MEMBANGUN KESADARAN PENTINGNYA PEJABAT POLITIK




Sifat membaca dan mengajari merupakan sifat permanen yang ada pada diri Nabi "Rasulan yatluu 'alaihim ayatuka wayu'allimuhum". Membaca/iqrak adalah memahami untuk membangkitkan kesadaran. Di antara kesadaran tersebut dimaknai dengan kesadaran historis, kesadaran spekulatif, dan kesadaran praksis atas realitas yang sedang dihadapi. 

Kesadaran ini juga disebut dengan triangle lingkaran hermeneutis. Tiga kesadaran ini sepertinya luput dari pemangku kekuasaan di daerah ketika memahami proses politik ke depan dan dosa politik periode yang lalu. Terhambatnya perubahan ke arah yang jaih lebih baik akibat kekuasaan tidak masih melingkar pada rakusnya politik yang sedang dijalankan. Dan kerakusan ini akan terus dilanjutkan pada prosea perpanjangan estafet politik kepemimpinan.

Berbicara politik kekuasaan di daerah sangatlah rumit disaat kita dipaksa untuk melupakan dosa satu periode. Inilah kesadaran historis yang harus dikemukakan riaknya ke publik. Bukan malah berusaha untuk menutupi kesadaran tersebut agar mata-mata perubahan tertipu dengan dosa-dosa politik yang telah dilakukan oleh pendahulu.

Upaya memasukkan atau melobi orang-orang tertentu akan dilakukan oleh Kepala Daerah yang saat ini masih aktif untuk memasukkan orang-orang yang dapat dikuasai oleh nya dan melanjutkan  atau menghilangkan jejak dosa-dosa politik anggaran yang telah dilakukan, dan perannya ke depan tidak lebih hanya sekedara untuk mengamankan dosa-dosa politik anggaran tersebut.

Kesadaran spekulatif seharusnya dikedepankan oleh pemangku kebijakan hari ini ketika mengusulkan nama-nama yang akan diajukan untuk melanjutkan, serta memperbaiki periode banyak dosa. Pembangunan harus dilanjutkan dengan orang yang berbeda, semangat yang beda pula. Mencoba menciptakan pengaruh kembali, apalagi berusaha menutupi keburungan masa kepemimpinannya dengan menggunakan kekuatan pejabat politik adalah tindakan yang keliru dan merampas semangat perubahan yang diinginkan publik.

Spekulasi di tingkat pimpinan ini memahami potensi terhadap kemampuan orang-orang yang akan diajukan. Ketika spekulasi penguasa di daerah lemah, maka upaya untuk memperbaiki dosa-dosa masa lalu sulit untuk dilakukan. Di sini peran kecerdasan memahami diperlukan, sebab jika orang yang lemah dalam beberapa sisi diajukan untuk medapati porsi kepemimpinan berikutnya, maka suksesi kepemimpinan hanya mengganti orangnya saja dan tidak merubah kekuasaan.

Kesadaran praksis atas realitas yang sedang kita hadapi sangatlah rumit. Kepemimpinan di daerah secara keseluruhan di Aceh telah menjalani masa pelik, dan seolah-olah tidak berdaya dalam membangun kesejahteraan atas manusia. Dan ini telah dibuktikan bahwa Aceh dengan dana otsus menjadi daerah termiskin di Sumatra. Begitu juga dengan Aceh Barat Daya, telah melewati masa di mana kekuasaan yang ada tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakatnya.

Periode ini akan berkhir, dan calon pemimpin baru pun sedang digodok. Pada saat suksesi kepemimpinan yang beraturan ini dominasi lobinya oleh penguasa hari ini, maka ini dapat diduga ada upaya menghilangkan dosa-dosa politik anggaran selama satu periode. 

Berkemungkinan; banyak hal peristiwa anggaran berpotensi masalah jika nantinya masuk pada ranah pemeriksaan. Dan kesadaran praksis yang sedang kita hadapi hari ini para elit begitu pragmatis dengan kekuasaan sesaat, tanpa melihat potensi politik seperti apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi pilkada 2024. 

Adanya upaya membangun kembali pengaruh  politik kelompok yang telah membangun dosa atas kebijakannya, seharusnya dicegah dengan cara menghadirkan sosok pemimpin ke depan adalah orang yang kuat dilihat dari tiga lingkaran hermeneutis sebagaimana dijelaskan di atas.

Politisi di daerah jangan kalah cepat melihat realitas politik yang sedang dan akan kita hadapi dua tahun ke depan sebagai masa transisi politik menuju pilkada 2024. Stabilitas politik dan keputusan-keputusan serta kebijakan yang akan membawa perubahan atas kesejahteraan rakyat yang tertunda sangat dipengaruhi oleh sosok pemimpin dimasa transisi kuat secara kolektif, bukan sosok pengekor hanya menjalani titah tuannya yang seharus sudah taubat nasuha.

Adanya indikasi-indikasi ketidak layakan orang-orang yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan kepemimpinan pasca berakhirnya periode defenitif menandakan bahwa kita kekurangan tokoh-tokoh potensial untuk melanjutkan cita pembangunan ke arah yang jauh lebih baik.

Belum lagi orang-orang yang diajukan sarat kepentingan politik menuju 2024. Artinya, ada sinyaliran ketidak sinkronan antara keputusan elit dengan kepentingan rakyat. Seharusnya, melalui pejabat administrasi elit menentukan arah dan kecocokan dengan kondisi yang sedang dihadapi. Dengan begitu, orang-orang yang direkom pun tidak memunculkan tanda tanya dalam pikiran-pikiran liar publik.

Jika saja kepentingan politik semata yang dikedepankan, maka asa kekecewaan publik akan terus berlanjut hingga pada penentuan calon-calon pemimpin yang akan datang pada pesta demokrasi. Polemik ini dapat dilihat dari gencarnya desas-desus lobi elit-elit politik untuk meloloskan calon yang diusung. 

Dari sini dapat dilihat, intensitas politik kita sangat tinggi. Ternyata tidak hanya pada pesta demokrasi saja, namun juga terjadi saat menentukan pejabat anggaran. Dan di sini pun para elit seperti tetap bersitegang secara dingin. Belum lagi kepentingan penguasa saat ini, sebab pejabat anggaran dianggap mampu menjaga stabilitas dirinya pasca masa jabatan berakhir.

Jakarta, 21 Juli 2022.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama