Prinsip Politik: Politik Lokal Aceh Mesti Berdaulat

Partai lokal/parlok di Aceh; nilai islami yang telah mendarah daging di Aceh merupakan jawaban utama bahwa prinsip politik benar-benar terbangun di Aceh. Prinsip politik dibangun berdasarkan dedikasi politik yang mapan secara intelektual dan dan mapan secara strategis. Maka, dukungan politik pada pilkada mesti diberikan pada orang yang memiliki dediksai diri dan juga komit terhadap Aceh untuk berdaulat politik, berdaulat ekonomi, berdaulat pendidikan, berdaulat budaya, dan berdaulat hukum.

Prinsip merupakan dedikasi diri. Menjaga prinsip sangatlah penting. Dedikasi tertinggi dalam hidup adalah komit terhadap prinsip diri. Seseorang yang tidak menjaga prinsip dalam hidup ia telah membuang dedikasi dirinya. Kejujuran tidak datang dengan sendirinya, tetapi diperjuangkan. Menjaga prinsip merupakan upaya dalam memperjuangkan kejujuran dalam diri. Ketika seseorang mengabaikan prinsip, maka secara otomatis ia telah menggadaikan kejujuran dirinya.

Prinsip pada dasarnya adalah jati diri seseorang yang mana nilainya tidak dapat ditukar dengan apa pun. Prinsip bisa jadi pada nuansa negatif maupun nuansa positif. Seseorang yang memilih prinsip positif tentunya ia menanam nilai positif pada lingkungannya. Begitu juga dengan seseorang yang memilih prinsip negatif ia akan menebarkan keburukan pada lingkungannya.

Dengan demikian, prinsip bermakna pilihan; yang mana pelakunya berpotensi untuk memilih prinsip baik dan berpotensi memilih prinsip buruk. Keduanya merupakan identitas diri. Orang yang mempertahankan prinsip positif cenderung pada kebaikan. Sementara orang yang mempertahankan prinsip negatif cenderung pada keburukan. Jika saja prinsip adalah pilihan maka mempertahankan prinsip sama dengan menentukan pilihan.

Prinsip politik juga demikian; politik sebagai ilmu tertua dalam sejarah manusia mengatur dirinya jika pelakunya tidak memiliki prinsip, maka bukan dirinya saja yang rugi tetapi juga para pengikutnya. Peran politik tanpa prinsip tidak membawa kebaikan bagi siapa pun. Budaya politik yang tidak membangun prinsip dengan asa membangun yang kuat maka kekuasaan hanya berjalan di tempat. 

Pemimpin yang memiliki prinsip politik yang kuat tidak pernah terpengaruh dengan ucapan siapa pun dan isu apa pun pula yang dialamatkan kepadanya. Tujuan utamanya hanya berfokus bagaimana menatap masa bersama rakyatna. Masa depan rakyat jauh lebih utama dibandingkan dengan masa depan dirinya, dan kesimpulan orang-orang tentang dirinya.

Berpolitik tanpa prinsip mengombang-ambinglah bahtera politik yang dinakhodainya. Kapal politik hanya dilabuhkan di dermaga. Dermaga politik pun dipilih yang dermaga yang membutuhkan kapal untuk singgah agar terlihat ada transportasi laut yang berwara-wiri. Siapa yang kira-kira mampu membayar biaya berlabuh maka kesitulah kapal disandarkan. Politik tidak terlepas dari kepentingan, tetapi bukan kepentingan hedonimse politik sesaat, sekedar memperoleh ongkos untuk berlabuh tanpa mengedepankan prinsip politik yang notabene adalah bagaimana membawa kesejahteraan untuk manusia.

Berbeda situasi yang berlaku pada prilaku politik yang memiliki prinsip diri yang kuat. Bahtera politik yang lemah takut menghadapi ombak besar, yang menghempaskan badan kapal seluas laut ditunjang badai. Inilah yang berlaku, sayap politik digunakan sebagai alat untuk memengaruhi ganasnya badai. Menghadapi masa pemilihan badai politik datang secara bersamaan. Orang-orang yang menginginkan kekuasaan butuh tangga untuk dapat tiket maju.

Partai politik; baik yang memperoleh suara penuh, dan pemilik kursi di daerah menjadi incaran orang-orang yang ingin berkuasa. Dukungan politik seketika dapat berubah menjadi bencana politik jika kedaulatan partai dalam mengantarkan calon diserahkan pada pecundang politik. Di sini, sentralistik partai politik dipertanyakan, disaat keputusan partai mengacu pada Dewan Pengurus Pimpinan Pusat perlu mempertimbangkan banyak hal; terutama sekali perlu mendapatkan masukan penuh dari pimpinan partai di daerah agar dukungan politik tidak diserahkan pada calon yang tidak memiliki prinsip sama sekali. Penilaian ini mesti diserahkan sepenuhnya pada pengurus di daerah, sebab pengurus partai di daerahlah yang memahami sosok calon pemimpin di daerahnya.

Partai politik sebagai instrumen demokrasi, prinsip politik perlu dibangun sejajar antara pusat dengan daerah. Sesuatu yang miris terjadi kader partai yang berjuang sendiri untuk mendapatkaan kursi di dapil, mengeluarkan biaya besar, waktu, pikiran, dan tenaga tetapi seperti tidak berharga disaat dukungan politik sentralistik partai diputuskan sepihak oleh Dewan Pimpinan Pusat. 

Partai politik mesti memiliki prinsip bahwa tanggung jawab politik bukan hanya pada kader melainkan juga pada dukungan yang diberikan pada orang-orang yang dicalonkan sebagai calon Kepala Daerah. Maka, kursi yang diperoleh di daerah tidak keliru ditempatkan oleh pimpinan pusat partai ketika merekomendasi dukungan pada orang-orang tertentu. Termasuk pada kadernya sendiri, jika tidak memiliki prinsip yang kuat maka perlu dipertimbangkan banyak hal untuk diberi dukungan.

Prinsip politik mestinya dibangun dari pusat, dan ditransformasikan hingga di setiap daerah. Mengingat sentralistik partai dalam memutuskan calon Kepala Daerah bagi Aceh, dengan politik lokal di Aceh didapatkan situasi yang berbeda. Artinya, Aceh memiliki kedaulatan tersendiri dalam menentukan dukungan partai pada orang-orang tertentu yang ingin menjadi calon Kepala Daerah. Kedaulatan ini seharusnya dipahami serius oleh masyarakat Aceh dan pelaku politik di Aceh. Silakan saja menjalin koalisi parlok dan parnas tetapi menentukan sekat yang tepat.

Parnas tidak boleh menjadi sandaran parlok. Parlok hana etis geujak pesade dro pak parnas dalam koalisi, kecuali sebaliknya; parnas pesade dro bak parlok. Artinya, parlok mesti menjadi raja di Aceh, sebagaimana DPP parnas memiliki hak veto penuh atas dukungan yang diberikan bagi orang-orang yang mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah. Prinsip politik parlok dan parnas harus berlaku seimbang, sehingga nilai tawar parlok di mata politik nasional tidak hanya berdaulat di Aceh tetapi juga berdaulat di Aceh.

Beruntunglah orang-orang secara alami telah meneguhkan prinsip positif dalam dirinya. Sehingga, disaat ia mempertahankan prinsipnya berefek baik bagi lingkungannya. Dan celakalah bagi seseorang secara serampangan memainkan prinsipnya, sebab ketetapan prinsip yang demikian merusak tatanan hidup. Prinsip kolektif mesti dibangun dalam suatu komunitas, dalam pengertian prinsip positif. Komunitas yang tidak teguh dengan prinsipnya akan terombang-ambing dalam menata kehidupan kolektif.

Sesuatu yang buruk terjadi ketika prinsip seseorang atau suatu kaum dimainkan oleh kepentingan orang lain. Tanpa disadari telah menggadaikan marwah diri dan kaumnya. Dalam realitas politik sering berlaku di mana dedikasi diri yang seharusnya dibangun berdasarkan prinsip positif diceburkan dalam situasi buruk oleh kepentingan orang lain. Menukar prinsip positif menjadi prinsip negatif secara mudah dapat dilakukan pada komunitas yang membuang dedikasi dirinya. Atau, komunitas yang mengabaikan harga dirinya, bangsa, dan negara.

Begitu penting menjaga prinsip positif dalam hidup. Karena, berdasarkan prinsiplah seseorang terlihat memiliki dedikasi. Jika prinsip tidak diteguhkan dalam hidup maka keberadaan setiap orang hanya menjadi mainan bagi kepentingan orang lain. Politik banyak menghadirkan orang-orang yang tidak memiliki prinsip positif. 

Asas prinsip kepentingan selalu dipertahankan dalam situasi politik apa pun. Kenyataan inilah yang menjadikan politisi tidak dapat dipercaya sama sekali. Bahkan, mereka dengan semerta-merta menukar prinsip positif dengan prinsip negatif hampir dalam banyak situasi. Pemahaman politik dalam nuansa dinamis sering menjadikan pelakunya kehilangan prinsip.

Dengan demikian, dalam menyikapi politik negatif; lalu, bagaimana dengan prinsip yang harus dimiliki oleh rakyat. Rakyat wajib berpegang pada prinsip positif; yakni prinsip yang tidak larut dalam abrikan kepentingan orang lain. Prinsip positif yang mesti dimiliki rakyat adalah kedaulatan diri dalam menghadapi musim politik. Kedaulatan politik lokal di Aceh mesti disadari oleh masyarakat pemilih yang bahwa peran politik lokal telah menjadi nilai tawar yang kuat ritme politik antara Aceh dan pusat.

Orang-orang yang ingin berkuasa sering mengabaikan prinsip dirinya. Artinya, kekuasaan menjadikan seseorang kehilangan identitas dirinya. Prinsip sarat dengan nuansa pilihan; maka pilihlah prinsip yang meneguhkan dedikasi pada setiap diri masing-masing, bukan prinsip yang mengabaikan nilai; baik nilai agama maupun nilai budaya. 

Aceh sebagai daerah yang kental dengan nilai-nilai keislaman mesti membangun politik yang memiliki prinsip yang kuat, dalam pengertian prinsip poisitif. Dengan meneguhkan prinsip islami bahtera politik lokal jujur dan adil sangat berpeluang dibangun dari Aceh.

Membangun Peradaban Politik, 10 Agustus 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama