Menikah; Eksitasi Sunnah dalam Gugatan
Menikah adalah persoalan yang rumit, menikah bukan hanya persoalan aku, tetapi juga persoalan dia, dan persoalan Tuhan. Menikah karena persoalan aku hanya sekedar melepaskan hawa nafsu, menikah karena persoalan dia adanya keharusan akan kasih sayang yang mesti dibangun, sementara menikah karena Tuhan adalah persoalan tanggung jawab yang harus dilaksanakan.
Dua sunnah dalam katagori yang sama tetapi berbeda respon umat terhadap implementasinya. Sunnah perintah untuk menikah, dan sunnah dalam menentukan pilihan. Sunnah menikah diterima dengan baik, namun sunnah dalam menentukan pilihan tidak sedikit yang menggugatnya. Digugat karena spesifikasi yang berbeda. Menikah adalah bagian dari sunnah Nabi yang banyak dikerjakan oleh banyak orang di dunia ini. Sunnah ini, di samping perintah agama juga kebutuhan fitrah manusia.
Persoalan fitrah sebagai manusia yang harus menguraikan hasrat bilogisnya lebih mendorong keinginan banyak orang untuk menikah. Sementara, menikah karena sunnah tidak mendominasi dalam pelaksanaannya. Menikah karena ingin melaksanakan sunnah Nabi adalah sesuatu yang rumit, sebab ia menyangkut dengan kasih sayang dan tanggung jawab.
Menikah karena sunnah banyak hal yang harus dipersiapkan, di samping usia yang cukup, ilmu yang memadai, dan mental yang bijaksana. Ilmu tentang pernikahan bukan hanya sekedar mengetahui syarat dan rukunnya, tetapi ini menyangkut dengan ilmu hayat/kehidupan, ilmu yang mendorong seseorang mengetahui hak dan kewajiban setelah melangsungkan pernikahan. Sementara mental yang cukup adalah mampu memahami makna-makna tersirat dalam berinteraksi; baik dengan pasangan, keluarga dua belah pihak, dan kehidupan di ruang sosial.
Seseorang setelah melangsungkan pernikahan merasa dunia sudah terbatas, dan ini sepintas benar sebab pada dasarnya menikah adalah suatu legalitas untuk dikuasai oleh orang lain, orang lain di sini adalah pasangan masing-masing. Waktu yang dimiliki tidak lagi sepenuhnya untuk diri, melainkan sudah terbagi untuk yang lain/pasangan. Pasangan yang kerdil hanya menyisakan waktu untuk dirinya saja, pasangan yang ikhlas selalu menciptakan waktu untuk bersama, dan pasangan yang ikhlas selalu menyuguhkan waktu seluas-luasnya. Artinya, dalam kondisi apa pun ia tetap menyediakan waktu untuk pasangannya; baik waktu untuk menerima kelebihan maupun kekurangan masing-masing. Menikah adalah perang kehidupan, maka perlu diperhatikan bersama siapa kamu hendak berperang melawan dunia yang banyak lika-likunya,
Menikah sebagai legalitas untuk dikuasai orang lain sering dilupakan, terutama sekali bagi laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Merasa tanggung jawab ada di pundak suami lalu merasa waktu untuk suami lebih banyak diperoleh. Betapa banyak keluarga yang tidak harmonis karena tidak memahami adanya legalitas waktu untuk dikuasai dan diserahkan pada orang lain/pasangan. Ketika istri meminta waktu kepada suaminya malah dipahami sebagai perintah mengatur-ngatur suami. Tensitas waktu bisa membawa kebahagiaan dan juga dapat merapuhkan hubungan antara keduanya.
Banyak hal yang harus dipelajari dari pernikahan. Tentunya butuh waktu dan pengetahuan yang banyak untuk mengetahuinya. Tetapi, eksitasi kesadaran yang terus dibangun sudah cukup membantu dalam menjalankan banyak hal yang dihadapi. Kesadaran sejak awal sebelum memilih untuk melangsungkan pernikahan perlu diperhatikan, bahkan kesadaran dalam memilih pasangan dituntun oleh hadis Nabi bahwa sanya pilihan-pilihan tersebut memiliki dasar yang kuat. Dalam redaksinya, perintah membangun kesadaran lebih ditujukan kepada pihak laki-laki. Namun, walaupun demikian kesadaran ini juga boleh dimiliki oleh pihak perempuan. Kesadaran dalam memilih pasangan, sebab tidak semua orang dapat dicocokkan; baik ide, keinginan, selera, dan lain sebagainya. Jika, menikah adalah sunnah, maka cara memilih pasangan juga sunnah.
Dalam sebuah hadis Nabi bersabda;
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَع : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا،
فَاظْفَرُ بِذَاتِ الدَيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya:
"Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama; niscaya
engkau beruntung”. (HR Bukhari)
Hadis ini bukanlah
perintah yang wajib dilaksanakan sepenuhnya, tetapi keberadaan hadis ini juga
dipahami pilihan. Setiap orang boleh
memilih untuk mengamalkannya, dan boleh untuk tidak mengamalkannya karena
kondisi tertentu. Tidak semua laki-laki dalam bersikap tidak harus seperti yang
diperintahkan dalam hadis tersebut, dan tidak semua point dalam hadis ini untuk
diamalkan, kecuali satu hal; yakni menentukan pilihan berdasarkan perintah yang
terakhir; lebih melihat dan memilih agamanya (sikap, akhlak, dan moral). Seseorang;
baik laki-laki maupun perempuan yang mendapati kehidupan yang layak disarankan
untuk memilih pasangan yang rendah status sosial, miskin, atau tidak berpunya
agar terwujudnya keseimbangan dalam kehidupan.
Pertama-tama yang harus diingat dari perintah ini adalah sebagai sunnah Nabi. Terlihat bahwa otoritas dalam memilih dominannya pada laki-laki. Dari empat kriteria yang disebutkan, tiga di antaranya terlihat sangat pragmatis intrumental. Jika syarat yang dilihat cuma pada hartanya, keturunan, dan kecantikan tentunya ada kesadaran yang tidak sempurna dihidupkan dalam memilih pasangan. Kesadaran pragmatis yang dinampakkan maka respons kemanusiaan akan terbaikan.
Karena itulah,
perintah yang terakhir menutup masalah bahwa harta yang dimiliki seseorang, keturunan
yang baik, dan wajah yang cantik jika tidak ditopang dengan kesadaran terhadap
agama maka ketiga-tiganya akan pincang. Jika menikah adalah sunnah lalu kenapa
engkau masih menggugat atas pilihan dari syarat-syarat yang ditentukan, hanya
karena engkau merasa lebih kaya, keturunan orang hebat, dan paras yang cantik.
Bicara agama adalah bicara ilmu, dan ilmu dapat dimiliki oleh setiap orang, dan dapat dibagi secara merata pada siapa pun juwa. Seorang guru yang mengajarkan ilmu di dalam kelas yang menyampaikan ilmu akan diterima secara merata oleh murid-muridnya, siapa pun dia; apakah anak orang kaya, anak orang miskin, anak raja, anak pejabat, anak rakyat biasa, dan juga siapa pun yang ikut mendengar majelis ilmu, maka ilmu tersebut akan diperoleh secara merata tanpa melihat status sosialnya, kecuali keseriusan dalam mendengarkan penyampaian guru.
Berbeda
dengan harta, harta tidak dapat dibagi secara merata pada orang lain. Demikian juga
dengan keturunan, dan kecantikan. Artinya, harta, keturunan, dan wajah berada
di ruang kompetisi, sementara ilmu berada di ruang kontribusi. Maka, orang yang
berilmu/agama ia selalu hadir dengan kontribusi yang tidak pernah diduga-duga.
Apakah dengan mengedepan empat hal di atas dalam memilih pasangan dapat disebut diskriminasi. Tentu tidak, kembali harus disadarkan bahwa memilih empat hal dalam menentukan pasangan adalah sunnah Nabi. Menolak perintah tersebut tentunya menolak sunnah. Menolak di sini sering dijumpai pada pihak perempuan yang dipilih.
Merasa diri dari keluarga kaya lalu mengomentari negatif terhadap laki-laki
yang mencoba untuk mengamalkan hadis tersebut. Pihak perempuan yang
mempersoalkan pilihan laki-laki berdasarkan hadis tersebut sama dengan telah menggugat
hadis Nabi. Praktik menggugat lamaran seseorang karena dianggap lebih rendah
dari diri dan keluarganya sering terjadi pada komunitas yang tidak memiliki
nilai agama yang baik.
Lalu
apakah setiap pilihan laki-laki karena berdasarkan sunnah tersebut harus
diterima dengan apa adanya, mengingat pilihan memilih pasangan lebih
diperuntukkan bagi laki-laki. Melihat dari fitrahnya, bahwa manusia tidak
mungkin semuanya dapat diserasikan, sebab setiap orang memiliki rasa,
keinginan, dan perspektif yang berbeda-beda, maka pihak perempuan dibolehkan
untuk tidak menerima jika laki-laki yang datang melamar dirinya tidak sesuai
dengan spesifikasi dirinya; baik fisik, wajah, sikap, lebih-lebih lagi karena
agamanya. Dalam artian menolak dengan cara yang baik, bukan menolak karena
merasa kaya, cantik, berketurunan yang megah, lalu merasa laki-laki yang
mengamalkan sunnah Nabi dalam memilih pasang tidak sepadan dengan dirinya.
Persoalan tidak menerima keinginan bukan hanya terjadi dari pihak perempuan saja, tetapi juga berlaku pada pihak laki-laki. Betapa banyak perempuan yang berasal dari keluarga kaya-raya, cantik, dan berketurunan yang baik ditolak karena sikap yang tidak baik, sikap yang tidak dituntun oleh agama; yakni ilmu pengetahuan. Eksitasi kesadaran tidak hanya bagi laki-laki, tetapi juga boleh dilakukan oleh perempuan dalam melihat potensi ketika menerima pasangan. Menerima dengan baik dan menolak dengan baik pula.
Menerima dengan baik adalah dengan tidak pernah
mempersoalkan apapun kecuali kebaikan-kebaikan yang melekat pada seseorang, dan
menolak dengan baik tentunya penolakan yang tidak tersisa kesan merendahkan. Salah
satu menolak dengan cara yang baik adalah memberi ruas waktu untuk menjawab
dengan hasil bermunajat pada Tuhan, tiba waktu yang sudah dapat dipastikan yakin
untuk menolak tinggal menyampaikan kepadanya bahwa “dalam istikharahku tidak
menghadirkan wajahmu”.
Realitas
yang berlaku dalam masyarakat oleh karena kesombongan menolak lamaran seorang laki-laki
karena merasa lebih kaya, lebih cantik, dan lebih baik keturunannya dengan cara
merendahkan, menghina, dan menganggap tidak berguna sama sekali laki-laki yang
datang membawa perintah sunnah Nabi dalam menentukan pilihannya. Tindakan yang
seperti ini sama dengan menggugat sunnah Nabi dalam tindakan. Menggugat sunnah
oleh karena ekspektasi diri yang buruk sehingga tanpa disadari telah kufur akan
nikmat. Sebab, sunnah-sunnah yang diperintahkan oleh Nabi tidaklah membawa
keburukan atas manusia, kecuali membawa kemashlahatan.
Bagi orang tua yang memiliki anak perempuan, memiliki harta yang banyak, berketurunan yang baik, perlu membangun kesadarannya sampai pada tahap yang demikian. Menolak dan menerima lamaran atas anak perempuan adalah hak seseorang, tetapi setiap orang juga memiliki kesempatan untuk mengamalkan sunnah Nabi sesuai dengan syarat-syarat yang diperintahkan dalam menentukan pilihan. Kedua hak ini adalah wujud keseimbangan manusia dalam berinteraksi. Dan, bagi laki-laki yang ditolak karena sudah mengamalkan sunnah Nabi dalam menentukan pilihan tidak perlu harus menyimpan luka apalgi dendam, sebab tidak setangkai bunga di taman dan tidak seutas tali di jejaringan.
Pada dasarnya hakikat poligami adalah menikahi sifatnya. Karena itulah perintah memilih pasangan lebih ditekankan pada agamanya; yakni akhlak/sifat. Nabi diutus untuk memperbaiki akhlak, sebab itulah Nabi hanya disisakan anak perempuan “Sayyidah Fathimah”, karena sifat lebih dominan turun dari ibu/perempuan. Memilih pasangan bagi laki-laki dengan syarat-syarat tertentu adalah sunnah Nabi, dan mendapati syarat-syarat tersebut; seperti kaya, cantik, berketurunan yang baik, beragama, berakhlak, berpendidikan, cerdas, berwawasan yang luas, memiliki status sosial yang baik di masyarakat adalah anugerah yang tiada batasnya. Sehingga, laki-laki sempurnalah berpoligami pada satu raga dengan beberapa sifat yang melekat dalam jiwanya.
Jakarta, 22 Desember 2023
Komentar
Posting Komentar