Leader Prophetik: Bukanlah Biografi Epik dari Ilusi Kekuasaan Manipulatif
Mengkaji konsep kepemimpinan prophetik dengan menelusuri nilai-nilai kenabian yang diwariskan Nabi Muhammad Saw, khususnya empat sifat utama; shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Kepemimpinan Nabi tidak dibangun atas dasar dramatisasi asal-usul atau penderitaan masa lalu, melainkan pada integritas dan tanggung jawab moral. Terjadinya paradoks kepemimpinan di mana narasi “dari kalangan bawah” sering dimanfaatkan sebagai alat legitimasi, namun berujung pada praktik kekuasaan yang kontraproduktif dan manipulatif.
Menyoroti fenomena logika terbalik dalam politik lokal, di mana pengakuan sebagai “orang susah” justru menjadi strategi untuk meraih kemewahan. Dengan mengangkat metafora siluman dan sepatu kaca, tulisan ini mengajak pembaca untuk membedakan antara panggung pencitraan dan kepemimpinan sejati yang berakar pada nilai-nilai kenabian. Kesadaran kolektif dan keberanian moral menjadi kunci untuk mengembalikan ruh kepemimpinan sebagai amanah, bukan ambisi.
Meniru kepemimpinan Nabi bukanlah sekadar meniru cara Nabi berpakaian. Kepemimpinan Rasulullah adalah manifestasi dari nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan abadi, melampaui batas ruang dan waktu. Ia bukan gaya, bukan simbol, bukan tampilan luar, melainkan substansi yang hidup dalam keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan keberanian moral. Pakaian Nabi adalah bagian dari budaya Arab abad ke-7, yang mencerminkan konteks sosial dan geografis saat itu. Mengagumi cara berpakaian Nabi sah-sah saja sebagai bentuk cinta, tetapi menjadikan pakaian sebagai tolak ukur keteladanan bisa menyesatkan arah spiritual umat. Sebab, Islam tidak mengajarkan pemujaan terhadap bentuk, melainkan penghayatan terhadap nilai.
Kepemimpinan Nabi adalah ajaran. Ia adalah jalan hidup yang menghidupkan hati, membebaskan akal, dan menyatukan umat. Ia relevan sepanjang zaman karena bersumber dari wahyu dan fitrah manusia. Ia hadir dalam keputusan yang adil, dalam sikap yang lembut terhadap yang lemah, dan dalam ketegasan terhadap kebatilan.
Meniru kepemimpinan Nabi berarti meniru keberanian Rasul dalam berkata benar, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan keikhlasan dalam melayani umat. Itulah warisan sejati yang harus kita jaga dan hidupkan, bukan sekadar jubah atau sorban, tetapi jiwa kenabian yang menyinari zaman.
Kepemimpinan dalam Islam bukan sekadar soal jabatan atau legitimasi sosial. Ia adalah amanah besar yang berpijak pada tanggung jawab moral dan etika. Dalam kerangka kepemimpinan prophetik, seorang pemimpin tidak hanya dituntut untuk mampu mengatur, tetapi juga untuk menjadi cermin dari nilai-nilai kenabian; yakni shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan kebenaran).
Namun, dalam realitas sosial-politik kita, keempat sifat ini sering kali dikangkangi. Mereka menjadi jargon kosong yang dielu-elukan saat kampanye, namun ditinggalkan begitu kekuasaan diraih. Ironisnya, semangat kolektifitas yang semula tumbuh dari identitas kultural; seperti istilah "ummi" yang merujuk pada kesederhanaan dan keterhubungan dengan rakyat justru menjadi alat mobilisasi yang membutakan. Dalam konteks lokal, ungkapan seperti "lon ureng biasa” (saya orang rakyat bawah) menjadi mantra sakti untuk meraih simpati, seolah-olah kedekatan primordial adalah jaminan integritas.
Padahal, sejarah telah berulang kali menunjukkan: ketika kekuasaan diperoleh atas nama kolektifitas, namun tanpa fondasi etik yang kokoh, maka yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai itu sendiri. Pemimpin yang dahulu tampil sebagai korban, kini menjelma menjadi penindas baru. Bahkan lebih represif dari pendahulunya. Penindasannya menjadi fungsi kuadrat/berlipat ganda dalam intensitas dan dampaknya. Ia tidak hanya menindas secara struktural, tetapi juga secara simbolik; mengkhianati harapan, memanipulasi identitas, dan mengaburkan batas antara kebenaran dan kepentingan.
Inilah paradoks kepemimpinan dalam masyarakat yang kehilangan orientasi etik. Ketika shiddiq digantikan oleh manipulasi, amanah oleh nepotisme, fathanah oleh kelicikan, dan tabligh oleh propaganda, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa ruh. Kepemimpinan yang seharusnya menjadi jalan kenabian, berubah menjadi panggung teatrikal yang penuh topeng dan tipu daya.
Maka, tugas kita sebagai umat bukan hanya memilih pemimpin, tetapi juga membangun kesadaran kolektif bahwa kepemimpinan sejati adalah perpanjangan dari misi kenabian. Ia bukan milik satu golongan, bukan pula warisan darah atau suku, melainkan amanah yang harus dijaga dengan integritas, ilmu, dan keberanian moral.
Topeng siluman dan mentalitas kuasa. Dalam legenda Tiongkok, dikisahkan tentang siluman yang menyamar menjadi sosok lelaki tampan. Ia hidup di tengah manusia, memikat dengan pesona dan tutur kata, hingga suatu saat wajah aslinya yang buruk rupa terkuak. Bukan karena waktu, melainkan karena ia melanggar pantangan dalam perjanjian peran yang disepakati. Topengnya runtuh, dan yang tersisa hanyalah wajah asli; keburukan yang selama ini tersembunyi di balik kemilau.
Legenda ini bukan sekadar dongeng. Ia adalah cermin dari kenyataan yang berulang dalam sejarah manusia. Dalam berbagai budaya, kita menemukan pola serupa; kemewahan yang diperoleh dari persekongkolan jahat selalu berujung pada tragedi. Ia membuka tabir, menyingkap wajah asli dari kuasa yang semula tampak mulia. Seperti siluman yang gagal menjaga perannya, pemimpin yang lahir dari tipu daya akan terjebak dalam keburukan yang tak bisa lagi disembunyikan.
Dalam konteks lokal, ungkapan seperti "lon ureung susah", “saya orang susah”, secara harfiah digunakan untuk menjustifikasi fasilitas mewah, menjadi ironi sosial. Begitu pula dengan "lon rakyat biasa", “saya rakyat biasa”, yang kadang bukan ekspresi kerendahan hati, melainkan strategi untuk meraih pujian dan simpati. Di balik ungkapan itu, tersimpan mentalitas yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia belum berdamai dengan luka, belum matang dalam jiwa, sehingga cenderung mengorbankan orang lain demi menutupi kekosongan batinnya.
Secara psikologis, ini adalah bentuk kompensasi. Ketika seseorang merasa tidak cukup berharga, ia mencari validasi eksternal melalui pujian, fasilitas, atau kekuasaan. Namun, validasi yang dibangun di atas kebohongan akan menuntut korban. Ia akan menindas, memanipulasi, bahkan mengkhianati nilai-nilai yang dulu ia agungkan. Maka, penindasannya menjadi fungsi kuadrat; lebih kejam dari penindas sebelumnya, karena ia menindas dengan dendam dan ketakutan yang belum selesai.
Legenda siluman itu mengajarkan kita satu hal; wajah asli akan selalu terkuak. Dan dalam masyarakat yang sadar, topeng tidak akan bertahan lama. Maka, kepemimpinan sejati bukanlah soal peran yang dimainkan, tetapi soal kejujuran terhadap diri sendiri. Ia bukan soal tampil sebagai “orang susah” atau “rakyat biasa”, tetapi soal keberanian untuk tidak menyembunyikan niat, dan kesediaan untuk memikul tanggung jawab moral.
Sepatu kaca dan panggung kekuasaan; antara biografi epik dan realitas kontraproduktif. Biografi epik yang dipertontonkan di ruang publik sejatinya bukan sekadar narasi heroik, melainkan panggilan etis bagi sang pemimpin untuk meneguhkan kinerja dan integritas. Ia adalah janji yang disaksikan banyak mata, harapan yang ditanam dalam hati rakyat, dan semangat yang seharusnya berbuah dalam tindakan nyata. Maka, konsekuensi logis dari pertunjukan itu adalah konsistensi moral, bukan kontradiksi yang menyakitkan.
Namun, betapa sering kita menyaksikan transformasi yang mengecewakan. Pemimpin yang digadang-gadang sebagai simbol keadilan dan kesederhanaan, justru menampakkan wajah kontraproduktif setelah kekuasaan diraih. Ibarat sepatu kaca Cinderella yang berubah menjadi sepatu biasa saat malam menjelang, pesta kepemimpinan yang semula gemerlap ternyata hanyalah ilusi sesaat. Ketika jam berdentang, topeng pun runtuh, dan yang tersisa adalah wajah asli yang jauh dari harapan.
Drama pemimpin dari kalangan bawah yang pernah dipertontonkan sebagai simbol harapan rakyat, ternyata tidak membawa kontribusi logis dalam praktik kepemimpinannya. Yang muncul justru pola pikir terbalik yang mencurigakan; pengakuan sebagai “kalangan bawah” dalam kekuasaan bukanlah tanda kerendahan hati, melainkan strategi untuk memperoleh kemewahan hidup. Ini adalah bentuk self-victimization yang manipulatif; menggunakan citra penderitaan sebagai alat legitimasi, lalu menjadikannya tiket menuju fasilitas dan pujian.
Dalam konteks psikologis, ini mencerminkan jiwa yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia belum berdamai dengan luka masa lalu, belum matang dalam memahami makna kekuasaan sebagai amanah. Maka, yang terjadi adalah kompensasi berlebihan; keinginan untuk menikmati kemewahan, bukan untuk melayani. Ia ingin dikenang, bukan mengabdi. Ia ingin dipuji, bukan diuji.
Kepemimpinan semacam ini adalah antitesis dari kepemimpinan prophetik. Ia bukan jalan kenabian, melainkan panggung sandiwara. Ia bukan cermin nilai, melainkan bayangan ambisi. Maka, tugas kita sebagai masyarakat bukan hanya mengagumi biografi, tetapi menguji konsistensi. Bukan hanya menyimak narasi, tetapi menuntut bukti. Karena sepatu kaca yang retak tidak bisa menopang perjalanan panjang. Dan pesta yang dibangun di atas ilusi, pasti akan berakhir dengan kekecewaan.
Kepemimpinan nabi; bukan parodi asal-usul, melainkan manifestasi nilai. Nabi Muhammad Saw tidak pernah menjadikan asal-usulnya sebagai anak yatim dan orang kecil sebagai panggung dramatisasi kekuasaan. Nabi tidak memparodikan masa lalunya untuk meraih simpati, apalagi menjadikannya alat legitimasi politik. Padahal, jika Nabi mau, kisah hidupnya sejak kecil sudah cukup menyentuh hati; yatim sejak usia dini, tumbuh dalam keterbatasan, dan hidup di tengah masyarakat yang keras.
Namun, Nabi memilih jalan yang lebih luhur. Yang dipertontonkan Nabi saat memimpin Negara Madinah bukanlah narasi penderitaan, melainkan kejujuran (shiddiq), kepercayaan (amanah), kecerdasan (fathanah), dan kemampuan menyampaikan kebenaran (tabligh). Empat sifat ini bukan sekadar atribut pribadi, tetapi fondasi etis yang dijadikan sebagai ruh kepemimpinan. Nabi tidak menjual kisah masa lalu, apalagi memparodikannya di depan publik, tetapi menghadirkan nilai-nilai yang hidup dalam tindakan nyata.
Di tengah masyarakat yang sering menjadikan “asal dari bawah” sebagai alat politik, Nabi justru menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan soal asal-usul, melainkan soal integritas. Nabi tidak pernah berkata, “Saya orang susah, maka saya layak berkuasa.” Yang Nabi lakukan adalah membuktikan bahwa kesusahan masa lalu tidak boleh menjadi alasan untuk menindas di masa depan.
Kepemimpinan Nabi adalah antitesis dari parodi kekuasaan. Ia bukan sandiwara, bukan retorika, bukan pencitraan. Ia adalah cerminan dari jiwa yang telah selesai dengan dirinya sendiri; jiwa yang tidak butuh pujian, tetapi siap memikul amanah. Nabi tidak memanipulasi identitas, tetapi memurnikan niat. Tidak mengorbankan orang lain demi validasi, tetapi mengorbankan diri demi kemaslahatan umat.
Inilah pelajaran besar dari Madinah, bahwa kepemimpinan sejati bukan berasal dari kisah sedih, tetapi dari nilai yang dihidupkan. Dan Nabi Muhammad Saw telah menunjukkan bahwa kejujuran, kepercayaan, kecerdasan, dan kemampuan menyampaikan kebenaran adalah warisan kenabian yang harus terus dijaga oleh para pemimpin sepanjang zaman.
Logika terbalik dari Panggung Kekuasaan munafik. Aceh, kini dijuluki sebagai daerah termiskin di Sumatra, menyimpan ironi yang menyakitkan. Di tengah statistik kemiskinan yang terus diperbincangkan, posisi eksekuif hari justru sebagiannya diduduki oleh mereka yang sebelumnya dulunya duduk di legislatif. Mereka kembali tampil di panggung publik, mengajak rakyat bermimpi; membangun kembali, memperbaiki, mengangkat martabat daerah. Namun, mimpi itu sering kali berujung pada paradoks; bukan membebaskan dari kemiskinan, tetapi justru memperdalamnya. Karena, yang berkata demikian adalah orang yang sama; yakni mereka yang ikut merancang label kemiskinan.
Logika kontradiksi ini bukan sekadar angka, tetapi wajah nyata dari ketimpangan struktural. Daerah yang berada di bawah pengawasan mereka tercatat miskin, sementara mereka sendiri semakin kaya. Ini bukan sekadar kegagalan kebijakan, tetapi kegagalan etika. Ketika kekuasaan menjadi alat untuk memperkaya diri, bukan untuk melayani rakyat, maka mimpi kolektif berubah menjadi mimpi pribadi yang eksklusif.
Rakyat perlu belajar memahami metode berpikir terbalik yang sering digunakan dalam politik; ketika seseorang mengaku miskin, bisa jadi itu bukan ekspresi kejujuran, tetapi strategi untuk memperoleh kemewahan hidup di kemudian hari. Pengakuan sebagai “orang susah” menjadi narasi yang dijual untuk meraih simpati, lalu dijadikan tiket menuju fasilitas, pujian, dan kekuasaan. Ini adalah bentuk manipulasi psikologis yang halus namun berbahaya.
Dalam konteks ini, kepemimpinan bukan lagi soal visi, tetapi soal ilusi. Bukan soal pengabdian, tetapi soal pencitraan. Maka, rakyat harus lebih kritis, lebih sadar, dan lebih berani menuntut transparansi. Karena mimpi yang dibangun di atas kebohongan bukanlah mimpi yang membebaskan, melainkan mimpi yang memiskinkan.
Simpulan
Kepemimpinan prophetik bukanlah panggung pencitraan, melainkan perwujudan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw; kejujuran (shiddiq), kepercayaan (amanah), kecerdasan (fathanah), dan kemampuan menyampaikan kebenaran (tabligh). Nabi tidak pernah menjadikan asal-usulnya sebagai anak yatim sebagai alat legitimasi kekuasaan, melainkan menjadikan nilai sebagai fondasi kepemimpinan.
Dalam realitas sosial-politik kontemporer, kita menyaksikan paradoks yang menyakitkan; pemimpin yang tampil dari kalangan bawah justru menampilkan pola pikir terbalik dan manipulatif. Narasi penderitaan dijadikan alat untuk meraih kekuasaan, namun setelah berkuasa, mereka justru memperdalam kemiskinan rakyat dan memperkaya diri sendiri. Ini adalah bentuk self-victimization yang berbahaya, dan merupakan antitesis dari kepemimpinan kenabian.
Rakyat perlu membangun kesadaran kritis terhadap logika kontradiktif yang sering dipertontonkan di ruang publik. Biografi epik yang dipertontonkan di ruang publik bukan jaminan integritas, dan mimpi kolektif tidak boleh dikorbankan demi ambisi pribadi. Kepemimpinan sejati adalah keberanian untuk memikul amanah, bukan sekadar memainkan peran. Ia adalah cermin jiwa yang telah selesai dengan dirinya sendiri, bukan topeng yang menutupi niat. Tugas umat adalah mengembalikan ruh kepemimpinan agar tetap berpijak pada nilai, bukan pada ilusi. Karena hanya dengan kepemimpinan yang berlandaskan etika dan spiritualitas, mimpi tentang keadilan dan kemaslahatan umat dapat benar-benar terwujud.
Jakarta, 15 Oktober 2025
Komentar
Posting Komentar