KESEIMBANGAN: KEBAIKAN MENGHARUSKAN BALASAN



Setiap kita apa pun profesi dan strata sosial selalu menginginkan kebaikan. Kebaikan dalam pengertian mendatangkan manfaat. Kebaikan adalah proses timbal balik secara alamiah, ia akan saling mengikuti. Orang yang selalu berbuat baik akan selalu dipertemukan dengan kebaikan. Manusia sering salah mengartikan kebaikan, terkadang keburukan tidak dipandang sebagai kebaikan itu sendiri. Padahal tidak selamanya keburukan yang diperoleh menjadi buruk bagi yang mengalaminya.

Berpikir terbalik; ketika dipertemukan dengan orang-orang yang berperangai buruk serta merta dipahami kesialan. Bagaimana melihat orang-orang yang berperangai buruk mendatangkan kebaikan bagi kita. Paling tidak keburukan menjadi lahan bagi kita untuk berbuat baik. Jika kebaikan tidak diperoleh dari orang-orang, maka apa yang dianggap baik harus mampu menghapus keburukan itu sendiri.

Prilaku korup memang buruk, tetapi baik bagi pihak yang lain. Oleh karena ada orang yang korupsi proses hukum berjalan, tidak hanya sampai di situ banyak kelompok yang akan mengambil manfaat dari prilaku korup itu sendiri. Media-media akan memperoleh kebaikan atas pemberitaan korup tersebut. 

Ada informasi yang harus diberitakan. Pada saat media menginformasikannya ada pembaca yang mendownload berita-berita tersebut. Semakin besar hasil yang dikorup maka semakin menarik perhatian publik membacanya. Akses dari pemberitaan mendatangkan kebaikan bagi perusahaan media.

Orang yang baik adalah orang yang selalu memberikan kebaikan pada yang lain. Dan yang jauh lebih baik adalah orang yang mampu membalas kebaikan itu dengan kebaikan yang jauh lebih baik, atau dengan kebaikan yang setara. Di antara kita memiliki kemampuan yang beragam dalam berbuat baik, dan kemampuan yang beragam pula dalam membalas kebaikan.

Kebaikan tidaklah dilihat dari kuantitasnya, tetapi dilihat dari kualitasnya. Apapun yang diperoleh dan mendatangkan manfaat itulah sejatinya kebaikan. Dan apapun yang medatangkan malapetaka itulah keburukan. Setiap kita dituntut untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, dan setiap kita pula diminta untuk membalas dengan balasan yang jauh lebih bermanfat, atau dengan manfaat yang setara.

Kebaikan dan keburukan banyak dijelaskan dalam Alquran. Sejatinya, manusia adalah makhluk yang cenderung melakukan kesalahan. Oleh karena kecenderungan berbuat salah maka agama hadir untuk membela orang-orang. 

Cara berpikir jangan dibalik, manusia yang notabene berbuat kesalahan malah berpikir untuk membela agama. Padahal dalil diturunkan agama untuk membela manusia dengan segala perangkat aturan. Jika agama tidak hadir menanamkan kebaikan dalam diri manusia maka setiap kita akan menganggap hadirnya orang lain sebagai ancaman.

Alquran sangat spesifik ketika membahas tentang kebaikan. Kebaikan yang diperoleh oleh setiap kita harus dibalas dengan kebaikan pula. Bahkan, dalil keagamaan menanamkan, pada saat kebaikan diperoleh dari orang lain harus dibalas pula dengan kebaikan yang lebih baik, atau jika tidak mampu balaslah dengan kebaikan yang setara.

Alquran, membatasi dengan balasan yang setara. Terkadang, begitu dhalimnya sifat manusia sudah membalas dengan balasan yang setara tidak mampu malah melakukan sesuatu yang menyakit hati orang-orang yang telah berbuat baik padanya.

Allah Swt berfirman;

 وَاِ ذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَ حْسَنَ مِنْهَاۤ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (penghormatan itu yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. Q. S. An-Nisa’/004: 86.

Dalil di atas, pada dasarnya bicara tentang ucapan pemberian salam. Jika seseorang memberi salam pada kita maka balaslah dengan salam yang jauh lebih baik dari yang diucapkan. Memberi salam saat kita bertemu dengan seseorang sebuah kebaikan dalam bentuk doa, maka kita diwajibkan menjawab salam untuk mendoakan yang jauh lebih baik dari apa yang telah diucapkan. 

Salam adalah derivasi kata dari kata Islam itu sendiri yang bermakna "menyelamatkan". Konteks keselamatan dalam Islam tidak hanya bicara ucapan salam saja. Tidaklah sempurna iman seseorang yang ucapannya tidak mendatangkan keselamatan bagi orang lain, “bagi siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, jika tidak maka diamlah”.

Keselamatan di sini juga terkait dengan tata kelola laku hidup dunia. Manusia harus hadir saling membantu satu sama lain. Di sini berlaku, jika seseorang berani membantu kita ketika kita membutuhkan sesuatu, maka balaslah bantuan tersebut jauh lebih baik dari yang diberikan, atau jika tidak mampu membalas jauh lebih baik maka balaslah dengan balasan yang setara, bukan balasan yang lebih rendah, apalagi membalas dalam bentuk tindakan yang mendhalimi.

Ali bi Abi Thalib mengutarakan “jika kalian ingin menguji karakter seseorang, hormati dia. Jika ia memiliki karakter yang baik ia akan lebih baik dalam memberi penghormatan atau menghormatimu. Jika seseorang memiliki karakter buruk, ia akan merasa dirinya paling baik dari semuanya.

Bukanlah suatu kebodohan ketika kita tertipu dengan kebaikan orang lain. Seseorang yang pada awalnya terlihat baik, namun pada akhirnya terlihat buruk. Terlihat baik diawal oleh sebab kita terlambat mengetahui keburukan seseorang. Bukan ia terlihat baik, tetapi pengetahuan kitalah yang terlambat mengetahui keburukannya. Orang yang baik perangainya tidak akan berkhianat sampai kapan pun. Sementara orang yang berperangai buruk pandai menyusun rencana.

Jika saja kita bukanlah tipe yang berkeinginan menghormati orang lain, maka jangan pernah tersinggung ketika orang-orang tidak memberi hormat pada kita. Sebab, pada dasarnya setiap tindakan yang baik dari seseorang dituntut balasan yang jauh lebih baik dari kita. Kebaikan harus dibalas dengan kebaikan yang lebih baik atau setara. Jangan pernah berharap kebaikan dari orang lain jika kita adalah orang yang malas membalas kebaikan tersebut. Semua yang kita dapati tidaklah gratis.

Di lingkungan kita tidaklah susah mencari orang baik, yang susah didapat adalah orang yang mampu berterimakasih atas kebaikan yang diperoleh. Alih-alih membalas kebaikan yang setara dan lebih baik, berterimaksih saja terkadang banyak yang tidak mampu. Sementara kata yang menunjukkan ungkapan terimakasih tidak ada dalam tatanan bahasa Aceh.

Sifat baik dalam diri seseorang datang secara alamiah, sebab pada dasarnya dalam diri manusia ada media perasa yaitu qalbu. Artinya, kebaikan itu diturunkan. Sementara untuk menjadi buruk melalui proses pengajaran. Betapa beratnya menjadi pribadi yang buruk, sebab ia melewati proses pengajaran. Orang-orang yang terbiasa dalam lingkungan yang buruk mereka sedang belajar tentang keburukan. Menyayangi adalah sifat alamiah, sedangkan keburukan diajarkan.

Apakah karena kebaikan itu diturunkan dari asalnya, maka dengan itulah sebab Nabi Muhammad Saw hanya disisakan anak perempuan yakni Sayyidah Fathimah. Melalui perempuanlah sifat-sifat baik diturunkan. Aku (Nabi) diutus untuk memperbaiki akhlak. Sifat kebaikan, dominannya turun pada anak melalui ibu. Kalo seorang ibu memiliki sifat yang baik maka baiklah anak itu, dan jika sifat ibu buruk maka buruklah prilaku anak.

Ilmu diwariskan melalui ulama (al-ulama u waratsatul ambiya). Ilmu yang diajarkan Nabi terwarisi melalui pikiran-pikiran ulama, sementara sifat diwarisi melalui perempuan. Maka berbahagialah para perempuan yang telah dilahirkan ke bumi, sebab melalui perempuanlah kebaikan-kebaikan diwarisi pada anak manusia.

Konsekuensi dari kebaikan sebagai wujud hitung-hitungan makhluk atas usahanya menaruh hormat pada yang lain. Balasan yang harus diberikan adalah jauh lebih baik atau yang setara dengannya. Bukan kebaikan yang lebih rendah dari yang diberikan, apalagi sampai melakukan tindakan-tindakan yang menyakiti hati orang yang telah berbuat baik pada kita. Membalas kebaikan bukan hanya sebatas menjalankan konsep kemanusiaan (humanism), melainkan juga menjalankan perintah Tuhan.

Ayat yang disebutkan di atas penutupnya menginformasikan kepada kita bahwa “Allah Maha Menghitung atas segala sesuatu”. Harus kita pahami bahwa cara Tuhan menghitung tentu berbeda dengan cara manusia menghitung. Tuhan menghitung kebaikan sampai pada titik terendah. Sekecil apa pun kebaikan yang dilakukan manusia akan mendapat balasan yang setimpal.

Berbeda dengan hitungan manusia. Manusia juga menghitung sampai pada titik terendah, dengan melupakan titik tertinggi. Sebanyak apa pun kebaikan yang diberikan pada orang lain, akan terhapus dengan kesalahan yang sedikt. Sementara Tuhan tidak pernah melupakan keburukan sekecil apa pun, dan juga tidak pernah lupa dengan kesalahan yang besar. Manusia menghitung dengan nafsunya, maka sebesar apa pun kebaikan yang didapat akan terhapus dengan keburukan yang kecil. 

Allah Swt telah menyebutkan dirinya sebagai Dzat yang Maha Menghitung atas segala sesuatu. Jika Tuhan Maha Menghitung atas apa yang kita lakukan, maka manusia jauh lebih menghitung lagi atas apa yang pernah diberikan kepada orang lain.

Kebaikan/kemuliaan dapat berupa apa saja; baik ucapan, tindakan, ide, pikiran, nasehat, saran, waktu, serta bantuan dalam bentuk apa pun, termasuk transaksi dunia yang saling mendatangkan manfaat satu-sama lain. Semua kebaikan yang diberikan harus berakhir pada koordinat balasan yang jauh lebih baik atau balasan yang setara dengannya. Bukan membalas dengan sikap dan tindakan yang lebih buruk, apalagi membalas dengan memusuhi orang yang telah berbuat baik pada kita.

Dalam hukum ekonomi berlaku konsep going concern dan concervatism; bermakna aktifitas usaha berlangsung secara terus menerus dengan perolehan keuntungan bersama secara berkesinambungan. Begitu juga dalam realitas kehidupan, kebaikan harus dilakukan secara terus menerus, tentunya kebaikan yang saling membawa keuntungan bersama, bukan upaya saling menjerumuskan serta merugikan satu pihak.

Ritme Peradaban Waktu yang dilalui manusia berlaku hukum break even point, jika tidak mendatangkan keuntungan minimal tidak saling memberikan kerugian. Orang yang kerdil hanya menyisakan waktu untuk dirinya, yang cerdas selalu menciptakan waktu untuk bersama, sementara yang ikhlas memberikan waktu seluas-luasnya.

Jakarta, 7 Januari 2023



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama