Politik Haji: Pemimpin Mengurban Diri Bukan Mencari Korban
Bulan Zulhijjah juga disebut dengan bulan kurban. Politik identik dengan kerja sosial; yang mana orientasnyai adalah meng-urbankan pikiran, tenaga, jiwa, dan harta. Tetapi, berbeda dengan politik korban; bahkan di banyak tempat termasuk Aceh ada yang mengorbankan nyawa orang-orang untuk kepentingan dirinya. Seyogianya; politik jalan memperjuangkan hidup layak bagi banyak orang. Namun, pada sebagian besar pelakunya politik malah mengantarkan kesejahteraan untuk diri, keluarga, dan kelompoknya. Dalam konteks ini, peran pribadi politik tidak mengurbankan diri, melainkan mencari korban dari rakyatnya sendiri.
Di sini, korban pertama kali adalah kelompok mendukung. Di kalangan tim sukses banyak yang terpedaya (keunong peurahop) dengan performa utopis dari sosok yang ingin berkuasa. Sosok yang tidak pernah mau meng-urbankan dirinya untuk mengantarkan kesejahteraan untuk banyak orang, tetapi ia lebih cenderung menjadikan orang lain sebagai korban. Di musim pra-kampanye politik mulai masuk rada-rada banyak orang akan menjadi korban. Dan ini dapat dilihat dari ucapan, tindakan, dan cara-cara yang ditempuh saat menyampaikan misi politik menciptakan bibit-bibit konflik horizontal.
Di era; di mana media informasi terbuka mendekatkan
komunikasi antar manusia. Seharusnya dimanfaatkan untuk menyampaikan visi-misi
politik tanpa harus membuat mempertemuan dengan masyarakat secara langsung.
Menyampaikannya dalam bentuk video, tulisan, dan poster-poster. Pola pertemuan
secara langsung dengan masyarakat, lalu menyampaikan orasi politik mendatangkan
banyak mudharat; di antaranya.
Peristiwa pertama, mudharat bagi waktu; baik waktu bagi calon kandidat, timses, maupun waktu bagi rakyat. Kedua, mengumpulkan banyak orang bisa menggiring hal-hal negatif. Ketiga, butuh biaya. Keempat, mudah terbangun sentimen antar pendukung. Kelima, menjadikan orang yang menyampaikan misi politik berbicara banyak hal yang tidak urgen sama sekali dengan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana Sayyidina Umar ra berkata; Mantaraka fudhulal kalam munihal hikmata (barang siapa yang mampu meninggalkan banyak bicara ia pasti dianugerahi hikmah). Banyak bicara dalam hal politik menjanjikan sesuatu yang ia sendiri tidak mampu menjalankannya.
Hikmah di sini bermakna tersirat kepentingan antara pemimpin, tim sukses, dan rakyat. Bagi orang-orang yang mengedepankan sentimen dalam politik ia selalu menggiring opini buruk terhadap lawannya. Penggiringan opini buruk ini sama sekali tidak bermanfaat untuk kemajuan daerah dimasa yang akan datang. Dan bahkan, penggiringan opini dapat membelah masyarakat, sehingga konflik tidak hanya tejadi pada kelompok pendukung, melainkan juga konsentrasi masyarakat terbelah. Dapat dibayangkan, keterbelahan ini meluas sebanyak orang-orang yang mencalonkan diri. Konflik sosial yang muncul akibat dari kepentingan politik tidak berguna sama sekali untuk daerah dan kemajuan masyarakatnya.
Berdasarkan politik mengurbankan diri, pikiran, waktu, dan jiwa untuk kepentingan rakyat maka semangat hari raya kurban (Zulhijjah) mesi menjadi pendorong utama proses pilkada 2024. Beberapa peristiwa terjadi di bulan Zulhijjah; di antaranya. Peristiwa pertama, diterimanya taubat Nabi Adam. Larangan kepada Adam dan Hawa agar tidak mendekati pohon khuldi, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah. Peristiwa ini sangat familiar dalam ingatan umat Islam. Adam dan Hawa bukan hanya mendekati pohon khuldi tetapi malah memakannya.
Inilah larangan pertama pada manusia. Tuhan melarang untuk
mendekati pohonnya malah manusia memakan dan melahapnya. Dalam peristiwa apa
pun, manusia dilarang untuk mendekati dosa, tetapi manusia bukan berusaha
menjauh dari perbuatan tersebut malah melakukannya. Bahkan melakukan berulang
kali. Kesalahan demi kesalahan yang dilakukan tidak menumbuhkan kesadaran akan
fatalnya peristiwa tersebut; baik untuk dirinya dan orang lain.
Banyak hal yang dilarang dalam proses politik pileg,
pilpres, dan pilkada. Tentunya, larangan ini bukan tanpa alasan melainkan
mencegah terjadinya pembusukan terhadap orang lain yang dilakukan oleh sesama
anak bangsa. Menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dikerjakan dan diterima akal
merugikan banyak pihak. Pihak pendukung akan menerima mentah-mentah ucapan
tersebut, sementara pihak yang lain malah memahaminya sebagai program cet
langet (program yang tidak dapat direalisasikan). Ketika terjadi pro dan
kontra maka konflik ide mengemuka. Pada prinsipnya keterbelahan sosial dimulai
dari ide yang berkonflik. Disaat manusia berkonflik maka peluang menuai dosa
besar sekali.
Peristiwa kedua,
diterimanya taubat Nabi Yunus. Yunus telah diangkat menjadi Rasul pada usia 30
tahun. Yunus diutus pada kaum yang bejatnya luar biasa, berdakwah selama 33
tahun hanya beriman dua orang saja. Atas keburukan umat tersebut Yunus putus
asa dan menyerahkan urusan pada Tuhan. Dalam keputusasaannya Tuhan pun memberi
tempo pada Yunus agar mengajak kaumnya ke jalan yang benar selama 40 hari lagi.
Namun, atas kebejatan umatnya tidak sampai 40 hari tempo yang ditentukan Tuhan, dalam waktu 33 hari Yunus meninggalkan umatnya. Umatnya pun ditenggelamkan Yunus terbawa derasnya lautan, lalu Tuhan berfirman pada ikan agar memakan dan menyelamatkan Yunus. Dalam perut ikan besar Yunus memohon ampunan kepada Tuhan.
Hikmahnya dari peristiwa ini, bagi siapapun yang terlibat dalam proses politik tidak boleh berputus asa atas pencapaian yang mesti diraih. Sebab, misi politik bukanlah program jangka pendek melainkan program jangka panjang. Menyerah hanya karena pembusukan satu pihak merupakan putus asa tak berdasar. Namun, memperlebar pembusukan juga perbuatan yang buruk. Isu politik sering dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan. Dan hal ini wajar jika isu tersebut menyangkut dengan latar seseorang yang ikut mencalonkan diri. Menelusuri latar menjadi penting sebab yang hendak dikelola adalah pemerintahan.
Dengan demikian, isu politik yang dikemukan murni untuk membuka pikiran publik agar tidak salah memilih pemimpin. Sebab, pemimpin mesti dilihat dari latar yang baik; seperti jejak moral, pengalaman kerja, dan yang lainnya. Menyerah dalam proses politik yang bertujuan murni untuk mengantarkan kesejahteraan pada orang banyak sama dengan meninggalkan dakwah politik di tengah-tengah masyarakat. Dakwah politik yang dimaksud di sini adalah sebuah upaya menciptakan politik yang damai, jujur, dan adil untuk mengantarkan kebaikan kepada umat manusia. Sehingga, masyarak tidak dibiarkan tenggelam dalam kapal demokrasi sesaat. Politik yang sifatnya sementara tentunya tidak etis mengorbankan nilai-nilai persaudaraan.
Peristiwa ketiga, dilahirkannya Nabi Isa tanpa seorang ayah. Sebagian umat beragama menuhankan Isa. Juru selamat yang dimaknai bukan hanya penyelamat kegelapan berpikir umat oleh karena ketiadaan petunjuk. Namun, lebih jauh dari itu juru selamat dimaknai pembebasan atas dosa-dosa manusia yang dilakukan di atas muka bumi. Menuhankan Isa karena lahir tanpa ayah tentunya tidak logis. Sementara itu, Adam diciptakan bukan hanya tidak ada ayah melainkan juga tidak ada ibu. Tetapi, argumentasi seperti ini tidak mudah diterima bagi orang-orang yang telah terpatri keimanan terhadap pemahaman agamanya. Bagaimana pun pemahaman pemeluk agama tentang Isa, Islam meyakininya sebatas Rasul Tuhan yang membawa kedamaian atas umat manusia.
Peristiwa politik harus dipahami sebagai jalan pembebasan bagi manusia. Memerdekan hak pilih dan memerdekakan hak mendukung setiap orang untuk memilih pemimpinnya perlu dikedepankan. Bukan menggiring pilihan orang-orang karena adanya hubungan kekerabatan. Kekerabatan dalam politik tidak dilihat dari faktor seketurunan dan seanggotaan, melainkan dilihat dari kedekatan visi-misi yang logis dan mendesak dalam mengantarkan kesejahteraan atas umat manusia.
Kemerdekaan atas pilihan rakyat secar logis digejawantahkan dalam visi-misi kekinian yang diprogramkan oleh masing-masing calon. Masing-masing calon memberi keluasan berpikir bagi masyarakat pemilih untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dalam bentuk apa pun. Lebih-lebih bagi pejabat struktural yang ikut mencalonkan diri, memberi kemerdekaan mendukung dan memilih di jajarannya penting dilakukan. Sehingga, tidak ada satu pihak pun yang merasa terintimidasi atas pencalonnannya.
Peristiwa keempat, Nabi Ibrahim menyembelih anaknya Ismail atas perintah Tuhan untuk dikurbankan. Ibrahim juga bapaknya para Nabi. Kata Ibrahim terdiri atas dua suku kata; yakni ibn dan rahim. Ibn digunakan untuk menyebut identitas seseorang yang dinisbatkan pada penyebutan untuk seorang ayah. Sementara kata rahim bermakna kasih sayang. Kata Rahim dipadankan dengan kata ar-Rahman, tidak hanya memberi kasih di dunia tetapi juga di akhirat. Ibrahim dapat dipahami sebagai seorang yang tidak hanya membawa kasih sayang kepada anaknya di dunia melainkan juga di akhirat.
Sejarah telah mencatat bahwa Nabi Ibrahim telah melahirkan para Nabi. Dari keturunan Ibrahim melahirkan generasi kenabian. Hadirnya Nabi bukan hanya untuk memberi petunjuk pada dunia melainkan juga memberi syafaat untuk akhirat. Fungsi para Nabi tidak hanya memberi petunjuk di dunia melainkan juga membawa kemuliaan di akhirat bagi pengikutnya. Ibrahim merupakan subjektivitas kasih sayang di muka bumi. Setiap ayah mesti membawa simbol Ibrahim pada dirinya, dalam pengertian penebar kasih sayang tanpa batas di bumi.
Peristiwa Ibrahim menyembelih anaknya menjadi simbol pudarnya keegoan dalam diri manusia. Anak bagi seorang ayah sangat berharga. Bahkan anak adalah cerminan dirinya. Ismail anak semata wayang yang diperoleh dalam rentan waktu yang begitu lama. Setelah didapatkan malah Tuhan perintah menyembelih untuk dipersembahkan sebagai qurban terbaik. Dari peristiwa ini dapat dimaknai bahwa tidak ada perolehan mutlak yang dimiliki manusia. Ketaatan Ibrahim kepada Tuhan diuji melalui anaknya sendiri.
Perintah menyembelih anak bukan tanpa dasar. Perintah ini juga dipicu atas kerelaan Ibrahim sebagai hamba untuk patuh dan taat pada perintah Tuhan. Sehingga, Ibrahim seperti larut dalam kecintaannya pada Tuhan sampai mengabaikan cinta pada makhluk. Nabi Ibrahim seperti masih merasa kurang telah menyembelih 1000 kambing, 300 lembu, dan 100 unta. Dan sampailah pada titik kecintaannya pada Tuhan sehingga anaknya pun rela untuk disembelih jika Tuhan perintahkan.
Dari peristiwa ini dapat disimpulkan bahwa Ibrahim telah melepaskan ego atas kepemilikan dunia. Manusia suka berharap serta memiliki sesuatu hal tapi susah untuk melepaskannya. Merasa memiliki atas dunia; baik harta, pangkat, jabatan, status sosial, pamor, dan yang lainnya sehingga manusia lupa bahwa tidak ada yang dapat dimiliki seutuhnya. Pada kenyataannya manusia bukan hanya tidak dapat melepaskan diri dari kepemilikan dunia malah ia bangga dengan apa yang ia miliki. Kebanggaan inilah yang membuat manusia tidak mampu melepaskan egonya atas kepemilikan semu di dunia.
Segala peristiwa yang dijalani manusia diwafatkan pada waktunya. Wafat dalam pengertian dibatasi hak atas dirinya dalam hal apa pun. Dicukupi kebutuhan atas dirinya, lalu dicabut. Peristiwa wafat tidak hanya dipahami berpisah raga/kematian, melainkan juga tercukupinya pendapatan dunia. Dengan banyak cara Tuhan membatasi rizki makhluk atas makhluk. Jika sudah tiba masa wafat, maka manusia harus mengurbankan apa pun, termasuk membiarkan sesuatu yang menyenangkan hatinya untuk dilepaskan.
Melalui momen 'idul adha kita belajar untuk merelakan sesuatu yang telah diwafatkan/batas waktu kepemilikan atas segala hal yang berhubungan dengan kebahagiaan setiap manusia. Bagi yang mampu menyembelih hewan selamat menyembelih hewan qurbannya. Dengan demikian, melepaskan kepemilikan atas apa yang sudah diraih sama dengan mewafatkan ego dalam diri setiap kita.
Politik merupakan peristiwa melepaskan ego dalam diri calon pemimpinnya. Mewafatkan ego sama dengan mematikan banyak keinginan. Pertama-tama yang harus dimatikan adalah hasrat bberlebihan untuk berkuasa kecuali meraih kekuasaan semata-mata untuk mengantarkan kesejahteraan atas umat manusia. Bukan berkuasa ingin menguasai banyak hal. Sehingga, apa pun yang berada di bawah kekuasaannya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Dan ini, sering berlaku dalam politik di negeri ini. Kekuasaan digunakan untuk menggampangkan misi pribadi.
Kekayaan negara digunakan untuk membangun citra diri dan membangun ekonomi pribadi penguasa. Maka, tidak jarang kita lihat fenomena di mana rakyat susah mendapatkan modal usaha tetapi pemimpinnya malah mendirikan usaha di banyak tempat. Hal ini melukai banyak pihak, terutama sekali rakyat yang berharap ada keadilan yang ditularkan dari pemimpinnya.
Mematikan ego sama dengan mengurbankan diri untuk kepentingan rakyat, sementara menghidupkan ego bagi pemimpin sama dengan mengorbankan rakyat untuk memperkaya diri dan membangun kesejahteraan pribadi melalui kebijakan. Politik pilkada kali ini mesti menjadikan peristiwa kurban yang diperintahkan Allah pada Nabi Ibarahim sebagai barometer berpikir dan patron dalam menjalani proses politik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Zulhijjah mesti dijadikan pelajaran bagi calon penguasa.
Pemimpin yang mematikan nalar tidak pernah menggunakan pikirannya untuk kepentingan rakyat yang lebih besar. Pemimpin yang menghidupkan nyali selalu berpedoman pada peristiwa-peristiwa masa lalu yang mengantarkan hikmah untuk kehidupan hari ini. Politik zulhijjah adalah pemimpin yang mengurbankan pikiran, tenaga, waktu, bahkan hartanya untuk kepentingan rakyat. Sementara pemimpin yang mengorbankan rakyat selalu memanfaatkan kekuasaan yang diberikan untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya. Kemiskinan yang terjadi atas umat hari ini bukan karena terjebak dalam peristiwa konflik dan perang, melainkan tenggelam dalam kubangan keserakahan penguasa atas kebijakan yang diambil.
Membangun Peradaban Politik, 6 Agustus 2024
Komentar
Posting Komentar