Agama; Buruknya Politik Kaum Pembual

Beujroh aneuk nanggroe, beumeuso neupileh keuraja, bek neupileh yang panyang iku, beuneutupu nyan lahuda. Lahudanyan prut jih rayek, sigo digeuretok habeh harta negara, lahudanyan jaro jih panyang, sigo dilayang putoh kaye lam rimba. Nyo hana kaye dikoh, pane patot ie raya teuka, nyohana karena sogok, pane patot nanggroe binasa. (hikayat lahuda)

Agama tidak perlu dibela, justru agama hadir untuk membela manusia. Politik bukanlah agama, tetapi politik tanpa agama akan pincang. Hadirnya politik untuk membela agama kesimpulan yang keliru, justru proses politik tanpa melibatkan nilai agama akan terjadi kekacauan di ruang publik. Agama turunan dari Tuhan, sementara politik adalah pruduk kebudayaan. Politik hadir bersamaan disaat manusia mulai mengatur kehidupan dunianya. Jika agama tidak perlu dibela karena wilayah ketuhanan, lalu bagaimana dengan politik sebagai produk kebudayaan, yang seharusnya dibela oleh nila-nilai agama.

Agama berisi petunjuk-petunjuk untuk manusia dalam berbagai aspek, sementara politik adalah satu aspek yang dijalani manusia. Satu aspek yang rumit, melalui jalan rumit inilah manusai merebut kekuasaan untuk mengatur kehidupannya. Dari kenyataan ini, maka agama hadir memberi petunjuk-petunjuk nilai bagi manusia dalam meraih kekuasaan. Islam menawarkan cara “musyawarah”. Musyawarah diterjemahkan dalam proses demokrasi langsung, di mana rakyat secara terbuka memilih pemimpinnya. Nilai-nilai agama yang mesti diterapkan dalam proses demokrasi, bukan memanfaatkan agama untuk mengelabui pikiran politik banyak orang. Sehingga, banyak orang tertipu dengan simbol-simbol agama yang ditampilkan sepanjang proses politik bergulir.

Adanya statement dengan memilih pemimpin tertinggi/presiden dikaitkan dengan pembelaan terhadap agama, bahwa dengan terpilihnya salah satu di antara calon tersebut dapat membawa nilai positif terhadap agama. Bahkan lebih ekstrem lagi dengan menyebut sosok pembela agama. Jika memang pengaruh pemimpin tertinggi terhadap eksistensi agama ada, lalu kenapa statement seperti ini tidak dibawa pada level pemilihan caleg, gubernur, dan bupati di daerah. Dengan harapan bahwa agama akan terjaga jika kelompok yang disebut pembela agama yang menguasai parlemen.

Persoalan agama yang harus dilibatkan dalam pemerintahan bukan hanya pada level kepemimpinan tertinggi, tetapi juga mesti dibawa pada level kepemimpinan terendah, bahkan sampai di desa-desa. Turunan ini yang tidak pernah terdengar saat memilih pemimpin-pemimpin di daerah. Agama seolah seolah-olah hanya hadir sebagai sentimen politik di level atas saja, dan dibiarkan berkonflik sesama umat beragama atas kepentingan politik.

Membangun sentimen politik sangat mudah dilakukan, sebab telah berakar dalam sejarah perkembangan Islam, konflik terjadi bukan karena agama melainkan karena politik. Termasuk adanya sekelompok orang yang menentang Nabi Muhammad, bukan ajaran agama yang dibawa Nabi yang dipersoalkan melainkan lebih pada sosoknya yang dapat menghilangkan pengaruh para penguasa-penguasa Arab saat itu. Dan ini adalah perkara politik.

Indonesia adalah negara beragama, dan mayoritas penduduknya muslim maka sentimen keislaman sering diseret dalam pragmatis politik instrumental. Kesadaran masyarakat yang rendah terhadap pemahaman relasi antara Islam dan politik yang rendah menjadi santapan empuk para penganut pragmatisme politik yang melandaikan politik praktisnya, dan landaian politik pragamatis ini dapat dengan mudah dilakukan, dengan modal yang rendah dan murah, cukup memanfaatkan fanatisme umat beragama maka orang-orang akan tergiring dengan sendirinya.

Dukungan politik hasil penggiringan dari fanatisme kelompok beragama, bukan hanya memperoleh dukungan melainkan juga menjadi taimeng politik yang kokoh. Dalam pengertian, kelompok fanatisme yang berhasil dilandaikan tidak hanya bergerak sebagai pendudkung melainkan juga siap sebagai pembela. Sampai pada tahap siap sebagai pembela konflik politik mengemuka, disaat interaksi politik muncul yang dipaparkan bukan lagi program kerja melainkan sentimen agama. Dan, dengan sendirinya lahirlah istilah kelompok politik pembela agama, sementara lawan politik dianggap orang-orang yang bereseberangan dengan agama. 

Kalimat pembelaan terhadap agama melalui pemilihan politik di negara yang menganut asas demokrasi sangatlah keliru. Sebab, yang mengurus agama bukanlah kelompok politik, apalagi jika yang didukung adalah orang-orang yang tidak tahu menahu soal agama, ataupun orang yang notabene inteletualitasnya bukan berlatar belakang agama, cuma terlihat beragama, dan kebetulan dekat dengan tokoh-tokoh agama. Kondisi demikian semakin nyata bahwa sosok yang demikian bukanlah orang yang tepat disandingkan dengan agama.

Simbol-simbol agama digunakan untuk mempedaya pikiran publik dalam membangun eskalasi politik. Islam fanatik lebih memperhatikan simbol dari-pada nilai. Dan ini sangat mudah ditemukan dalam masyarakat politik, simbol agama yang digunakan tidak hanya berupa atribut seperti pakaian yang digunakan, bahkan simbol punishment dan reward seperti syurga dan neraka pun diseret dalam politik. Dan tidak segan-segan melabeli kafir, murtad, dan munafik pada sesama umat beragama jika berbeda pilihan. Dan tentunya dengan orang yang tidak segama yang beda pilihan dapat merambah pada permusuhan sesama anak bangsa.

Perlu diingat, Indonesia adalah negara yang menganut trias-politika, di mana kekuasaan terbagi pada tiga wilayah; eksekutif, legislatif, dan eksekutif. Adapun pemangku agama tidak mendapat posisi penentu atas kebijakan yang diambil. Agama walaupun tidak berperan dalam kebijakan tetapi hadir dalam proses moral publik dan privat. Moral publik, atas dasar agama negara ini dijalankan, sementara ranah privat setiap individu dan kelompok diberikan keluasan dalam menjalankan ajaran dan ritual keagamaannya.

Pihak yang intens menjaga agama adalah kelompok ulama, usatdz, da’i, guru, intelektual, cendekiawan, dan yang lainnya. Kelompok ini telah eksis bahkan sebelum negara ini didirikan. Kelompok ini terkadang tidak terlibat dalam proses politik. Walaupun sebagiannya terlibat dalam politik praktis tetapi perannya bukan berarti sebagai pihak yang menjaga dan pembela agama, melainkan lebih pada peran yang lebih dekat dengan proses politik kebijakan yang dijalankan atas dasar moral. Artinya, ia hadir bukan sebagai pembela agama, justru agama telah duluan ada dalam dirinya, dan akan menjaga setiap langkah yang diambil atas keputusan politik.

Dikala statement politik keagamaan mengemuka, kelompok agamawan juga ikut-ikutan memperkuat statement tersebut bahwa dengan memilih calon tertentu dapat mengakomodir agama. Padahal, tanpa disadari kelompok agamawan telah menghilangkan peran dirinya sebagai pembela dan penjaga agama umat. Agama di negara ini telah mendapatkan tempat, bahkan tanpa orang-orang yang beragama negara ini tidak pernah ada. Lalu, bagaimana bisa pengawal agama menyerahkan tanggung jawab agama pada kelompok politik yang notabene orientasinya adalah kekuasaan. Politik untuk meraih kekuasaan, lalu bagaimana mungkin dengan orang yang mengatur strategi politik untuk meraih kekuasaan agama dititipkan.

Seharusnya, jika pikiran politik masyarakat agama tertuju pada agama, maka setiap pemilihan pemimpin di level mana pun; baik eksekutif maupun legislatif agama menjadi syarat utama. Tetapi, ini tidak berlaku, umat ini hanya menitipkan agama pada pemilihan pemimpin tertinggi/presiden saja. Sementara pada pemilihan pemimpin di level terendah; seperti gubernur, bupati, legislatif, bahkan tingkat desa sekali pun seolah-olah agama tidak perlu dititipkan. Karena itulah, setiap pemilihan pemimpin di daerah sering melanggar nilai-nilai agama; seperti sogok-menyogok, memfitnah, menjatuhkan, membawa berita bohong, bahkan terkadang ada korban jiwa. Hal yang demikian tentunya jauh dari nilai-nilai agama.

Umat tidak konsisten dalam menentukan sikap politiknya terhadap calon pemimpin yang didukung. Turunan politik lebih tinggi tidak berpengaruh terhadap proses politik di daerah. Di sini, pencerdasan politik umat harus dibangun. Bahwa, pemilihan pemimpin politik bukanlah memilih pemimpin agama. Pemimpin politik didasari oleh banyak hal, seperti elektabilitas, kapabilitas, pengaruh, leadership, akomodasi, dan lainnya sebagainya. Sementara, hadirnya pemimpin agama tidak ditentukan melalui pemilihan, melainkan ia hadir secara alamiah yang didasari dari ilmu pengetahuan dan ketaatannya dalam menjalankan ajaran agama. Lalu, bagaimana mungkin agama dititipkan pada orang-orang yang terlibat dalam politik praktis yang tujuan utamanya adalah kekuasaan. Dan, sepanjang proses demokrasi berjalan tidak dilibatkan ulama atau kaum agamawan sebagai penyelenggara pemilihan. Lalu kenapa agama dibawa-bawa dalam mencitrakan politik agamis.

Sejak sistem trias politik berjalan, di mana kekuasaan didistribusikan melalui eksekutif, legislatif, dan yudikatif bukanlah kelompok yang tepat untuk dititipkan agama, tetapi pihak yang menjalankan pemerintahan. Maka, sangat keliru jika memilih orang-orang yang hendak ditempatkan pada tiga lembaga tersebut dengan mengikat label agama bersama mereka. Agama hanya berperan sebagai instrumen moral bagi mereka dalam menjalankan pemerintahan, jika nilai agama kuat dalam dirinya maka pemerintahan akan dijalankan dengan baik. Di sini, sosok yang memiliki komitmen terhadap agama diperlukan. Tentunya, komitmen agama dalam politik adalah jujur, adil, dan merakyat.

Pikiran umat mesti direkonstruksi ulang, bahwa pembelaan terhadap agama hanya dilakukan oleh ulama dan kawan-kawannya. Sementara pembelaan terhadap kebijakan pemerintahan diserahkan kepada kelompok politik yang membawa nilai-nilai agama. Bukan malah menyerahkan agama, apalagi melebelkan agama pada calon-calon tertentu dengan harapan jika calon tersebut memperoleh kekuasaan sama dengan telah membela agama. Statement seperti ini sangatlah keliru.

Sebab, agama tidak terbela bersama kelompok politik, melainkan keberadaan orang-orang politiklah yang harus dibela oleh agama, agar dalam memutuskan kebijakan publik tidak melukai umat beragama karena kebijakan yang dilaksanakan melanggar moral publik. Melanggar moral publik sama dengan tidak melibatkan nilai-nila agama dalam kepemimpinnannya. Kenyataannya, tanpa keterlibatan agama pun politik tetap berjalan, lalu di mana agama menyenderkan dirinya. Keberadaan agama jauh lebih tinggi dibandingkan dengan politik, oleh sebab itu jangan libatkan agama pada tempat yang rendah. Letakkanlah agama sebagai pengontrol nilai publik agar setiap begulirnya proses politik berjalan dengan baik; jujur, dan adil (jurdil).

Jakarta, 21 Desember 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melihat Masalah dengan Masalah

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama