BANK DAN RUSAKNYA POLA PIKIR KITA TERHADAP UTANG
Hadirnya sistem perbankan pertama kali di Nusantara pada tahun 1746, dengan nama Bank Van Courant en Van Leening, pada tahun 1752 berdiri Bank Van Courant disempurnakan menjadi De Bank Van Courant en Bank Van Leening.
Pada tahun 1828 didirikan De Javasche Bank, yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia (BI). Pemerinah Hindia Belanda akhirnya memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. Dan menjadi bank sirkulasi pertama di Asia.
Pasca Indonesia merdek 1945, sesuai mandat UUD 45 pasal 23 Pemerintah Republik Indonesia membentuk bank sirkulasi; Bank Negara Indonesia (BNI). Bank ini mengupayakan tegaknya kedaulatan ekonomi, dan akhirnya menerbitkan uang dengan Oeng Republik Indonesia (ORI).
Berikutanya, tahun 1951 muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulaan ekonomi Republik Indonesia. Tahun 1968 Bank Indonesia difungsikan untuk menyalurkan kredit komersial, juga berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara.Tahun 1999 Bank Indonesia ditetapkan sebagai bank central yang bersifat independen. Fungsinya, untuk memelihara kesabilan nilai rupiah melalui pengelolaan bidang moneter, sistem pembayaran, dan stabilias sistem keuangan.
Melihat keberadaan bank dalam konteks syariat Islam di Aceh menjadi polemik. Polemik di sini bukan atas keberadaan bank itu sendiri, melainkan atas sistem yang diterapakan, sehingga perang pemikiran bank syariat dengan bank konvensional mengemuka, yang berakhir dengan hengkangnya bank konvensional di Aceh.
Menurut syariat kredit dengan sisem berbunga disimpulkan haram. Elit-elit di Aceh mengambil keputusan terhadap sistem bank karena adanya unsur riba. Tetapi, seperti tidak melihat keberadaan bank dari sudut fungsinya; yakni fungsi bisnis.
Menghukumi bank haram karena sistem bunga yang diterapkan sah-sah saja, tetapi perlu juga dilihat apakah sistem kredit yang dilaksanakan oleh bank termasuk riba, sebab bank butuh biaya oprasional. Sepertinya masih terjadi perbedaan pendapat ulama dunia terkait dengan persoalan ini. Dan melalui bank pula segala urusan yang menyangkut dengan keuangan negara disalurkan.
Namun, keberadaan bank baik di Aceh sekali pun belum sepenuhnya menerapkan sistem yang membangun kasih sayang. Dan ini dapat dilihat, untung sepihak yang diperoleh oleh bank tiap tahunnya mencapai triliunan rupiah. Sementara ekonomi masyarakatnya turun drastis.
Jika saja, keberadaan dianggap haram, maka seluruh transaksi yang dijalankan keuangannya melalui bank semua harus dihukumi haram. Maka, pembangunan seperti gedung, jalan, pasar, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya harus diruntuhkan; dibangun ulang melalui badan zakat. Begitu juga dengan gaji-haji yang dibayar; baik untuk pegawai maupun pejabat.
Keberadaan bank pada dasarnya menjaga stabilias ekonomi dalam konteks berjalannya bisnis. Sehingga menawarkan berbagai macam produk. Konsep bisnis inilah terkadang tidak begitu disorot, yang dominan dilihat adalah sistemnya, sehingga dihukumi riba sebab ada penetapan bunga dalam pelaksanaannya. Peran bank dalam membangun ekonomi umat sangat signifikan.
Bank menjamin modal untuk bisnis tertentu melalui sistem kredit. Sementara pihak bank sendiri mengikat sistem dengan syarat-syarat tertentu pula. Syarat-syarat yang ditentukan apakah bank sendiri tidak sepenuhnya percaya pada masyarakat dalam hal pinjam-meminjam, maka atas ketidak percayaan itulah sistem bunga dengan segala syaratnya diberlakukan.
Rusaknya pola pikir kita dalam utang piutang adalah menyepelekan pelunasannya. Utang berbunga dengan pihak bank tertentu terjalin kerja sama yang baik, sementara utang tanpa bunga yang diperoleh dari sanak saudara, teman, orang dekat, atau orang tertentu sering disepelekan dan tidak terjalin kerja sama yang baik.
Kalo sudah berurusan dengan utang bank atau utang di lembaga-lembaga pengkreditan yang menetapkan syarat yang rumit kejujuran yang punya utang tidak perlu diragukan lagi. Beberapa hari sebelum masuk tempo pembayaran uang setoran sudah disiapkan. Bahkan ia rela mengutang kembali pada orang lain agar supaya setoran kreditnya terbayar untuk bulan itu. Begitu jujur dan sangat disiplin bekerja sama dengan utang kredit nan berbunga.
Namun sebaliknya, utang yang diperoleh dari per-orangan baik teman, sahabat, rakan, orang kampung, atau siapalah itu yang suka membantu orang-orang saat membutuhkan uang disepelekan, bahkan sampai ribut, bertengkar, dan ada yang berakhir dengan pembacokan. Berita-berita terkait dengan masalah utang yang berakhir dengan pembunuhan sering diberitakan.
Padahai, utang seperti inilah pada pemberinya harus dimuliakan dengan semulia-mulia mungkin, sebab ia sudah benar benar hadir membantu kita. Kadang na ureng meturi menan-menan sagai tapi item jok utang, leh ijok meutang tuwo aju, "ma kon paleh getanyo ngon bui"....na yang sampo bengeh ke ureng bi utang, sekira hana teduk utang get hubungan ngon urengnyan, sebab na utang jadi hana getle. Ada yang lebeh parah lagi, ia mengukur kepribadian orang yang memberikan dia utang.
Meminta minta dilarang dalam Islam, memberi utang bukanlah kewajiban. Memberi sedekah baik, tapi lebih baik lagi memberi utang. Orang yang memberikan utang dua kali dihitung telah bersedekah satu kali. Membantu orang lain dalam bentuk utang juga dipahami menebar kasih di bumi. Sebab, tidak semua dari kita dapat kesempatan memiliki harta berupa uang.
Di sini, orang-orang yang memiliki kekayaan harus berfungsi seperti bank, minimal untuk orang-orang yang dekat dengannya. Dengan sistem tidak menganiaya pihak-pihak lain. Banyaknya orang yang terlilit utang di bank, sebab orang-orang kaya juga berbisnis dengan uangnya.
Meminta-minta adalah jalan yang dilrang. Sebab, peminta sedekah tidak memiliki rencana sesuatu, kecuali sekedar mendapatkan uang saja. Berbeda dengan orang yang meminta diutangkan uang, ia punya rencana namun tidak punya biaya untuk melanjutkan rencananya.
Orang yang mau memberi utang sebenarnya ia sedang membantu rencana orang-orang. Rencana membeli pakaian sekolah buat anaknya, bayar spp, modal usaha, dan untuk yang lainnya. Ada sebagian orang seolah olah wajib bagi dia untuk membantu orang lain yang membutuhkan dengan meminta diutangkan uang. Orang yang mau mengutangkan uangnya harus dimuliakan, sebab ia sudah rela melakukan sesuatu yang tidak wajibkan baginya.
Intinya, utang berbunga sangat jujur dibayar, tiba utang tanpa bunga pura-pura tidak tahu. Terkadang, utang tak berbunga tidak ditentukan lagi batas waktunya. Bahkan, batas waktu pembayaran ditentukan oleh yang mengutang. Namun, sering terjadi sampai jatuh tempo sengaja dilupakan. Bahkan, ada yang sengaja tidak berniat untuk membayar.
Seharusnya, tiba tempo utang harus dibayar ia mengabari walaupun tidak punya uang untuk membayarnya. Mengabari saja sudah cukup beretika, dan masa pembayaran minta ditangguhkan. Utang saja mau diberikan, minta ditangguhkan pembayarannya apalagi, pasti diberikan waktu sampai punya kelapangan dalam membayar utangnya.
Etikanya harus dibangun sampai pada tahap itu. Sebab, orang yang mau memberikan utang bukan hanya sekedar membantu tapi dia juga ingin menjalin silaturrahim dengan orang-orang. Maka, jangan putuskan silaturrahim itu hanya gara-gara utang tidak dibayar.
Hati-hati dengan utangmu, sebab utang itu tidak akan menyelamatkanmu di dunia dan diakhirat. Nabi Muhammad Saw pernah tidak mau menshalatkan jenazah orang yang belum lunas utangnya. Kewajiban hanya ada pada membayar utang, bukan memaafkan utang. Perkara utang kita dimaafkan itu urusan orang yang mengutangkan uangnya pada kita, bukan urusan kita.
Bicara membangun daerah, utang saja tidak lunas. Bagaimana anda bisa menipu banyak orang dalam urusan kenegaraan. Itu masih perkara utang; bagaimana lagi dengan nyata-nyata sudah menipu banyak orang. Maka, dari kenyataan ini perlu diperhatikan calon-calon pemimpin dimasa mendatang agar tidak memilih orang-orang yang bermasalah dengan utangnya. Kalo utang saja tidak dibayar maka ia akan mencuri uang negara.
Memberi pinjaman utang adalah perbuatan baik. Alquran menyatakan, "balaslah kebaikan orang lain lebih baik atau dengan balasan yang setara. Alquran hanya membatasi balasan dengan balasan yang setara bukan di bawahnya. Sudah membalas kebaikan orang lebih baik tidak mampu, membalas dengan setara pun tidak bisa, malah engkau menyakiti hatinya. Betapa buruknya peringai yang demikian. Buru-buru mengurus utang negara, utangmu saja belum tuntas dibayar.
Jakarta, 10 Juni 2023
Komentar
Posting Komentar