Iqrak Siasi: Potretlah dengan Baik Setiap Peristiwa Politik

Potretlah dengan baik peristiwa politik yang mengitari kehidupan hari ini. Membaca diri lebih utama dilakukan sebelum membaca banyak hal. Membaca bukan mengira-ngira sesuatu; seperti perkiraan seseorang yang jahil tentang materi-materi dunia yang dikiranya kekal untuk dinikmati setelah dikumpulkan sekian banyak. Membaca bukan hanya tulisan yang telah ada, melainkan juga membaca sesuatu yang datang (fenomena) dalam kehidupan, termasuk di dalamnya adalah fenomena politik.

Politik termasuk ilmu tertua dalam sejarah manusia mengatur dirinya. Bicara politik adalah bicara kekuasaan. Kekuasaan telah hadir dalam berbagai konteks; baik monarki, parlementer, republik, kekuasaan dalam bentuk federasi, dan sebagainya. Dalam bentuk apa pun kekuasaan itu tujuan utamanya adalah mengatur manusia dan mengantarkan kesejahteraan untuk masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang jahil memahami kekuasaan ibarat orang jahil melihat harta; mereka akan menghitungnya dengan cara membaca kebaikan untuk dirinya, dan membaca keburukan untuk orang lain.

Celakahlah orang-orang yang memperkirakan bahwa hartanya akan menjadi kekal yang ia sendiri merasa tidak akan mati untuk selama-lamanya “yahsabu annamalahu akhladah”. Sama halnya dengan kekuasaan yang dipahami oleh orang-orang jahil, merasakan kekuasaan itu hanya baik untuk dirinya saja, dan merasa tidak baik sama sekali untuk orang lain. Hal ini dapat dilihat dari seseorang yang ingin mendapatkan kekuasaan dengan “menghalalkan segala macam cara”. Dan memahami cara yang dilakukan oleh orang lain tidak baik, sehingga apa yang datag dari pihak lain tidak baik, tanpa melihat rekam jejak. Baiknya kekuasaan bagi seseorang mesti diblihat (dibaca) berdasarkan rekam jejak yang pernah dilakukan.

Membaca politik dapat dilakukan pada dua hal. Pertama, politik dapat dibaca secara teori, sebab politik telah terkonsepsi dengan baik berdasarkan teori dan peristiwa zamannya. Kedua, politik dapat dibaca dalam konteks peristiwa-peristiwa yang hadir pada setiap momen politik. Momen politik inilah yang sedang dihadapi oleh umat di Indonesia, termasuk Aceh saat ini. Tentunya membaca fenomena politik sulit dilakukan oelh kebanyakan orang.

Politik uang seolah-olah telah menutup mata banyak orang, di mana politik hanya dapat dibaca dan dijalankan ole yang memiliki modal banyak. Dan ini didukung oleh pikiran pragmatisme publik karena kejahilannya. Di sini, yang paling banyak uangnya maka ia yang dibaca layak untuk dipilih. Hitung-hitungan materi dalam memilih pemimpin sebagaimana orang jahil menghitung materi dunia yang telah dikumpulkan, dan dikira dapat mengekalkan kebahagiaannya.

Membaca politik dalam konteks fenomena sama dengan membaca peristiwa tanpa teks. Dan ini sulit dilakukan oleh orang-orang. Peristiwa politik yang mengaburkan maksud sering menjebak pikiran publik; yang baik terlihat buruk dan buruk bisa disulap terlihat baik. Maka dengan itu, dalam memahami politik perlu membaca dua hal. Pertama, membaca teks politik supaya memiliki pengetahuan tentangnya. Kedua, membaca peristiwa. Tentunya, peristiwa yang menjawab kebutuhan publik saat ini. Kebutuhan publik pada momen politik adalah memilih pemimpin yang tidak hanya memiliki kecerdasan memimpin tetapi juga pemimpin yang mampu membaca prediksi, menjalin komunikasi yang baik, dan membangun relasi denga siapa pun, lebih-lebih lagi menjalin komunikasi dengan pusat.

Membaca politik tidak hanya membaca teks tetapi juga membaca konteks. Seseorang yang selalu akrap dengan teks, tulisan, manuskrip, gambar, dan yang lainnya ia tidak pernah akrap dengan bagaimana memahami manusia dan peristiwa yang mengitarinya. Manusia merupakan makhluk konteks yang diteliti melalui ilmu-ilmu sosial. Gerak sosial lahir dari fitrah manusia itu sendiri. Dan tidak ada yang mampu membaca bahasa tubuh manusia sebab padanya tidak menampilkan teks. Iqrak kitabak "bacalah kitabmu/dirimu sendiri". Kitab diri adalah tulisan tanpa teks yang tidak tertulis dalam bahasa mana pun di dunia. Seseorang yang mampu membaca dirinya ia juga mampu membaca diri orang lain.

Pahamilah orang lain sebagaimana engkau memahami dirimu sendiri. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri. Ini sangat terkait dengan membaca kitab diri. Membaca diri bukan perkara mudah. Apalagi menerjemahkan bahasa kitab diri untuk memahami kitab diri orang lain. Hidupnya ilmu dalam diri seseorang tidak cukup sekedar membaca kitab diri jika tidak memahaminya dengan baik. 

Memahami kitab diri orang lain inilah tugas utama Nabi Muhammad. Nabi Muhammad adalah Nabi yang mampu membaca kitab diri orang lain. Nabi Muhammad selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam membaca teks dan konteks diri orang lain dan dari sebuah fenomena yang mengitari manusia. Bukan hanya itu, Nabi juga mampu memprediksi dengan baik gejala-gejala yang akan muncul dari peristiwa tersebut.

Memahami tidak hadir karena bacaan teks tetapi ia datang karena membaca konteks. Konteks adalah kitab diri yang tidak mampu dibaca oleh siapa pun kecuali diri yang mampu menghadirkan teks diri dengan baik. Membaca teks diri bukan mengeja bahasa tulisan melainkan meneruskan bacaan yang kemudian me jadi teks bacaan bagi orang lain. Teks bacaan adalah perkara-perkara yang telah ditampilkan, sementara bacaan konteks memahami manusia yang terus berhadapan dengan fenomena diri sepanjang hidupnya. Konteks lebih luas dan lebih umum dibandingkan dengan teks yang telah terbaca oleh banyak orang.

Manusia sering terlambat memahami konteks diri. Sehingga, apa pun yang menimpa dirinya tidak dibaca dengan baik kecuali orang-orang yang diberi ilmu hikmah yang tinggi. Membaca teks pekerjaan mengeja tulisan sementara membaca konteks menghadirkan tulisan yang terus baru dan berkembang sesuai dengan apa yang dirasakan manusia. Ilmu jiwa pun tidak mampu sepenuhnya membaca konteks hidup yang dijalani manusia, kecuali memahami gejala-gejalanya saja.

Bagi siapa yang mampu membaca kitab dirinya maka ia juga mampu membaca kitab diri orang lain. Sebab, disaat ia memahami orang lain tidak hanya matanya saja yang dihadirkan melainkan seluruh raga dan jiwanya ikut memahami bahwa diri orang lain adalah dirinya juga. Jika suatu hal yang tidak disukai oleh diri maka diri orang lain juga dipahami demikian. Jika suatu hal atau perkara membuat diri malu maka diri orang lain juga merasa malu yang sama.

Membaca kitab diri jauh lebih rumit daripada membaca teks, manuskrip, dan yang lainnya dikarenakan kitab diri harus dibaca berdasarkan gejala-gejala yang muncul. Iqrak kitabak bermakna bacalah kitab diri setiap kita agar setiap kita mudah membaca kitab diri orang lain. Dan kitab kekuasaan selalu tidak mampu membaca kitab dirinya dengan baik, sehingga ia juga tidak tahu bagaimana membaca kitab diri rakyat secara keseluruhan. Kitab kekuasaan yang dibawa oleh orang-orang yang tidak mampu membaca konteks dengan baik adalah malapetaka bagi banyak orang.

Rad’un. Di sini, perlu mengingatkan banyak pihak; dalam peristiwa politik yang sedang berjalan agar membaca konteks dengan baik. Peristiwa politik di Aceh tidak untuk dijalankan dalam rentan waktu yang singkat, tetapi perlu membaca jangka waktu ke depan dengan prediksi yang tepat. Bahwa, sejarah perjalanan politik Aceh telah berdaulat sejak ratusan tahun yang lalu. Jangan hanya karena mengisi ruang politik demokrasi di republik ini mengaburkan nilai-nilai kejayaan yang telah diraih. Hal yang harus dinafikan; Aceh bukanlah sebuah suku. Aceh adalah sebuah bangsa yang pernah jaya bersama bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. Untuk itu, jangan tertipu dengan politik demokrasi yang dimanfaatkan untuk merendahkan serta memiskinkan rakyat Aceh oleh orang Aceh sendiri.

Membangun Peradaban Politik, 7 Agustus 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama