Paradoks Cinta: Menimbang Ulang Ketiadaan Sifat Cinta dalam Asmaul Husna
Sifat mencintai dalam diri manusia melahirkan tiga malapetaka; mencemburui, memarahi, lalu membenci. Cinta sering dipuja sebagai kekuatan agung yang menyatukan manusia, melahirkan kebahagiaan, dan menjadi fondasi relasi sosial. Namun, dalam kenyataannya, cinta juga dapat menjadi sumber luka terdalam, penderitaan batin, dan bahkan kehancuran eksistensial. Fenomena ini, realitas yang dapat dianalisis secara ilmiah dan filosofis. “Cinta membunuh jiwa manusia” bukanlah hiperbola, melainkan refleksi dari kehilangan nilai, arah, dan kesadaran.
Filsafat memandang cinta sebagai pengalaman eksistensial yang kompleks. Para filsuf besar telah mengungkap sisi gelap cinta. Soren Kierkegaard, menyatakan bahwa cinta yang tidak diarahkan kepada yang transenden akan berujung pada keputusasaan. Cinta yang terlalu terikat pada dunia fana menjerumuskan manusia ke dalam penderitaan eksistensial.
Friedrich Nietzsche, melihat cinta sebagai ekspresi kehendak untuk berkuasa. Cinta yang posesif adalah bentuk dominasi yang membunuh kebebasan dan martabat jiwa. Simone de Beauvoir, mengkritik cinta romantik yang menjadikan perempuan sebagai objek, bukan subjek. Cinta yang tidak setara akan menindas dan mengasingkan. Cinta menjadi paradoks; ia bisa menjadi jalan menuju pembebasan, namun juga menjadi jerat yang menenggelamkan manusia dalam absurditas dan kehampaan.
Islam memandang cinta sebagai anugerah ilahi yang harus diarahkan kepada Allah sebagai sumber segala cinta. Ketika cinta kepada makhluk melebihi cinta kepada Sang Pencipta, maka jiwa akan tersesat. Beberapa prinsip spiritual yang relevan. Tawhid dalam cinta; Cinta sejati adalah cinta yang mengarah kepada Allah. Cinta kepada makhluk harus berada dalam kerangka pengabdian, bukan pengultusan.
Zuhud dan pengendalian diri; Islam mengajarkan untuk tidak terikat secara berlebihan pada dunia dan makhluk. Cinta yang melampaui batas akan menggelapkan hati dan menjauhkan dari fitrah. Al-Ghazali, menyatakan bahwa cinta kepada dunia adalah pangkal segala kesalahan. Jiwa yang terikat pada cinta duniawi akan kehilangan ketenangan dan makna.
Cinta yang tidak disertai dengan kesadaran spiritual akan menjadi fitnah (ujian) yang menyesatkan dan membunuh jiwa secara perlahan. Cinta membunuh jiwa manusia ketika. Ia menjadi alat pemenuhan ego, bukan jalan menuju makna. Ia menuntut kepemilikan, bukan pengabdian. Ia menjerat dalam ilusi, bukan membebaskan dalam kebenaran. Ia melahirkan penderitaan, bukan pertumbuhan.
Sebaliknya, cinta yang menghidupkan adalah cinta yang menumbuhkan kesadaran diri dan spiritual. Mengarahkan manusia kepada Tuhan dan nilai-nilai luhur. Menjadi jalan pengabdian, bukan penguasaan. Menghidupkan jiwa dengan kasih, bukan membunuhnya dengan obsesi.
Dua nama pertama dalam Asmaul Husna; Ar-Rahman dan Ar-Rahim menjadi pembuka hampir seluruh ayat dalam Al-Qur’an. Ini bukan sekadar urutan, melainkan penegasan bahwa rahmat (kasih sayang) adalah sifat utama dan paling mendominasi dalam relasi Tuhan dengan makhluk-Nya. Ar-Rahman; Kasih sayang yang universal, mencakup semua makhluk tanpa syarat, baik yang beriman maupun tidak. Ar-Rahim; Kasih sayang yang spesifik, ditujukan kepada hamba-hamba yang beriman dan taat.
Kedua nama ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak memperkenalkan diri-Nya pertama-tama sebagai Zat yang mencintai, tetapi sebagai Zat yang mengasihi. Ini penting secara teologis dan filosofis. Dalam bahasa Arab, kata "cinta" sering diterjemahkan sebagai hubb atau mahabbah, tidak ada kata al-Muhibb dalam urutan Asmaul Husna. Sedangkan rahmah berarti kasih sayang.
Perbedaan ini bukan hanya semantik, tetapi juga konseptual. Rahmah adalah bentuk cinta yang telah disucikan dari kepentingan, hasrat, dan tuntutan. Ia adalah cinta yang telah menjadi pengabdian, perlindungan, dan pengampunan. Maka, Tuhan menonjolkan rahmah, bukan hubb, karena rahmah adalah cinta yang telah mencapai kesempurnaan ilahiah.
Menurut al-Ghazali, ibn Arabi, dan Mulla Sadra, Tuhan dipahami sebagai sumber segala wujud dan kebaikan. Kasih sayang-Nya adalah manifestasi dari kehendak-Nya untuk memberi wujud, memberi kehidupan, dan memberi ampunan. Al-Ghazali, menyebut rahmah sebagai pancaran dari sifat Jamal (keindahan) Tuhan. Ibn Arabi, menyatakan bahwa cinta Tuhan kepada makhluk adalah cinta yang melahirkan rahmat, bukan sekadar emosi. Mulla Sadra, menekankan bahwa rahmat Tuhan adalah sebab ontologis dari keberadaan makhluk. Rahmah adalah bentuk cinta yang telah menjadi struktur kosmik dan hukum eksistensial.
Penonjolan sifat rahmah dalam Asmaul Husna mengandung pesan etis dan spiritual yang mendalam. Manusia dituntut untuk meniru sifat rahmah Tuhan, bukan sekadar mencintai, tetapi mengasihi secara aktif dan tanpa syarat. Kasih sayang adalah fondasi ibadah dan relasi sosial, sebagaimana sabda Nabi, “Orang yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.” Cinta yang tidak berakar pada rahmah akan menjadi cinta yang egoistik, posesif, dan merusak.
Cinta, dalam pemahaman umum, sering dipandang sebagai emosi luhur yang menyatukan, menghangatkan, dan memuliakan relasi antar manusia. Namun ketika cinta ditonjolkan secara berlebihan, terutama tanpa kesadaran spiritual dan pengendalian etis, ia justru melahirkan paradoks yang merusak; mencemburui, memarahi, lalu membenci. Ini bukan sekadar gejala emosional, melainkan bentuk penyimpangan dari fitrah kemanusiaan yang sejatinya diciptakan untuk menyayangi, bukan menguasai.
Mengadopsi cinta sebagai pusat orientasi hidup, tanpa penyucian dan penataan, adalah bentuk pelanggaran terhadap keseimbangan jiwa. Fitrah manusia adalah tunduk kepada kebenaran, kepada keadilan, dan kepada kasih sayang yang tidak bersyarat. Ketika cinta berubah menjadi hasrat untuk memiliki, menguasai, atau menyaingi, maka ia telah keluar dari jalur fitrah dan masuk ke wilayah nafsu. Di sinilah cinta kehilangan kemurniannya dan berubah menjadi sumber konflik batin.
Cinta tidak hanya tertuju pada lawan jenis. Ia juga menjelma dalam bentuk keterikatan terhadap harta, kedudukan, dan kekuasaan. Ketika seseorang mencintai harta secara berlebihan, ia akan merasa cemburu terhadap orang lain yang memiliki lebih banyak. Ia tidak lagi melihat harta sebagai amanah, tetapi sebagai simbol harga diri dan alat pembanding.
Cinta terhadap tahta melahirkan keengganan untuk melihat orang lain memiliki kedudukan yang setara. Ia ingin menjadi satu-satunya yang dihormati, ditinggikan, dan diakui. Sementara cinta terhadap kekuasaan melahirkan kecemburuan terhadap otoritas orang lain, bahkan terhadap pengaruh yang tidak mengancam secara langsung.
Dari cinta yang tertuju pada harta, kedudukan, dan kekuasaan, lahirlah sifat iri dan dengki. Iri adalah ketidaksenangan terhadap kenikmatan orang lain, sedangkan dengki adalah keinginan agar kenikmatan itu hilang dari orang lain. Kedua sifat ini adalah racun jiwa yang membunuh ketenangan, merusak relasi sosial, dan menjauhkan manusia dari cahaya spiritualitas. Dalam Islam, iri dan dengki adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena ia menghapus amal, merusak ukhuwah, dan menutup pintu rahmat.
Dalam dunia yang dipenuhi oleh kompetisi, pencitraan, dan pencarian validasi, kita diajak untuk kembali kepada cinta yang murni: cinta yang tidak melahirkan iri, dengki, atau cemburu, tetapi melahirkan kasih, sabar, dan keikhlasan. Di sinilah letak kemuliaan cinta dalam fitrah kemanusiaan.
Begitu juga dengan ibu. Dalam diri seorang ibu, tidak tertanam sifat cinta sebagaimana dipahami dalam konteks emosional manusiawi yang penuh tuntutan dan kepemilikan. Yang tertanam adalah kasih sayang yang dalam, dalam tradisi Islam disebut sebagai rahmah. Kasih sayang ini bukan sekadar perasaan, tetapi struktur spiritual dan biologis yang menyatu dalam eksistensi seorang ibu.
Begitu dalam dan mendasar kasih seorang ibu, sehingga dalam tubuhnya Tuhan menanamkan rahim; organ yang bukan hanya biologis, tetapi juga simbolis. Rahim adalah tempat ternyaman bagi manusia, ruang pertama kehidupan, tempat di mana manusia tidak dihakimi, tidak dituntut, dan tidak dibandingkan.
Rahim berasal dari akar kata yang sama dengan rahmah, menunjukkan bahwa kasih sayang ibu bukan sekadar naluri, tetapi pancaran dari sifat ilahi yang ditanamkan dalam fitrah perempuan. Kasih ibu adalah kasih yang memaafkan, merawat, dan menerima, bahkan ketika anaknya melakukan kesalahan yang besar sekalipun. Dalam diri seorang ibu yang menghayati sifat rahimnya, sebesar apa pun luka yang ditorehkan anak, kasih sayangnya tetap menjadi pelindung. Ia tidak menuntut balasan, tidak menuntut kesempurnaan, dan tidak menuntut kepemilikan.
Namun, jika seorang ibu menonjolkan sifat cinta dalam pengertian emosional yang manusiawi; cinta yang menuntut, cinta yang ingin memiliki, cinta yang ingin dibalas, maka ia akan mudah cemburu ketika anaknya harus berbagi cinta dengan orang lain, terutama dalam konteks pernikahan.
Cinta yang tidak disucikan akan melahirkan rasa memiliki yang berlebihan, dan ketika anak mulai mencintai orang lain, ibu yang terikat pada cinta akan merasa kehilangan, lalu marah, dan akhirnya membenci. Jika kebencian telah tumbuh dalam hati seorang ibu terhadap anaknya, maka hancurlah kehidupan anak itu. Sebab, tidak ada luka yang lebih dalam daripada luka yang datang dari orang yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Dan, tidak kutukan yang paling nyata kecuali kutukan ibu.
Cinta melahirkan kecemburuan, kemarahan, dan kebencian. Ia menjadi sumber konflik batin dan relasi yang rusak. Cinta yang tidak diarahkan kepada nilai transenden akan berubah menjadi kehendak untuk menguasai, bukan untuk merawat. Dan, cinta yang tidak disertai rahmah adalah cinta yang belum matang, belum suci, dan belum layak menjadi fondasi relasi.
Kasih ibu bukanlah cinta dalam pengertian umum. Ia adalah rahmah yang melampaui cinta. Ia adalah ruang pengampunan, bukan ruang tuntutan. Ia adalah cahaya yang menyinari anak, bahkan ketika anak berjalan dalam kegelapan. Dalam rahim seorang ibu, manusia belajar tentang kelembutan Tuhan. Dalam kasihnya, manusia mengenal makna pengampunan. Dan dalam pelukannya, manusia menemukan kembali fitrah kemanusiaan yang penuh kasih, bukan penuh tuntutan.
Jika ibu-ibu di dunia ini menghayati rahim sebagai rahmah, bukan sebagai cinta yang menuntut, maka anak-anak akan tumbuh dengan jiwa yang utuh, tidak terbelah oleh luka emosional. Mereka akan belajar mencintai dengan kasih, bukan dengan kepemilikan. Mereka akan belajar memaafkan, bukan membalas. Dan mereka akan menjadi manusia yang tidak hanya hidup, tetapi menghidupkan.
Cinta, dalam pengertian manusiawi adalah emosi yang tidak netral. Ia menuntut, mengikat, dan berharap. Cinta bukan sekadar memberi, tetapi juga menunggu balasan. Di dalamnya terkandung harapan akan kesetaraan, bahwa yang mencinta akan dicintai kembali, bahwa yang memberi akan menerima, bahwa yang mengorbankan akan dihargai. Namun, justru karena tuntutan itulah, cinta menjadi rapuh. Ketika balasan tidak datang sebagaimana diharapkan, cinta berubah wujud, ia melahirkan cemburu, marah, dan akhirnya benci.
Cemburu adalah bentuk pertama dari luka cinta. Ia muncul ketika cinta merasa terancam, ketika objek cinta berbagi perhatian dengan yang lain. Marah adalah bentuk kedua, ketika cinta merasa dikhianati atau tidak dihargai. Dan benci adalah bentuk ketiga, ketika cinta yang terluka tidak menemukan jalan pemulihan. Maka, cinta yang tidak dibalas dengan setara akan berubah menjadi racun yang membunuh ketenangan jiwa.
Karena itulah, cinta sejati hanya layak ditujukan kepada Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang mampu membalas cinta dengan kesempurnaan. Tuhan tidak pernah mengecewakan cinta yang tulus. Ia tidak pernah membiarkan cinta bertepuk sebelah tangan. Dalam spiritualitas Islam, cinta kepada Tuhan adalah cinta yang membebaskan, bukan cinta yang menjerat. Ia tidak melahirkan cemburu, karena Tuhan tidak terbagi. Ia tidak melahirkan marah, karena Tuhan tidak mengkhianati. Ia tidak melahirkan benci, karena Tuhan tidak pernah menolak hamba yang kembali.
Cinta kepada Tuhan adalah cinta yang tidak menuntut kesetaraan, tetapi menuntut keikhlasan. Ia tidak mengharapkan balasan duniawi, tetapi mengharap ridha dan rahmat. Dalam cinta kepada Tuhan, manusia tidak kehilangan dirinya, tetapi justru menemukan jati dirinya yang sejati. Ia menjadi hamba, bukan pemilik. Ia menjadi pengabdi, bukan penguasa.
Maka, cinta kepada sesama harus berada dalam kerangka kasih sayang, bukan dalam kerangka kepemilikan. Cinta kepada manusia, harta, kedudukan, dan kekuasaan harus ditata agar tidak melampaui cinta kepada Tuhan. Sebab ketika cinta kepada makhluk melampaui cinta kepada Sang Pencipta, maka jiwa akan tersesat, dan cinta akan berubah menjadi sumber penderitaan.
Dalam dunia yang penuh tuntutan dan pencarian balasan, kita diajak untuk kembali kepada cinta yang murni; cinta yang tidak menuntut, tidak cemburu, tidak marah, dan tidak benci. Cinta yang demikian hanya mungkin jika ditujukan kepada Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang mampu membalas cinta dengan kesempurnaan, dan hanya Tuhan yang mampu menyembuhkan luka cinta dengan rahmat-Nya yang tak terbatas.
Al-Quran menyebut bentuk cinta Tuhan kepada manusia bukanlah emosi yang bersifat instan atau sentimental, melainkan balasan spiritual yang diberikan kepada hamba yang mencapai derajat tertentu dalam pengabdian. Salah satu bentuk cinta ilahi yang paling jelas disebutkan adalah kepada orang-orang yang bertawakkal; yaitu mereka yang berserah diri sepenuhnya kepada kehendak dan ketetapan Allah. Salah satu ayat yang menegaskan hal ini adalah;
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal." Q. S. Ali-'Imran/003: 159
Ayat ini muncul dalam konteks kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Setelah Nabi Muhammad Saw bermusyawarah dengan para sahabat, Allah memerintahkan untuk bertawakkal, dan menegaskan bahwa cinta-Nya tertuju kepada mereka yang menyerahkan urusan kepada-Nya dengan penuh keyakinan dan ketenangan.
Cinta Tuhan bukanlah cinta yang menuntut, melainkan cinta yang memilih dan menganugerahkan. Ia diberikan kepada hamba yang telah melampaui cinta duniawi yang tidak lagi bergantung pada hasil, tetapi pada keikhlasan dan penyerahan diri. Tawakkal adalah bentuk tertinggi dari cinta manusia kepada Tuhan; cinta yang tidak menuntut balasan, tetapi percaya bahwa segala balasan terbaik akan datang dari-Nya.
Sebaliknya, cinta manusia yang belum disucikan sering kali menuntut balasan yang setara. Ia ingin dimiliki, dibalas, dan diakui. Ketika tidak terpenuhi, ia melahirkan cemburu, marah, dan benci. Maka, cinta kepada Tuhan adalah satu-satunya cinta yang tidak melukai, karena Tuhan tidak pernah mengecewakan hamba-Nya yang berserah.
Simpulan
Cinta, dalam pengertian manusiawi adalah emosi yang kompleks dan penuh tuntutan. Ia menuntut balasan, mengikat, dan sering kali melahirkan kecemburuan, kemarahan, serta kebencian ketika tidak terpenuhi. Ketika cinta dijadikan pusat orientasi hidup tanpa penyucian spiritual ia berubah menjadi sumber konflik batin dan penyimpangan dari fitrah kemanusiaan. Cinta kepada harta, kedudukan, dan kekuasaan melahirkan iri dan dengki, merusak relasi sosial, dan membunuh ketenangan jiwa.
Sebaliknya, kasih sayang (rahmah) adalah bentuk cinta yang telah disucikan. Ia tidak menuntut, tidak menguasai, dan tidak melukai. Dalam diri seorang ibu, rahmah menjadi manifestasi paling nyata dari cinta ilahi; melindungi, memaafkan, dan menyinari anak bahkan dalam kegelapan. Rahmah adalah cahaya yang menghidupkan, bukan api yang membakar.
Cinta sejati hanya layak ditujukan kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang mampu membalas cinta dengan kesempurnaan. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal; mereka yang berserah diri dengan penuh keikhlasan. Cinta kepada Tuhan adalah cinta yang membebaskan, menyembuhkan, dan mengangkat jiwa menuju kedamaian hakiki.
Dalam dunia yang penuh tuntutan dan pencarian balasan, manusia diajak untuk kembali kepada cinta yang murni; cinta yang tidak menuntut, tidak cemburu, tidak marah, dan tidak benci. Cinta yang demikian hanya mungkin diperoleh jika ditujukan kepada Tuhan dan dijalani dalam kerangka rahmah. Di sanalah letak keselamatan jiwa dan kemuliaan hidup.
Jakarta, 14 Oktober 2025
Komentar
Posting Komentar