Manusia: Sisi Suram dalam Menata Dunia

Manusia diciptakan sebaik-baik bentuk, bukan sesempurna jadi. Walaupun diciptakan sebaik bentuk tetapi tidak pernah menjamin sebaik-baik sikap dalam menata adab, moral, dan akhlak. Satu sisi manusia baik, tetapi pada sisi lain juga terlihat suram. Disaat manusia mulai tumbuh naluri dirinya sebagai makhluk pemangsa manusia melakukannya tanpa peduli bahwa manusia bergerak dibimbing akal.

Ikan di laut pada dasarnya hidup tenang tetapi ketika manusia tahu cara menjebak dengan alat yang canggih maka ikan ditangkap sebanyak mungkin. Gunung pada dasarnya rindang dan asri ketika manusia datang maka gunung itu jadi rusak. Bahkan Tuhan sendiri menjelaskan dalam firmannya bahwa kerusakan di laut dan di darat disebabkan oleh tangan manusia itu sendiri. Seramnya manusia Alquran pun bahwa mewanti-wanti kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan oleh kerakusan manusia.

Dikala lahir ke bumi, manusia hanya meminum susu dan makan pisang. Disaat sudah besar manusia minum arak yang memabukkan. Bahkan disaat manusia punya kekuasaan bukan hanya makan pisang melainkan juga makan material; baik semen, seng, batu bata, aspal, besi, dan yang lainnya. Sesterusnya, dengan kekuasaan manusia menciptakan kerusakan yang lebih besar; baik rusak alam dan merusak sosial kemasyarakatan. Kerakusan manusia disebabkan karena manusia memperturutkan hawa nafsunya. Hawa nafsu; secara fisik manusia sendiri sebearnya tidak mampu melakukannya; keinginannya terus bertambah sementara umurnya terus berkurang.

Manusia yang memiliki rasa syukur tidak hadir sebagai perusak. Orang yang memiliki sifat syukur setiap momen dalam hidupnya adalah takdir yang harus dilalui. Takdir merupakan garis edar yang mana keputusannya didominasi oleh kehendak Tuhan. Tuhan tidak pernah merancang kerusakan di muka bumi. Hatta, sesuatu yang menurut manusia buruk, tetap saja ada manfaatnya, terkadang manusia tidak mampu menangkap dengan konklusi indra. Sebagai manusia menanamkan sifat syukur sangatlah penting. Hanya dengan kekuatan syukurlah yang menjadikan kehadiran manusia di alam ini tidak menjadi perusak; baik merusak alam maupun tatanan sosial.

Sifat syukur sebagaimana sifat sabar dapat diadopsi oleh siapapun; baik orang kaya, orang miskin, intelektual, penguasa, pejabat, rakyat biasa, pengusaha, pemulung, dan siapa pun yang menginginkannya. Dua sifat ini tidak akan tertanam dalam diri seseorang kecuali bagi mereka yang mampu merendahkan jiwanya. Begitu juga dengan merendahkan jiwa dari pencapaian kekuasaan. 

Di sini, ilmu jauh lebih baik dari kekuasaan bagi orang-orang yang menyadarinya. Kekuasaan sesungguhnya; yang diserahkan pada seseorang berdasarkan kesadaran ilmu, bukan atas dasar fanatik pada seseorang. Karena, fanatik tanpa sensor disebut fanatik buta. Maka, fanatik pada kebenaran objektif mesti dilazimkan; fanatik pada seseorang tanpa selektif amatlah merugikan.

Manusia berkemungkinan menciptakan kehidupan tanpa didasari berdasarkan ilmu pengetahuan, akhirnya sesama manusia hanya dipandang baik saat dibutuhkan saja. Artinya, manusia hanya dibutuhkan disaat ia berguna. Disaat keperluan atas manusia tidak adalagi maka sesama manusia akan saling mencampakkan. Dalam konteks ini, satu sisi manusia diperintahkan untuk saling mengenal (Q. S. Al-Hujarat/049: 13), tetapi pada sisi lain manusia diperintahkan untuk berhati-hati atas kejahatan yang ditimbulkan manusia itu sendiri melalui bisikan setan yang tersembunyi dalam dada manusia (Q. S. an-Naas/114: 4-6).

Di sinilah manusia butuh petunjuk untuk menata dirinya agar tidak keluar dari fitrah manusia itu sendiri. Seram yang ditimbulkan akibat manusia menjauh dari petunjuk. Menyerap pengetahuan dari Alquran, dan dekat dengan Pemilik Petunjuk (Tuhan) menjadi penting bagi manusia. Kenapa shalat dan baca Alquran penting.

Di samping sebagai ibadah shalat merupakan jalan utama bagi manusia dekat dengan Tuhan, dan orang yang membaca Alquran sedang menjalin komunikasi dengan Tuhan. Saat seseorang membaca Alquran maka pikirannya cuma fokus pada satu komunikan; yakni Tuhan. Disaat seseorang fokus pada satu arah maka pikirannya tidak terbebani dengan yang lain. Ketika tidak banyak beban maka jiwanya tenang. Manusia tidak mungkin keluar dari beban dan masalah hidup. Bukan berarti manusia membebani dirinya dengan banyak hal. Di sinilah poinnya Tuhan mewajibkan shalat untuk menumpukan masalah pada Tuhan semata, disaat manusia berada dalam wadah meminimalisir masalah di situlah segala beban hilang seketika.

Shalat dan baca Alquran merupakan aktifitas ibadah yang terhubung langsung dengan Tuhan. Jika shalat fokus pada doa-doa yang dipanjatkan maka membaca Alquran lebih ke jalinan komunikasi antara hamba dengan Tuhannya. Masalah manusia yang ada di bumi ini solusinya ada dalam Alquran. Dengan demikian, membaca Alquran sama dengan berkonsultasi kejiwaan dengan Tuhannya.

Bukankah berkonsultasi dengan pihak yang tepat tidak hanya sekedar memperoleh informasi dan jalan keluar terhadap masalah, melainkan juga ada keyakinan dan kepercayaan dalam hati bahwa apa yang diperoleh dari komunikasi tersebut bukanlah hoax dan menipu. Ketika seseorang fokus berbicara dengan Tuhannya maka keinginan yang berlebihan terhadap dunia dapat di minimalisir dengan baik. Karena itulah shalat dan membaca Alquran berguna bagi manusia, bukan penting bagi Tuhan.

Masalah yang selalu berulang dalam dunia politik di daerah adalah hadirnya orang dengan mental yang sama dari orang yang berbeda. Mentalnya seperti reborn secara terus-menerus, proses politik saat ini sering lahir dari proses pewarisan bukan lahir dari proses berpikir. Cara lama yang rusak diturunkan secara alami, termasuk cara bagaimana memperoleh kekuasaan.

Selagi politik masih tumbuh dari hasil pewarisan pendahulu, dan tidak lahir dari pikiran masa kini maka kekuasaan hanya duplikat masa lalu dengan orang yang sama. Politik uang, kekuasaan yang monopoli oleh kelompok bahkan keluarga, pengutipan-pengutipan ekstrem yang tidak lagi logis dilakukan oleh penguasa atas proyek negara, serta berbagai masalah yang diulang-ulang dan dipraktekkan oleh mental yang sama dengan orang yang berbeda.

Akhirnya yang dikumpulkan adalah sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan; baik di dunia maupun di akhirat. Apa pun yang terkait dengan waktu ada keterbatasan. Tuhan tidak memberi peluang apa pun pada manusia kecuali ada pertanggung jawabannya. Makanya, manusia dibatasi oleh kematian, dalam pengertian purna tugas berakhir. Dan segala penugasan pada lintas bidang yang dilpilih manusia di dunia harus dipertanggungwabkan.

Manusia disaat masih belum berkuasa atas dirinya (masih bayi) terlihat sangat menyenangkan. Tetapi, ketika manusia berkuasa atas dirinya ia pun menginginkan berkuasa atas orang lain. Satu sisi ini fitrah dan sunnah alam. Kekuasaan yang diberikan dan digilirkan pada manusia bukan untuk menguasai orang lain atas kehendak dirinya, tetapi diberi kekuasaan untuk mengatur manusia agar berjalan sesuai dengan fitrahnya. Manusia sebagai Khalifah di muka bumi bukan untuk menguasai banyak hal, tetapi kuasa yang diberikan untuk mengatur.

Berdasarkan asa mengatur inilah hukum diturunkan dan perangkat aturan dibuat. Pada dasarnya, hukum dan aturan bukan untuk mengikat dan memberi hukuman pada manusia melainkan lebih pada tata cara mengatur agar manusia tidak liar dan saling menyerang satu sama lain. Naluri pemangsa yang ada pada diri manusia inilah ditekan melalui perangkat hukum yang dimuat sesuai dengan kebutuhan manusia itu sendiri.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari proses politik. Karena, politik bicara kekuasaan dan kekuasaan yang digilirkan jika prosesnya tidak diatur dengan baik, maka dengan proses politik pun manusia saling memangsa satu sama lain. Politik pada dasarnya ajang di mana kekuasaan digilirkan malah dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan tatanan sosial yang telah terbangun dengan baik.

Bayangkan, jika lima tahun sekali proses politik berjalan buruk maka dalam waktu lima tahun manusia saling menghancurkan tatanan sosial. Membangun tatanan sosial, adat, dan budaya bukanlah perkara mudah. Tatanan-tatanan negara maju tidak dibangun seperti membolak-balikkan telapak tangan melainkan dibangun dengan perjuangan panjang. Maka, manusia tidak mungkin keluar dari politik itu sendiri, tetapi bagaimana politik dijadikan sebagai alat untuk menata kembali kehidupan lebih baik dari kekuasaan yang digilirkan di setiap generasi.

Manusia pada satu sisi terlihat menyenangkan dan pada sisi lain nampak menyeramkan. Disaat manusia saling menyuguhkan rasa senang keharmonisan mengemuka dalam kehidupan. Namun, disaat manusia menunjukkan kesuramannya maka manusia saling memangsa serta menghancurkan sesamanya. Bahkan tidak cukup dengan itu alam pun dirusak. Keserakahan dilakukan disaat manusia memperturutkan keinginan nafsunya. Tahun politik manusia sangat berpotensi menghancurkan tatanan sosial yang telah dibangun dengan baik, dan saling bermusuhan hanya karena kekuasaan yang digilirkan.

Membangun Peradaban Politik, 5 Agustus 2024 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama