Siasat Pendidikan: Menyulap Ruang Kelas menjadi Ruang Pikir
Ilmu adalah cahaya. Mendapatkan cahaya sama dengan memperolah penerang dalam jiwa. Untuk meperoleh banyak cahaya mesti berdiri di tanah lapang. Untuk memperoleh cahaya matahari sepenuhnya mesti berada di ruang terbuka tanpa ada satu benda pun yang menghalangi cahaya masuk.
Berbeda dengan orang yang berada di dalam ruangan, walaupun memperoleh cahaya tetapi tidak sekuat cahaya yang diperoleh di tempat terbuka. Lembaga pendidikan sebagai sumber ilmu mesti dibuka seluas-seluasnya; baik dibuka akses, biaya, kurikulum, dan lebih utama membuka ruas jalan menjawab tantangan zaman.
Penerang ruangan diperoleh melalui cahaya yang dimunculkan dari pemicu cahaya/lampu. Semakin besar ruangannya maka semakin besar pula lampu yang dibutuhkan. Sementara, cahaya dalam jiwa berupa ilmu yang membawa informasi-informasi yang dapat digunakan untuk menggiring manusia menuju kehidupan yang lebih baik, dan juga menjadi alat menyelesaikan segala persoalan.
Persoalan yang datang kepada manusia sesuai dengan masa dan eranya. Maka ilmu yang harus diperoleh juga sesuai dengan masa dan eranya juga. Ilmu datang untuk menyelesaikan persoalan kehidupan manusia. Ilmu agama mengarahkan seseorang menjadi benar; benar dalam memahami Tuhan dan juga benar dalam memahami manusia. Habib Ali al-Jufri menyampaikan al-insanu qabla tadayyun “kenalilah dulu manusia sebelum mengenal agama”, kelahiranmu menentukan agamamu, maka jangan pernah merasa sombong karena memiliki agama.
Humanity befor religiosity, jika seseorang terlahir tidak terlebih dulu mengenal kemanusiaan maka seseorang hanya menjadi tuhan-tuhan kerdil yang bisanya cuma menghakimi orang lain sebagai orang yang tidak diberkati Tuhan. Sementara, ilmu pengetahuan lainnya/ilmu pengetahuan umum hadir untuk menyelesaikan persoalan dunia. Dalam Islam tidak ada dikotomi terhadap ilmu pengetahuan; yang ada hanyalah pemisahan secara kewajiban. Sebagian ilmu hukumnya fardhu ‘ain, dan sebagian yang lain hukumnya fardhu kifayah.
Terkait dengan ilmu, pelaksanaannya terkendala pada fasilitas; baik fasilitas berupa fisik maupun fasilitas berupa biaya-biaya. Pendidikan di negeri ini termasuk berbiaya tinggi, dan di sini negara seperti tidak hadir sepenuhnya. Satu sisi memperoleh pendidikan berbiaya murah sementara sebagian yang lain harus membayar lebih mahal. Ini disebabkan sistem biaya subsidi silang. Biaya subsidi silang satu sisi menguntungkan satu pihak dan menyusahkan pihak lain. Ini semua terjadi karena pemerintah tidak hadir sepenuhnya menyelesaikan persoalan pendidika yang semakin hari semakin menghadapi tantangan.
Situasi seperti ini, kehadiran Pemerintah Daerah diperlukan dalam rangka mensubsidi biaya-biaya pendidikan di Aceh. Mengatasi persoalan ini ilmu tidak akan mampu menjawabnya, kecuali akal yang berpikir. Pengetahuan tidak hanya menjadi ilmu baku untuk diketahui tetapi juga menjadi pengetahuan ter-upgrade. Dalam hal ini, akal mesti lebih tajam menangkap fenomena pendidikan yang dihadapi saat ini. Dengan ilmu pengetahuan manusia memahami banyak hal maka dengan akalnya manusia dapat mengatur banyak langkah. Artinya, akal mesti lebih cepat dari ilmu itu sendiri. Jika kamu punya ilmu satu galah maka kamu harus punya akal dua galah. Lompatan akal mesti lebih cepat dari ilmu itu sendiri.
Ilmu mendesain pikiran sementara akal memperbaharui cara berpikir. Lahirnya ilmu terkait dengan penataan akal (logika filosofis) bertujuan untuk menata akal dengan baik. How to make our ides clear, bagaimana menjadikan akal tuntas dalam memahami sesuatu; maka itu semua harus dimulai dari ilmu dan penataan akal dengan baik. Ilmu bisa saja salah dalam menerjemahkan pengertian-pengertian pada objek-objek tertentu disebabkan sifat ilmu yang baku dipahami, maka akal membawanya pada pemahaman yang lebih confortable dengan situasi dan keadaan.
Politik pendidikan kita saat ini tidak membawa kaum terpelajar pada pasar ilmu. Terjebaknya penuntut ilmu lebih dikarenakan oleh cara berpikir pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dalam memahami fungsi ilmu menjawab persoalan yang dihadapi. Ilmu-ilmu kekinian seperti tidak mendapat tempat dalam kurikulum di banyak lembaga pendidikan. Kita lebih fokus memperbanyak ruang kelas dibandingkan dengan memperluas ruang pikir. Artinya, ruang kelas lebih menjanjikan diperbaharui dari pada ruang pikir. Sebab, membangun ruang kelas memudahkan bagi pemangku mengolah anggaran; olahan anggaran yang akhirnya masuk dalam kantong pribadi.
Ditambah lagi berjamurnya lembaga pendidikan. Satu sisi bernilai baik; banyaknya lembaga pendidikan dapat mendekatkan anak-anak dengan sekolah-sekolah. Tetapi, banyaknya lembaga pendidikan dan banyaknya ruang kelas tidak membawa generasi pada pencerdasan akal, dikarenakan lebih pada membangun ruang kelas tidak dibarengi dengan membangun ruang pikir.
Akhirnya, lembaga pendidikan melahirkan generasi yang tidak mampu menyelesaikan persoalan zamannya dan bersaing, melainkan menjadi bumerang bagi zamannya sendiri. Biaya pendidikan yang dikeluarkan tidak sebanding dengan output yang dapat dinikmati oleh generasi. Tidak jarang hasil produksi lembaga pendidikan menjadi sampah bagi situasi dan kebutuhan zamannya.
Banyaknya lembaga pendidikan baru yang dibangun menandakan banyaknya ruang kelas. Membangun sekolah artinya memperbanyak ruang belajar, bukan berarti memperluas ruang pikiran. Dulu, di negeri ini lembaga pendidikan tidak banyak; menandakan ruang kelas sedikit, tetapi ruang pikiran diperlebar selebar-lebarnya, sehingga diawal kemerdekaan dan era sebelumnya; khususnya wilayah kepemimpinan diisi oleh sosok pemikir. Sederetan nama-nama besar dari berbagai kalangan adalah pemikir.
Ruang kelas tanpa ruang pikiran telah merugikan bangsa ini; menghabiskan banyak energi, waktu, biaya, dan pikiran selama beberapa dekade. Mencetak generasi yang tidak menjawab kemajuan zaman telah membuat upaya pendidikan kita gagal, dan ini merugikan satu generasi. Merugikan satu generasi sama dengan mematikan kemajuan satu abad. Solusinya, kita perlu memperbanyak ruang pikir, tidak cukup hanya dengan memperbanyak ruang kelas. Yang kurang di negeri ini bukan biaya membangun ruang kelas tetapi biaya pengembangan ide dan biaya memperluas ruang pikiran.
Terbatasnya ruang pikir membawa efek buruk bagi manusia dalam menangkap segala hal; terutama menyangkut dengan masalah politik. Politik hari ini seperti tidak keluar dari ruang pikir yang baik. Masyarakat sebagai objek utama dari politik tidak mendapatkan materi pikir politik yang memadai, sehingga keberadaan politik menjadi buruk bagi rakyat. Pilihan politik tidak pada ruang pikiran tetapi masih terkurung pada ruang elektabilitas diri, popularitas diri bukan pada kemampuan desain membangun yang baik bagi calon-calon dan partai pendukung.
Sempitnya ruang pikir telah membawa relasi buruk antara masyarakat, pendidikan, agama, dan politik. Relasi Islam dan politik akhir-akhir ini buruk di ruang pikir publik. Bahkan dalam ketidaktahuannya orang-orang sering menfrontalisir antara politik dengan agama. Juga tidak dihubungkan antara politik dengan sifat/ pelaku atau nilai politik itu sendiri. Sehingga yang dilihat dari proses politik pembicaraan terkait agama politik, bukan politik yang membawa nilai dari Islam itu sendiri. Politik merupakan satu bagian dari Islam, yang mana pembahasannya sangat sempit.
Akibat dari sempitnya ruang pikir publik maka yang mengemuka adalah konflik. Sempitnya ruang pikir telah membawa umat ini dalam kegelapan berpikir. Akhirnya, jika kalkulasi; lima belas (15) persen membahas masalah, sisanya delapan puluh lima (85) persen adalah konflik. Dekade terakhir ini umat terus terjebak dalam ruang kelas tanpa ruang pikir yang baik. Kebijakan politik pun lebih menata (membangun) ruang kelas dari pada memperlebar ruang pikir. Menata ruang pikir tidak hanya tentang penataan ruang politik tetapi juga menyangkut dengan ruang hidup selaras dengan perkembangan zamannya bagi generasi yang terus tumbuh.
Pemerintah (termasuk Pemerintah Daerah) mesti bergerak lebih cepat dalam mendekatkan ruang kelas yang berkualitas saing sekaligus memperlebar ruang pikir. Artinya, penguasa jangan hanya disibukkan dengan politik kekuasaan, juga mesti disibukkan dengan upaya mendekatkan ruang kelas berkualitas saing nasional dan internasional untuk generasi yang tinggal di pelosok-pelosok negeri. Mengulang cara berpikir lama sama dengan memundurkan satu generasi seratus tahun mundur ke belakang.
Dunia berubah dalam hitungan detik, sementara pikiran jalan di tempat. Ini masalah besar bagi Aceh. Aceh lebih mengedepankan konflik/perang politik dibandingkan dengan perang pikiran. Akhirnya, Aceh hanya menjadi mangsa pasar dalam konteks kekinian. Modernisitas teknologi berupa barang-barang yang digunakan tidak dibarengi dengan modernisitas pikiran.
Produk teknologi hanya digunakan untuk membangun konflik di tengah-tengah masyarakat, dan tidak sepenuhnya membangun intelektualitas. Media informasi menjadi tidak bermanfaat, alat-alat kerja yang digunakan pun sering menuai masalah secara hukum disaat pengadaannya menggunakan anggaran negara. Logikanya, jika memproduksi teknologi mutakhir tidak mampu seharusnya dapat digunakan sebaik mungkin untuk menunjang aktivitas hidup saat ini dan masa yang akan datang.
Pendidikan mesti membangun ruang pikir. Melalui jalan pikiranlah ruas pertengkaran ide menjawab masalah yang terus berkembang mengitari kehidupan. Lembaga pendidikan mesti dirancang sebagai lembaga pikiran. Bukan ruang kelas yang perlu diperbanyak tetapi ruang pikir yang mesti dikembangkan.
Politik pendidikan harus berjalan beriringan dengan politik kekuasaan. Jika politik kekuasaan mengantarkan seseorang pada singgasana kepemimpinan maka politik pendidikan mengantarkan seseorang pada singgana kemajuan; baik maju ilmu pengetahuan, agama, budaya, teknologi, dan terciptanya ruas jalan menuju kesejahteraan hidup untuk menggapai kesejahteraan di dunia/pekerjaan yang layak, dan kebahagiaan di akhirat/syurga.
Lembaga pendidikan ibarat matahari yang memancarkan cahaya, maka pintu masuknya harus dibuka selebar-lebarnya. Selemah-lemah cahaya adalah sinar yang bersembunyi di dalam batu giok. Begitu lemahnya, sehingga untuk melihat cahaya tersebut mesti dibantu dengan cahaya dari luar/senter. Melihat cahaya yang kecil juga menggunakan alat pemancar cahaya dari benda yang kecil pula (senter). Tidak mungkin cahaya yang terdapat dalam batu giok dilihat menggunakan pancaran sinar dari matahari. Bukan sinar matahari yang terlalu kuat melainkan cahaya batu giok yang lemah.
Membangun Peradaban Politik, 9 Agustus 2024
Komentar
Posting Komentar