Trustless dan Suspicious: Wajah Curiga Mengawal Kekuasaan Sala-Waloi

Kecurigaan sebagai modal etis dalam menghadapi kekuasaan yang Sala-Waloi/carut-marut. Dalam konteks pemerintahan yang mengalami disorientasi moral dan institusional; dalam istilah lokal disebut sala-waloi. Di sini, rakyat tidak hanya dituntut untuk bersikap tidak percaya (trustless), tetapi juga dituntut mengembangkan sikap curiga (suspicious) terhadap kekuasaan. Ketika kepercayaan publik dikhianati secara sistematis, ketidakpercayaan menjadi bentuk pertahanan diri kolektif. Namun, ketidakpercayaan saja tidak cukup. Ia harus disertai dengan kesadaran kritis yang aktif mencurigai motif di balik setiap kebijakan dan tindakan kekuasaan.

Sikap tidak percaya dan curiga bukanlah bentuk permusuhan, melainkan ekspresi dari cinta yang dikhianati. Rakyat mencurigai bukan karena benci, tetapi karena pernah percaya. Konteks ini, trustless dan suspicious menjadi bentuk pengawasan non-legalitas yang justru lebih efektif dalam membentuk opini publik dan menekan kekuasaan agar kembali pada jalur etiknya. Ketika sistem hukum menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan, maka pengawasan legal-formal tidak lagi memadai. Yang dibutuhkan adalah cengkraman mental; kesadaran kolektif yang mencurigai, mempertanyakan, dan menolak tunduk pada narasi kekuasaan yang manipulatif.

Cengkraman ini bekerja di ranah kesadaran, bukan di ruang sidang. Ia hadir dalam diskusi warung kopi, unggahan media sosial, hingga bisik-bisik di ruang keluarga. Justru karena informal, ia lebih sulit dikendalikan dan lebih kuat daya gugatnya. Dalam tradisi filsafat politik, kecurigaan terhadap kekuasaan bukanlah hal baru. Machiavelli, Rousseau, hingga Foucault telah menyingkap bagaimana kekuasaan bekerja melalui mekanisme kontrol, simbol, dan narasi. Dalam masyarakat yang sehat, kepercayaan dibangun di atas transparansi dan akuntabilitas. Namun, dalam masyarakat yang sala-waloi/carut-marut, kecurigaan menjadi satu-satunya jalan untuk menjaga kewarasan kolektif.

Ketika kekuasaan kehilangan moralitas, rakyat tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Trustless dan suspicious bukanlah bentuk dekadensi sosial, melainkan ekspresi dari kesadaran politik yang matang. Dalam medan tempur etis ini, rakyat bukan melawan pasukan bersenjata, melainkan menghadapi musuh yang lebih halus dan berbahaya; kebusukan moral yang dibungkus dalam retorika kekuasaan. Maka, jangan takut untuk tidak percaya. Jangan ragu untuk curiga. Karena dalam dunia yang sala-waloi politik, kecurigaan adalah bentuk cinta yang paling jujur kepada bangsa.

Trustless dan suspicious sebagai modal etis pengawasan publik. Dalam lanskap pemerintahan yang kerap kali diliputi oleh praktik-praktik manipulatif dan penyimpangan moral, sikap tidak percaya (trustless) dan curiga (suspicious) bukanlah bentuk dekadensi sosial, melainkan ekspresi dari kesadaran politik yang matang. Kedua sikap ini menjadi jalan ampuh untuk membuat kekuasaan lebih berhati-hati dalam mengelola anggaran dan merumuskan kebijakan publik. Ketika sistem hukum tidak mampu menjangkau kejahatan yang tersembunyi dan canggih, maka pengawasan berbasis rasa; yakni ketidakpercayaan dan kecurigaan kolektif menjadi alternatif yang tak kalah penting.

Kejahatan yang berusaha mengelabui hukum sering kali beroperasi dalam ruang-ruang abu-abu, memanfaatkan celah regulasi dan retorika formal untuk menutupi motif-motif busuk. Dalam kondisi seperti ini, pengawasan legal-formal menjadi tumpul. Maka, rakyat perlu mengembangkan bentuk pengawasan non-legalitas yang bersumber dari kesadaran kritis dan intuisi sosial. Trustless dan suspicious bukan sekadar sikap negatif, tetapi merupakan suplemen etis yang menjaga agar kekuasaan tidak melampaui batasnya.

Ketika rakyat tidak mudah percaya dan aktif mencurigai setiap kebijakan, kekuasaan dipaksa untuk lebih transparan, lebih akuntabel, dan lebih berhati-hati. Dalam konteks ini, kecurigaan bukanlah bentuk permusuhan, melainkan mekanisme pertahanan moral. Ia bekerja di ranah kesadaran, bukan di ruang sidang. Ia hadir dalam diskusi publik, dalam narasi media alternatif, dan dalam bisikan nurani yang menolak tunduk pada kekuasaan yang tidak jujur.

Sikap Trustless dan suspicious bukanlah dosa demokrasi, melainkan bentuk cinta yang paling jujur kepada bangsa. Ia lahir dari pengalaman dikhianati, dan tumbuh sebagai komitmen untuk menjaga marwah keadilan. Dalam dunia yang penuh tipu daya, sikap tidak percaya dan mencurigai adalah cahaya kecil yang menuntun rakyat untuk tetap waras, tetap kritis, dan tetap berdaulat secara moral.

Ekspresi kecurigaan sebagai etika publik dalam era kekuasaan yang sala-waloi. “Curigalah dan jangan pernah percaya”. Sebuah dalil yang mungkin terdengar ekstrem, namun dalam konteks kekuasaan yang terus-menerus menunjukkan gejala sala-waloi/carut-marut, kehilangan arah moral, dan menjauh dari amanat publik, dalil ini justru menjadi prinsip etis yang relevan dan mendesak. Ketika hukum tak lagi mampu menjangkau kejahatan yang tersembunyi, dan ketika transparansi hanya menjadi slogan kosong, maka sikap trustless dan suspicious bukanlah bentuk dekadensi, melainkan ekspresi kewaspadaan yang sehat.

Ketidakpercayaan dan kecurigaan bukanlah kriminalitas. Ia adalah bentuk pengawasan moral yang lahir dari pengalaman kolektif dikhianati. Dalam dunia yang terbuka oleh teknologi informasi, media sosial menjadi ruang ekspresi yang memungkinkan rakyat menyuarakan ketidakpercayaan dan mencurigai kekuasaan secara terbuka. Ucapan dan tindakan menjadi medium perlawanan. Jari-jari yang menekan layar bukan sekadar gestur digital, melainkan simbol dari kesadaran politik yang menolak tunduk pada kekuasaan yang manipulatif.

Keputusan Trustless dan suspicious harus diekspresikan, bukan disembunyikan. Ia perlu hadir dalam wacana publik, dalam kritik terbuka, dalam satire, dalam narasi alternatif yang menolak dominasi tunggal kekuasaan. Dalam masyarakat yang sehat, ekspresi kecurigaan bukanlah ancaman, melainkan mekanisme korektif. Ia memaksa kekuasaan untuk lebih berhati-hati, lebih transparan, dan lebih bertanggung jawab.

Ketika kekuasaan semakin hari semakin sala-waloi, maka ekspresi ketidakpercayaan bukanlah bentuk kebencian, melainkan cinta yang kritis. Ia adalah ludah nurani yang menolak ditelan oleh retorika palsu. Ia adalah suara kecil yang menolak dibungkam. Dalam dunia yang penuh tipu daya, mencurigai adalah bentuk keberanian, dan tidak percaya adalah bentuk kesetiaan pada kebenaran.

Algoritma kekuasaan. Dalam lanskap kekuasaan yang semakin kompleks dan penuh dengan permainan simbolik, kecurigaan bukanlah sikap negatif, melainkan bentuk kewaspadaan etis yang dibutuhkan publik. Rakyat perlu curiga atas setiap keputusan yang diambil oleh penguasa, curiga ke mana waktu-waktu kekuasaan dihabiskan, curiga dengan siapa koordinasi dilakukan, dan curiga atas segala bentuk penggunaan anggaran. Kecurigaan ini bukan sekadar respons emosional, melainkan ekspresi dari kesadaran politik yang matang dan bertanggung jawab.

Di era digital, algoritma kedekatan menjadi instrumen baru dalam membentuk persepsi dan memengaruhi keputusan. Ketika penguasa memposting kedekatan dengan tokoh tertentu, kelompok tertentu, atau institusi tertentu, publik perlu membaca lebih dalam. Apa motif di balik kedekatan itu. Siapa yang diuntungkan. Apa dampaknya terhadap kebijakan. Kedekatan bukan lagi sekadar relasi sosial, melainkan strategi politik yang bisa menggeser arah keputusan publik. Maka, mencurigai kedekatan adalah bagian dari mencurigai kekuasaan.

Kecurigaan terhadap kekuasaan bukanlah bentuk permusuhan, melainkan bentuk cinta yang kritis terhadap bangsa. Ia lahir dari pengalaman dikhianati dan tumbuh sebagai komitmen untuk menjaga integritas publik. Dalam dunia yang penuh dengan manipulasi simbolik dan algoritma yang menyembunyikan motif, rakyat tidak boleh pasif. Mereka harus aktif mencurigai, aktif mempertanyakan, dan aktif menolak tunduk pada narasi kekuasaan yang tidak transparan.

Trustless dan suspicious bukanlah dosa demokrasi. Ia adalah cahaya kecil yang menuntun rakyat untuk tetap waras, tetap kritis, dan tetap berdaulat secara moral. Dalam dunia yang sala-waloi, mencurigai adalah bentuk keberanian, dan tidak percaya adalah bentuk kesetiaan pada kebenaran.

Simpulan

Dalam konteks kekuasaan yang mengalami disorientasi moral dan institusional, sikap trustless dan suspicious bukanlah bentuk dekadensi sosial, melainkan ekspresi dari kesadaran politik yang matang dan bertanggung jawab. Ketika hukum formal tak lagi mampu menjangkau kejahatan tersembunyi, dan ketika transparansi hanya menjadi retorika, maka pengawasan publik harus beralih pada ranah kesadaran kritis dan intuisi sosial. Kecurigaan terhadap kekuasaan menjadi suplemen etis yang menjaga agar kebijakan publik tidak terjebak dalam manipulasi dan penyimpangan.

Media sosial dan ruang digital memberi peluang luas bagi rakyat untuk mengekspresikan ketidakpercayaan dan kecurigaan secara terbuka. Dalam sistem algoritma kedekatan dan permainan simbolik, ekspresi trustless dan suspicious menjadi mekanisme korektif yang memaksa kekuasaan untuk lebih berhati-hati, transparan, dan akuntabel. Sikap ini bukanlah bentuk permusuhan, melainkan cinta yang kritis terhadap bangsa; cinta yang menolak dibungkam oleh retorika palsu dan kebusukan moral.

Karena itu, dunia yang sala-waloi/carut-marut politik, mencurigai adalah bentuk keberanian, dan tidak percaya adalah bentuk kesetiaan pada kebenaran. Trustless dan suspicious bukan hanya jalan pengawasan publik, tetapi juga fondasi etika politik yang menjaga marwah keadilan dan kewarasan kolektif.

Jakarta, 23 Oktober 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Leader Prophetik: Bukanlah Biografi Epik dari Ilusi Kekuasaan Manipulatif

Paradoks Cinta: Menimbang Ulang Ketiadaan Sifat Cinta dalam Asmaul Husna

Fatimah Az-Zahra: Pewaris Keteladanan Kenabian dan Penyangga Peradaban