama. Panggilan yang direfresentasikan pada negara diwajibkan pada warga negara berdasarkan undang-undang dan peraturan yang ada.
Ada banyak macam panggilan di dunia ini, di antaranya; panggilan negara, panggilan sosial, panggilan budaya, panggilan adat, panggilan politik, panggilan demokrasi, panggilan ekonomi, panggilan hukum, panggilan jihad, panggilan korupsi, panggilan pungli, panggilan kejujuran, panggilan keadilan, panggilan kerja, panggilan dinas, panggilan pendidikan, panggilan cinta, panggilan rindu, panggilan kasih, panggilan sayang, dan berbagai macam panggilan lainnya.
Panggilan bagi pemeluk agama Islam terdiri dari banyak panggilan. Panggilan agama juga disebut dengan panggilan dakwah, atau panggilan untuk melakukan kebajikan. Di antara panggilan yang lain adalah; ada panggilan Allah dan Rasulnya, panggilan azan untuk shalat, panggilan untuk berzakat, panggilan untuk bersedekah, panggilan untuk berjihad perang di jalan Allah, panggilan kematian (maut), panggilan untuk mencari nafkah, panggilan untuk berhaji, dan seburuk-buruk panggilan adalah panggilan Fir’un (panggilan keakuan).
Panggilan untuk berhaji; saat ini jutaan dari kaum muslimin dari berbagai belahan dunia sedang berkumpul di Mekah dan melaksanakan panggilan untuk beribadah haji, di mana puncaknya adalah wukuf di arafah. Panggilan haji adalah panggilan Tuhan, atau dengan kata lain dapat juga disebut dengan panggilan Ka’bah. Banyak dari kaum muslimin belum mendapatkan panggilan untuk berhaji.
Belum dipanggil untuk berhaji juga dikarenakan banyak hal; seperti, belum cukup bekal untuk menuju ke Mekah. Bekal di sini bisa berupa harta, kesanggupan, kesehatan, dan yang paling krusial masalah haji di negeri ini ruang antrian yang sangat panjang. Antrian haji yang berlaku di negeri ini mencapai masa puluhan tahun. Berdasarkan data terbaru waiting list haji Indonesia diperkirakan antara sebelas sampai empat puluh tujuh tahun.
Dalam pembahasan ini difokuskan pada dua panggilan; yakni panggilan Ka’bah dan panggilan Fir’un. Panggilan haji atau panggilan ka’bah adalah panggilan agama, hukumnya wajib bagi yang sudah memiliki kemampuan sebagaimana disebutkan di atas, panggilan Ka’bah juga disebut panggilan kebaikan. Sementara panggilan Fir’un disebut dengan panggilan keburukan. Kedua panggilan ini merefresentasikan prilaku keseharian dari orang-orang yang memenuhi panggilan tesebut.
Perlu diingatkan terus-menerus kepada manusia. Dalam perjalanan karir dan berbagai profesi lintas bidang seseorang mesti berhati-hatilah dengan panggilannya, sebab yang namanya panggilan mengikuti prilaku keseharian manusia sebagai makhluk yang terikat dengan hukum kesemestaan. Jangan mengikuti panggilan Fir'un, tapi ikutilah panggilan Ka'bah.
Ka’bah adalah central umat manusia dari berbagai belahan dunia, letaknya secara geografis menjadikan wilayah ini pusat transit perjalanan manusia dari masa ke masa. Siapa pun yang menguasai wilayah ini seperti ia telah menguasai dunia secara keseluruhan. Pusat gravitasi bumi berada di wilayah Mekah; yaitu Ka’bah.
Wilayah tengah bukan hanya pusat spiritual bagi umat manusia, juga menjadi pusat transaksi. Bagi yang berada di tengah, dalam pusaran ekonomi atau bisnis mempercepat materi-materi transaksi bergerak. Dari wilayah tengah central society lebih cepat bergerak ke berbagai arah. Sesuatu yang berada di tengah menarik perhatian banyak orang. Dan orang yang bergerak dari tengah paling cepat mendapat akses dari banyak pihak. Kota Mekah berada di tengah pusaran dunia. Maka, darisilah pusat peradaban dunia dibangun.
Membangun kekuatan dari tengah peradaban dunia. Dari sanalah, Tuhan melalui Nabi Muhammad Saw mengajarkan pada manusia “sebaik-baik perkara adalah pertengahan”. Jalan tengah adalah membangun pikiran moderat. Berfikir moderat merupakan jalan menuju kesepahaman. Melalui jalur tengah paham dihantar ke berbagai arah, dan tersebarlah Islam ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara.
Panggilan Fir'un adalah panggilan peng-akuan diri. Membesarkan diri, atau takabbur dalam bahasa agama bukanlah pakaian manusia melainkan pakaian Tuhan (al-mutakabbir). Dalam kondisi dan posisi apa pun tidak boleh digunakan oleh manusia. Siapa pun manusia, dan dari kalangan mana pun asalnya harus menjauhi sikap yang demikian. Sikap takabbur yang dimiliki manusia dalam catatan sejarah tidak ada yang sampai pada tahap mengaku dirinya Tuhan, kecuali Fir’un.
Sifat kesombongan telah berlaku dalam wilayah kekuasaan dengan membuka dan membusung dada, serta mengaku diri berkuasa penuh atas manusia dengan keputusan-keputusan yang tidak memihak pada siapa pun kecuali untuk diri dan kelompoknya semata. Mengaku diri sebagai Tuhan adalah perkara hukum dipersoalkan di belahan dunian mana pun, khususnya di negeri ini. Mengaku diri sebagai nabi saja banyak yang ditangkap, apalagi mengaku mengaku Tuhan.
Nakeh merempok duk jabatan hase gambe-gambe umat saboh masa, (punya kesempatan berkuasa dari hasil tipu menipu umat pada suatu masa), lalu membusungkan dada dan dengan lantang bersikap berkuasa penuh atas manusia, menjadikan penguasa membabibuta dengan kekuasannya. Tipe kekuasaan yang seperti ini juga berlaku pada pimpinan di level mana pun.
Mengaku diri memiliki otoritas dalam bentuk apa pun adalah jalan menuju panggilan Fir'un. Jalan ini adalah jalan fujur. Sementara jalan menuju Ka'bah adalah jalan taqwa. Tidaklah manusia mampu membebaskan diri dari kesalahan-kesalahan. Tetapi manusia tentu bisa menghindari diri dari sifat ke-akuan sebagaimana Fir'un lakukan. Timbulnya pikiran yang demikian seolah-olah ia merasa akan berkuasa dan hidup selamanya.
Kekuasaan seperti ini tidak berhenti pada dirinya saja, melainkan juga mengikuti orang-orang yang mengitarinya. Sesuatu berlaku buruk, demi memuaskan elit yang sedang berkuasa rakyat dan pendukung atau orang-orang yang dekat dengannya dipaksa oleh kondisi untuk menjilat. Kondisi ini akan menumbuhkan generasi yang selalu dibuai harapan "demi bapak, kami akan berkorban apa saja; gunung akan kami daki, lautan pun kami seberangi, lalu kami tenggelamkan di lautan merah seperti Fir'un mengejar Musa".
Dua peristiwa yang berbeda dipahami, dan pada dua peristiwa pula telah diturunkan Nabi untuk mengurusnya. Nabi Musa as diutus untuk mengurus Fir'un, sementara Nabi Muhammad Saw diutus untuk mengurus Ka'bah. Dua-duanya adalah pekerjaan yang mengandung unsur ibadah. Nabi Musa as ditugaskan mendakwahi kebaikan pada Fir'un, sementara Nabi Muhammad Saw ditugaskan untuk berdakwah pada masyarakat yang hidup di sekitar Ka'bah dan dunia-dunia yang mengitarinya.
Ka'bah telah menjadi situs ibadah bagi Muslim di seluruh dunia. Sosok Fir’un telah dijadikan situs peradaban. Museum Fir'un telah menjadi situs sejarah untuk masyarakat dunia. Untuk menuju kedua tempat ini harus memiliki kemampuan materi. Semakin jarak tempat tinggal seseorang maka semakin banyak materi yang harus dikeluarkan untuk menuju ke situs-situs tersebut.
Letak geografis yang dipisah oleh masing-masing negara, dengan aturan masing-masing pula menjadikan masyarakat dunia terpisah secara administratif. Pemisahan geografis dan perbedaan administratif membuat sekat antar negara semakin nyata, sehingga syarat-syarat menuju pada kedua situs berjarah ini semakin rumit.
Berbeda dengan panggilan Ka’bah, atau panggilan haji, tidak hanya berkaitan dengan kemampuan materi, tetapi juga ditentukan oleh aturan dan administrasi negara-negara tertentu. Dibatasinya kuota haji oleh kerajaan Arab Saudi bukan tanpa alasan, semua itu untuk kemashlahatan jamaah haji sendiri, mengingat jumlah umat Islam seluruh dunia semakin hari semakin bertambah, mencapai lebih kurang dua milyar yang menganut agama Islam. Jumlah ini pelaksanaan ibadah haji diatur sedemikian rupa, sebab magnet orang-orang untuk datang ke Mekah sangatlah kuat. Jika saja dalam waktu bersamaan muslim dari seluruh dunia dikumpulkan pada satu titik dikhawatirkan akan terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan.
Memenuhi panggilan Ka’bah atau panggilan haji, tidak hanya terkait dengan kemampuan materi saja, dan tidak juga karena kemampuan diri (kesehatan), tapi juga terkait dengan waktu. Waktu yang ditentukan untuk berhaji, dan juga waktu yang ditentukan untuk berumrah. Bagi yang menunaikan ibadah haji ke Baitullah sering dipahami telah mendapatkan panggilan dari Allah. Sebab, tidak semua orang bisa menunaikan ibadah haji pada tahun yang sama, karena ia terikat dengan aturan-aturan yang diberlakukan, ruang entry yang begitu panjang, dan apalagi saat ini ongkos untuk menunaikan haji secara administrasi kenegaraan dinaikkan membuat akses menunaikan ibadah haji semakin dibatasi.
Panggilan haji sarat dengan situasi spiritual. Jika tidak mendapatkan panggilan, sebanyak apa pun dan sesehat apa pun raganya, maka tidak akan pernah terpanggil untuk menuju ke Ka’bah, walaupun jauh-jauh hari sudah direncanakan sekali pun. Panggilan haji adalah panggilan ibadah yang kewajibannya sangat situasional, baik terkait dengan kemampuan materi, waktu, dan kesempatan.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang menuju ke situs sejarah Fir’un, apakah yang menuju ke sana telah mendapat panggilan dari Fir'un. Pertanyaan ini perlu dikaji ulang dan penjelasan para ahli. Namun, sering berlaku di masyarakat kita, ketika seseorang mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji dinyatakan bahwa ia telah mendapatkan panggilan dari Allah Swt. Jika Allah belum memanggil, maka seberapa pun persiapan yang dipersiapkan tidak akan bisa menuju ke Baitullah.
Untuk menuju ke Baitullah bekal yang diperoleh harus baik, bersih, dan tidak ada unsur kecurangan dalam mendapatkannya. Ada sisi lain dari pelaksanaan ibadah haji; walaupun sempat memenuhi panggilannya tetap saja orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji mengikuti sifat kesehariannya sebelum menunaikan haji. Sikap dan kebiasaan ini tidak akan terlepas dari dirinya, dan benar-benar terbawa dalam kehidupannya selama menunaikan ibadah haji.
Berlaku demikian, karena ibadah haji bukanlah perjalanan wisata melainkan perjalanan spiritual. Maka, segala yang menyangkut dengan jiwa, bathin, dan pikiran harus dibersihkan sejak sebelum menuju ke Mekah. Niat untuk berhaji harus diluruskan, bahwa perjalanan Ka’bah adalah semata-mata dilaksanakan karena untuk beridah dan taubat.
Mungkin ini yang menyebabkan asumsi itu berkembang, jika bekal yang dikumpulkan dari usaha yang melukai banyak orang, maka secara otomatis panggilan yang akan dipenuhi olehnya adalah panggilan Fir'un; yakni panggilan keakuan dan kesombongan. Panggilan Ka’bah adalah panggilan spiritual, sementara panggilan Fir’un merupakan panggilan yang harus dimaknai sebagai panggilan wisata semata, menandakan bahwa keberadan Fir’un adalah situs peradaban keingkaran manusia yang telah mencapai puncaknya, “ana rabbukumul a’la “ (Fir’un adalah satu-satu manusia yang mengaku dirinya Tuhan) di muka bumi.
Manusia sebagai makhluk yang lemah, dapat berkemungkinan memenuhi panggilan Fir’un dalam pengertian panggilan keakuan dan kesombongan, dan juga berkemungkinan memenuhi panggilan Ka’bah dalam pengertian panggilan spiritual; yakni sujudnya jiwa, bathin, dan pikiran kepada Allah Swt, menandakan manusia adalah makhluk yang lemah, dan semua itu semata untuk beribadah kepada-Nya.
Dengan demikian, atas kedua panggilan ini manusia yang notabenenya lemah senantiasa berdoa pada Tuhan, agar kita semua benar-benar mendapatkan panggilan dari Tuhan untuk menuju ke Baitullah sebagai situs ibadah. Dan bukan panggilan Fir'un sebagai situs sejarah. Karena, untuk menuju pada kedua tempat ini sangat ditentukan seperti apa kinerja kita dalam meraih kebutuhan dunia. Sifat keakuan dan kesombongan telah membawa manusia menuju titik terendah, dan sifat merendahkan jiwa, bathin, dan pikiran membawa manusia menuju titik tertinggi yaitu takwa.
Seharusnya; dua tempat ini dijadikan rute ibadah. Memenuhi panggilan Ka’bah sebagai wujud syukur atas nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan kepada manusia. Sedangkan menuju ke situs Fir’un untuk membangun kesadaran masa lalu, sejarah telah membuktikan bahwa sifat keakuan dan kesombongan tidak membawa kebaikan bagi manusia kecuali keburukan dalam berbagai hal dan membinasakan.
Kedua panggilan ini; baik panggilan Ka’bah maupun panggilan Fir’un sangat ditentukan seperti apa cara manusia menjalani hukum-hukum keduniaan. Jika jalan yang ditempuh seperti Fir’un yang mengagungkan sifat keakuan dan kesombongan, maka yang dipenuhi adalah panggilan Fir'un. Begitu juga dengan panggilan Ka’bah; ia juga akan mengikuti sifat buruk selama menunaikan ibadah haji, jika dalam menjalani hukum-hukum kesemestaan dilakukan dengan jalan keburukan.
Menjalani hukum-hukum kesemestaan, maka, akan terjadi dua kemungkinan pula; tertolak panggilan tersebut, dan bisa jadi terpenuhi. Terpenuhi panggilan tersebut dengan catatan keburukan-keburukan akan terbawa dalam prilaku dan sikapnya dalam menunaikan ibadah haji. Prilaku baik dan buruk benar-benar diperlihatkan. Jangankan sifat buruk, niat yang tidak diluruskan juga akan dinampakkan dalam prilaku dan sikap selama berada dalam waktu pelaksanaan haji.
Perbedaan yang sangat tampak dari dua panggilan tersebut adalah persoalan waktu. Untuk menunaikan ibadah haji butuh waktu entry puluhan tahun. Dan ini tidak berlaku ketika seseorang menuju ke tempat Fir'un. Artinya, menuju panggilan Fir'un jalan yang ditempuh sangatlah mudah. Begitu mudah jalannya untuk berbuat kedhaliman di dunia ini. Apalagi dengan kekuasaan di tangan, jalan untuk itu dapat direkayasa dengan berbagai kekuasaan dan kebijakan.
Dari uraian ini, kita berharap penuh; bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji benar-benar telah memeunuhi panggilan Tuhan. Melaksanakan ritual haji bagi yang berada di arafah benar-benar pula menempuh jalan spiritual serta mendapatkan haji yang mabrur, sehingga saat jamaah kembali ke daerahnya masing-masing membawa keteladanan sebagaimana diajarkan oleh Islam; yakni menundukkan jiwa, bathin, dan pikiran, sehingga jiwanya meniadakan keakuan lalu menuju titik tertinggi sebagai hamba yakni muttaqien. Dan begitu juga, bagi yang memenuhi panggilan Fir’un dalam rangka perjalanan waisata tidak membawa sifat Fir’un ketika ia kembali ke kampung asalnya.
Bagi yang yang belum mendapatkan panggilan menuju Ka’bah, maka bunuhlah kesembongan dan keakuan dalam jiwa dengan menunaikan perintah untuk ber-qurban. Karena, sesungguhnya ibadah yang dilakukan selama pelaksanaan haji pada dasarnya adalah membunuh kesombongan dan keakuan dalam diri manusia. Dan qurban-qurban yang dilakukan umat Islam di seluruh dunia pada dasarnya adalah membunuh kesombongan dan keakuan. Kesombongan dan keakuan sebagaimana tertanam dalam diri Fir’un dialiri bak darah mengalir disaat hewan qurban dipotong urat nadinya. Pastikan dengan baik; panggilan apa yang hendak ditunaikan dalam hidup ini.
Jakarta, 28 Juni 2023
Komentar
Posting Komentar