BACAAN TEKS ACEH AKAN SELALU BERKONFLIK


Menggelari Aceh “Serambi Mekah” menyisakan konflik internal. Sebagaimana periode Mekah yang dilalui Nabi Muhammad Saw, dikelilingi oleh konflik. Konflik ketauhidan selama tiga belas tahun Nabi dihadapkan dengan berbagai rintangan. Konflik ini berakhir dengan perintah hijrah. Fakta yang dihadapi Aceh hari ini adalah masyarakat yang gemar berkonflik dengan dirinya sendiri. Konflik yang menunjukkan seolah-olah persoalan agama belum selesai dibahas. Setiap muncul persoalan baru selalu yang mengemuka adalah konflik, tidak hanya konflik pikiran bahkan sampai pada ancaman raga dan nyawa.

Berbeda dengan periode Madinah, Nabi tidak lagi berhadapan dengan konflik, kecuali membangun peradaban dengan memuliakan manusia. Di sini konsep humanity berjalan. Al-insanu qabla tadayyan (humanity befor religiusity), adalah konsep utama dalam Islam dalam membangun kemanusiaan. Pada periode Madinah konsep teologis berhasil membangun sosiologis. Memperingati usia Kota Madani (Banda Aceh) ke-818 tahun hapus julukan “Serambi Mekah” untuk Aceh; ganti dengan sebutan “Serambi Madinah” yang membangun peradaban berdasarkan bacaaan pikiran dan rasa.

Membaca adalah perintah utama dalam Islam. Sepanjang sejarah yang dilalui manusia dibangun berdasarkan bacaan. Membaca tanpa teks, inilah yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw di gua Hira’. Tanpa teks yang disuguhkan, tetapi Jibril memerintahkan kepada Nabi iqra’, bacalah hai Muhammad. Pengetahuan manusia hari ini membaca adalah teks. Akhirnya, kita menjadi generasi pengekor dari bacaan orang lain. Semakin banyak bacaan teks semakin tersingkirkan peradaban pengetahuan kita.

Membaca dengan mulut tidak melahirkan narasi, melainkan sekedar menyimpan pengetahuan. Pengetahuan manusia adalah sesuatu yang tercecer dari masa ke masa. Artinya, bacaan pikiran hanya dapat diraba oleh siempunya pikir. Menjemput bacaan adalah memasukkan pikiran dalam jiwa. Lalu, bacaan pikiran ini ditulis dalam bentuk teks. 

Pikiran tidak dapat disampaikan dengan baik, atau narasi yang dimunculkan tidak selamanya mewakili apa yang dipikirkan. Walaupun demikian adanya, bukan berarti bacaan teks tersebut tidak berguna, bahkan begitu berarti sebab ia adalah konstruksi dasar untuk membangun pikiran berikutnya.

Pada saat apa yang dipikirkan tidak mampu dijelaskan dengan kata maka diamlah dan merenunglah, nanti akan ada jawaban-jawaban yang mewakili. Begitu juga dengan perasaan yang tidak mampu diungkapkan dengan bahasa maka bernyanyi dan menarilah, nanti akan ditemukan jalan keluarnya. Kebingungan yang hinggap pada diri anak Adam bukan sebuah penghambat menguak apa yang belum diketahui. Kebingungan itu sebagai bukti bahwa semesta bergerak secara bersama-sama. Di situlah fungsi ahli sebagai pihak yang menjelaskan, sehingga kegelapan berfikir menjadi nyata.  

Fas alu ahladzdzikri; bertanya pada ahlinya. Dalam konteks penyelesaian masalah di bidang dan pada level masing-masing "ahli dzikir" adalah “ahli fikir” atau disebut juga ilmuan, intelektual, petua, orang bijak, senior, orang yang telah berpengalaman di bidang masing-masing, serta apa pun ahli yang dimiliki oleh orang banyak yang terkait dengan masalah dunia dan akhirat. Berikan solusi-solusi terbaik atas penyelesaian masalah untuk membantu pikiran-pikiran yang berhenti sejenak menemukan kebenaran.

Liyuballighu asy-syahid minkumul ghaib. Ini adalah rumus dalam mengantarkan teks sebagai wujud nyata dari pikiran-pikiran yang tercecer pada banyak pihak yang mengetahui. Hendaklah mempersaksikan apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Hakikat bacaan adalah mengantarkan persaksian berdasarkan bacaan yang beragam. Mempersaksikan di sini bukan hanya apa yang dibaca saja, juga apa yang dilihat, didengar, dirasa, dipikirkan, dan sesuatu yang diperoleh melalui intuisi.

Dari sini dapat diketahui bahwa kerjanya ahli hanya menyatakan apa yang dibaca, didengar, dipikirkan, dirasa, dan sesuatu yang diperoleh melalui intuisi kepada pihak-pihak yang lain. Nabi Muhammad Saw adalah persaksian utama, sehingga dari Nabilah segala informasi langit diperoleh di bumi. Melalui bacaan (iqra’) tanpa teks sebagaimana diperintahkan Jibril induk (ummi) segala pengetahuan bermuara pada diri Nabi. Bahkan, rahasia alampun menjadi bagian dari dirinya sendiri.

Ketika hadirnya kita hanya berdasarkan hasil bacaan teks semata, bukan lahir dari pikiran dan rasa, maka keberadaan kita tidak akan pernah dirasa ada oleh orang lain. Karena, bacaan itu hanya memindahkan pengetahuan saja dari teks ke otak, bukan menerjemahkan pikiran dalam realitas dan mendudukkan rasa dalam kenyataan sosial.

Serendah-rendah pengetahuan adalah yang diperoleh dari hasil membaca teks, sementara ilmu tertinggi adalah mampu merasa. Kehadiran manusia harus mampu mencapai tahap merasa pihak-pihak lain. Sabjektifitas diri adalah bacaan yang buruk, apalagi bacaan yang membawa tindakan saling meng-objekkan. Islam tidak mengajarkan yang demikian. Sabjektifitas diri yang saling meng-objekkan tidak akan pernah melahirkan konsep rahmatal lil ‘alamin.

Berbeda dengan pikiran dan rasa, keduanya adalah refleksi diri secara tiba-tiba dalam membangun interaksi. Refleksi diri secara tiba-tiba inilah menurut Ibnu Maskawaih dipahami sebagai akhlak. Ibn Maskawaih memahami bahwa akhlak adalah tindakan reflektif diri secara tiba-tiba tanpa pertimbangan sebelumnya. Jika seseorang harus berbuat baik itu murni karena kebaikan bukan karena ada iming-iming yang lain. Berbuat baik karena iming-iming adalah bagian dari sabjektifitas diri.

Akhlak yang dibangun atas dasar keikhlasan inilah makna aplikatif dari tasawuf. Tasawuf hadhari bukanlah teori, tetapi ia adalah praktisi. Maka, sangat keliru jika ada yang mengaku ahli tasawuf sementara informasi yang dimiliki hanya berdasarkan bacaan teks semata, bukan dibangun berdasarkan pikiran dan rasa. Tasawuf adalah prilaku yang menghadirkan diri pada diri orang lain. Dalam praktek tasawuf tidak mengenal adanya sabjektifitas diri. Mendalaminya sejauh ia memahami dirinya sendiri. 

Artinya, melihat objek yang lain seperti ia melihat subjek diri. Dalam hal ini setiap kita adalah subjek. Jadi, tidak adalagi objek yang diperlakukan sebagai bahan kajian semata. Dari sinilah, mesti kekuasaan membangun bacaan melalui pikiran dan rasa, sehingga rakyat yang mengamanahkan kekuasaan padanya tidak diposisikan sebagai objek diri yang selalu dipermainkan sesuai dengan selera dan kepentingan pemilik kuasa. Apalagi menjadikan objek sebagai manfaat baginya.

Kelompok-kelompok tasawuf teori hanya memiliki pengikut yang banyak, namun tidak dalam konteks hadhari. Terkadang, kelompok-kelompok ini (tasawuf teori) orientasinya tidak lagi murni menyebarkan pikiran dan rasa pada orang lain, namun lebih pada menciptakan kelompok. 

Ini dapat dilihat dari cara mereka membela kelompoknya ketika berbenturan ide dengan pikiran-pikiran yang lain. Tepatnya tasawuf menghadirkan subjek. Jika setiap kita saling memposisikan diri sebagai subjek semesta, maka tidak adalagi objek-obek yang dirugikan dalam hidup ini. Seharusnya peradaban manusia harus dibangun berdasarkan konsep saling membangun sabjek diri, tanpa ada yang diobjekkan.

Seandai saja yang dibangun dalam diri adalah kemampuan pikiran dan rasa, maka keberadaan setiap kita hadir sebagai praktisi tasawuf hadhari. Perannya akan membawa kemashlahatan bagi manusia; baik dalam konteks ibadah, ekonomi, budaya, sosial dan politik. Kelompok pengajian dalam bentuk apa pun akhirnya menjadi gerombolan; pada akhirnya menjadi mesin politik yang memihak pada kelompok politik tertentu pula. Ini disebabkan karena pengetahuan yang dilahirkan tidak berdasarkan pikiran dan rasa.

Politik yang dibangun atas dasar bacaan teks semata sama buruknya dengan keberadaan diri tanpa pikiran dan rasa. Akhirnya kebijakan publik cheos, masing-masing menonjolkan dirinya. Sementara tugas sebagai fungsi kerja tidak terlihat lagi. Di sini, yang muncul hanyalah pencitraan-pencitraan lewat media sosial. Seremoni politik hanya dimainkan oleh politisi yang membangun narasi berdasarkan bacaan teks tanpa konteks, sehingga banyak salah kaprah dalam memframing informasi.

Akhir-akhir ini kita melihat kekuasaan membawa narasi salah kaprah. Masing-masing memiliki bacaan teks tersendiri. Dua pilar kekuasaan yang dominan dalam pengelolaan anggaran adalah legislatif dan eksekutif. Pihak legislatif mulai bicara pembangunan praktis yang sebenarnya itu adalah tugas eksekutif. 

Artinya, legislatif sedang bekerja dengan bacaan bukan dengan pikiran dan apalagi dengan rasa, sehingga pengwasan semesta konteks seperti terbaikan. Jika saja, legislatif sudah mulai menjamplongi kerja eksekutif dengan kleim pembangunan melalui tangannya, maka fungsi pengawasan terhadap anggaran mau diserahkan pada siapa lagi.

Terkadang framing-framing di media seolah-olah lebih tajam peran legislatif dalam transformasi pembangunan. Sehingga, peran eksekutif sebagai penguasa anggaran seperti redup. Padahal melalui tangan eksekutif sebagai penguasa anggaran telah banyak mendistribusikan kekuasaannya untuk pembangunan di segala bidang. Eksekutif sebagai penguasa anggaran mutlak diberikan ruang bacaan pikiran dan rasa seluas-luasnya.

Bekerja berdasarkan bacaan tanpa pikiran dan rasa mengantarkan pelakunya pada tindakan salah kaprah. Lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai pihak pengawasan, aspiratif, dan membangun regulasi sesuai dengan realitas yang sedang dihadapi, akhirnya terjebak dalam bacaan sesat pikir. 

Lalu, pikiran-pikiran salah kaprah dipahami baik oleh kalangan bawah oleh karena ketidaktahuannya atas fungsi dan kontrol suatu lembaga. Arus bawah terbuai dengan bacaan teks semata, apalagi teks-teks yang disuguhkan berupa angka transaksi yang sulit dimiliki oleh umat karena tamaknya para penguasa yang terus menerus membangun narasi berdasarkan bacaan teks.

Seyogianya; kita yang hadir dalam berbagai momen kehadiran diri tidak berdasarkan hasil bacaan semata, melainkan harus dibangun berdasarkan konsep pikiran dan rasa. Sebab, hanya melalui pikiran dan rasa inilah kita mampu memahami tugas dan fungsi masing-masing. Lebih-lebih lagi fungsi kebijakan publik yang harus dipertanggung jawabkan secara baik, baik secara hukum maupun secara konstitusional.

Pikiran orang-orang yang kerdil hanya membangun bacaan untuk dirinya saja, yang cerdas selalu membaca untuk kepentingan bersama, sementara orang yang ikhlas selalu membaca banyak hal baik yang tapak maupun tidak. Politik dan kekuasaan adalah ruang bacaan untuk sebuah perubahan. Wilayah kepemimpinan seharusnya membawa bacaannya untuk kesejahteraan umat. Dari sinilah terwujud ruang kesejahteraan bersama, serta dapat terjangkau oleh semuanya.

Sejauh kekuasaan hanya membaca dirinya saja, maka semakin sempit karya yang mengantarkan cita-cita umat. Pada saat situasi seperti itu menggerumuti bangsa ini, maka jangan pernah mengapresiasi apa yang dilakukan penguasa. Bacaan kekuasaan   tidak layak untuk diapresiasi. Kekuasaan yang membangun ruang bacaan yang sempit hanya menyisakan ruang kesejahteraan untuk dirinya saja, serta tanpa disadari mengabaikan apa pun yang terkait di luar dirinya. Iqra’; bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu yang menciptakan.

Jakarta, 5 Juni 2023




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama