QURBAN DAN KETELADANAN KELUARGA IBRAHIM

 




Munawir Umar, S.Ag., MA
Imam Masjid Al-Hikmah
Muslim Community Indonesia
Pengajar Pesantren Nur Inka
Nusantara Madani Connecticut
New York Amerika Serikat

Momentum Bulan Haji mengingatkan kita kepada tiga sosok dalam satu keluarga, yaitu Nabi Ibrahim As, dengan anaknya Nabi Ismail As dan istrinya Siti Hajar. Tiga sosok ini cukup menjadi teladan hidup bagi kita.

Nabi Ibrahim telah mengedukasi kepada kita sebagai seorang ayah sekaligus pemimpin dalam rumah tangga, sosok yang penuh pertimbangan dengan keluarganya dalam jalan taat kepada Allah Swt. Dalam konteks ini, ketaatannya kepada Allah sampai pada batas tahap perintah menyembelih anaknya tanpa sedikit pun bantahan. Dan ini pada dasarnya tak bisa diterima oleh manusia biasa, tanpa kadar iman yang cukup dalam dada.

Begitu pula dengan anaknya, Nabi Ismail, telah mengajarkan kepada kita untuk bertindak dan berlaku diri sebagai seorang anak. Ia begitu patuh secara totalitas kepada sang ayah. Tanpa pertimbangan dan berpikir panjang ia pun rela disembelih karena taat kepada orang tuanya, dan paling utama taat kepada Allah Swt.

Bahkan ketika perintah menyembelih dirinya disampaikan, Ismail dengan lugas menjawab, “Wahai ayahku, tunaikanlah perintah Allah Swt, engkau akan mendapatkan aku sebagai orang yang sabar”.  Q. S. Ash-Shaffat/037: 102.

Begitu pula dengan istrinya Siti Hajar, dengan nada sedih dan mengeluarkan air mata-selaku hamba Allah yang bernaluri manusia-ia pun rela anaknya disembelih menjadi kurban jika itu adalah perintah Allah Swt, dan pada dasar perintah menyembelih adalah perintah Allah.

Keluarga Ibrahim adalah potret Grand Desain keluarga paripurna bagi kita semua. Tidak ditemukan kata yang tepat untuk menyebut miniatur keluarga mulia Nabi Ibrahim, sebab darinya telah melahirkan keturunan mulia juga, tidak saja disisi manusia, tapi di sisi Allah Swt.

Dari Siti Sarah melahirkan para Nabi yang diutus kepada Bani Israil, mulai dari Nabi Ishak hingga Nabi Isa. Sedangkan dari Siti Hajar melahirkan Nabi Ismail, dan melaluinya lahir Nabi akhir zaman nan agung Nabi Muhammad Saw. Maka tak heran bila Ibrahim, selain digelar dengan 'Khalilullah' yang berarti kekasih Allah, ia juga digelari dengan 'Abul Anbiya', yaitu ayah dari para Nabi.

Hingga pada momentum akhir, sebagai konsekuen dari ketaatan mereka kepada Allah, ternyata Allah balas dengan sebuah kemenangan bahwa mereka tetap dalam keluarga yang utuh tanpa ada kekurangan satu helai bulu pun.

Benarlah firman Allah, “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)”. Q. S. Ar-Rahman/055: 50.

Wahai manusia, janganlah khawatir engkau akan binasa bila taat pada Yang Maha Kuasa. Jangan berhalusinasi dalam ketidakpastian bila engkau dalam ketaatan, pasti pada ujungnya engkau akan mendapatkan kemenangan meski diawali dengan kepahitan.

Kisah ini juga mengajarkan kepada kita bahwa banyak hal dalam agama yang terkadang tak sampai pada nalar dan akal manusia, meskipun tawaran Allah kepada Nabi Ibrahim terkesan tidak masuk nalar, tetapi karena faktor iman ternyata Allah berikan sebuah kemenangan, dalam arti ketenangan jiwa (bukan material)- yang nyata kepada hamba-hamba yang taat pada-Nya.

Sesuai dengan Firman Allah, “Sungguh telah ada pada kisah-kisah mereka (para Nabi) pelajaran bagi Ulul Albab”. Q. S. Yusuf/012: 111.

Situasi seperti itu hanya mampu dijangkau oleh iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karenanya, bila kita perhatikan makna kata “Ulul Albab” akan kita temukan di berbagai literatur dan rujukan dimaknai sebagai orang yang tidak hanya mengandalkan akal dan nalar, tetapi juga mereka yang mampu mengintegrasi diri dengan nilai iman di dalam hati yang menjalar dalam setiap liku kehidupan.

Para ulama dan banyak pakar telah banyak memberikan isyarat bahwa akal hanyalah sebuah instrumen yang mampu memproyeksikan apa yang dilihat oleh kasat mata dengan analisa secara terbatas. Hal itu tentu sangat berbeda bila dipadukan dengan instrumen iman di dalam dada, ia akan mampu memproyeksikan pertimbangan lebih dalam, yaitu apa saja yang tak nampak oleh mata.

Perpaduan dua instrumen ini akan melahirkan sebuah pemikiran dan aktifitas yang akan melahirkan subjek yang tidak saja bermanfaat bagi lingkungan terbatas, tetapi juga bagi lingkungan tanpa batas, layaknya keluarga Nabi Ibrahim dan keturunannya.

Semoga kita menjadi Ulul Albab dan menjadikan keluarga Ibrahim As sebagai patron kehidupan. Amin!

Jakarta, 10 Dzulhijjah 1443/2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama