Haji: Wuquf di 'Arafah dan Puncak Kesadaran Sosial







Puncak haji adalah wuquf dihari 'arafah, yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga terlaksananya shalat 'idul adha pada tanggal 10 Dzulhijjah. Pelaksanaan wuquf di ‘arafah merupakan puncak kesadaran penuh manusia dalam memahami wujud dirinya sebagai hamba.

Wuquf dalam pengertiannya dapat dipahami pada tiga makna yakni: zawal, wuquf, dan 'arafa. Ketiga aktifitas ini dilakukan pada waktu dan tempat yang sama serta dilakukan secara bersama-sama oleh diri masing-masing. Artinya, wuquf yang dipahami berhenti sejenak agar menyadari jika diri penuh dengan dosa, di sinilah puncak kesadaran manusia memahami dirinya.

Zawal berarti pergeseran masa dari terang menuju gelap. Seumpama halnya perjalanan matahari dari siang menuju terbenam. Hidup ini adalah perjalanan dunia menuju akhirat. Dunia merupakan masa perjalanan yang ditempuh terlihat gelap, namun pada dasarnya kegelapan itu jalan menuju pencahayaan. Karena akhiratlah tempat manusia akan berlangsung hidup selamanya.

Wuquf berarti "berhenti". Artinya berhenti untuk melakukan aktifitas untuk berdiam diri sejenak di padang arafah. Wuquf juga sebuah tekad dalam hati untuk memutuskan keburukan, pikiran, dan tindakan. Sementara 'arafah upaya kesadaran diri dalam memahami bahwa hidup di dunia hakikatnya perjalanan yang ditempuh menuju akhirat.

Wuquf dilakukan pada hari ke 9 Dzulhijjah, dimulai sejak matahari menuju waktu ashar. Pelaksanaan wuquf dilaksanakan padang arafah. Berkumpulnya jamaah haji di tempat ini untuk melaksanakan puncak haji, dan bagi siapa saja yang berhaji tidak melaksanakan wuquf, maka tidak sempurnalah hajinya.


Peristiwa ini juga untuk mengingat sejarah ketika Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan dari syurga karena  melakukan kesalahan yang disebabkan rayuan iblis. Setelah puluhan tahun berpisah, keduanya dipertemukan kembali di Jabal Rahmah.

'Arafah; peristiwa yang patut dipahami sebagai perjalanan komunikasi antar waktu dan antar manusia. Sesuai dengan pengertiannya kata 'arafa bermakna mengenal. Dalam surat al-hujarat kata 'arafa ditulis dengan kata "ta'arafuu" yang berarti saling mengenallah di antara kalian. 

Di sini dapat dipahami berkumpulnya banyak manusia ketika melakukan wuquf di harafah agar manusia mematikan kehendak dirinya agar mengenal kehendak orang lain, yang pada akhirnya akan saling mengennal satu sama lain.

Hadirnya jutaan manusia di padang arafah datang dari berbagai suku bangsa di berbagai belahan dunia. Bermacam suku, bangsa, ras, dan bahasa, masing-masing dari mereka menghentikan dirinya untuk mengingat tafakkur mengingat kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan, lalu dari ingatan tersebut terbangun kesadaran untuk memahami dirinya dan orang lain.

Ibadah haji juga dipahami sebagai konstruksi sosial masyarakat muslim. Dari upaya pengenalan tersebut tersebarlah informasi yang beragam dari kehidupan manusia dari berbgai belahan dunia. Dunia hari ini dengan arus informasi teknologi yang begitu canggih juga telah mengantarkan pengenalan antar umat manusia, namun teknologi komunikasi tidak dalam konteks bertemu sehingga mereka saling menatap satu sama lain.

Menjelaskan makna 'arafa dalam konteks relasi sosial mesti dipahami terbuka. Manusia yang diciptakan sebaik-baik bentuk bersamanya telah hadir banyak potensi, baik potensi fisik, akal, pengetahuan, agama, budaya, anatomi, lingkungan, dan lain sebagainya.


Dengan demikian, konsep 'arafa harus dibangun atas pengenalan-pengenalan terhadap banyak potensi tersebut. Sehingga manusia tidak hanya mengenali dirinya, namun juga jauh dari itu ia akan menyadari akan kelemahan dan kekurangan dirinya, sehingga ia tidak merasa lebih baik dari orang lain. Ketegangan awal yang terjadi antar manusia diawali sebab diri merasa paling baik dan paling suci.

Pertama, 'arafa harus dikenali sebagai wuquf. Wuquf yang berarti berhenti sejenak, dan mengenang kembali dosa yang telah dialakukan, dengan ingatan tersebut ia menyadari masih banyak hal yang harus diperbaiki, dengan kesadaran itu pula merasa tidak lebih baik dari yang lain. Ketika seseorang menyadari akan dirinya ia akan peka terhadap kehadiran orang lain, atau ia akan peka dengan lingkungannya.

Kedua, 'arafa harus dikenali dalam bentuk kedudukan. Kedudukan di sini juga bermakna status seseorang atau maqam, apakah kedudukannya sebagai pemimpin, pejabat, penguasa, orang tua, kepala rumah tangga, anak, ulama, guru, murid, masyarakat biasa, orang kaya, orang miskin, dan lain sebagainya. Kedudukan ini harus dikenali dengan baik, terutama sekali mengenali kedudukan diri kita dan orang lain berperan sebagai apa, sehingga kita mudah untuk berkomunikasi antar sesama.

Sebagai pemimpin ia harus mengenali dirinya sebagai pengayom terhadap umat, dan sebaliknya sebagai rakyat ia mesti menunggu dengan tertib turunnya pengayoman dalam bentuk program kesejahteraan. Pemimpin yang tidak mengenali dirinya sebagai pemimpin ia tidak akan bisa mengayomi rakyatnya dengan baik apalagi mengantarkan kesejahteraan secara kolektif.

Akibat pemimpin yang tidak mengenali dirinya sebagai khadimul ummah, susana ketidakstabilan selalu muncul, sebab ia tidak mengenal dirinya lalu bagaimana pula ia akan mengenal rakyatnya. Ketimpangan kekuasaan akan terus terjadi, hubungan yang tidak baik, masyarakat susah, ekonomi menurun, orang-orang yang seharusnya telah merasakan kesejahteraan akhirnya harus menjadi penonton melihat kemewahan yang dilakoni oleh pemimpinnya sendiri.

Ketiga, ‘arafah dalam konteks mengetahui. Mengetahui di sini memiliki pengetahuan terhadap sesuatu objek interaksi, dan memiliki ilmu pengetahuan, baik terkait dengan ilmu agama, budaya, politik, teknologi, informatika, kesehatan, pendidikan, sejarah, hikmah, dan lain sebagainya yang membantu akal untuk menelusuri akar tahu dari setiap problem yang dihadapi.

Ilmu merupakan aktifitas tertua dalam sejarah penciptaan. Sebelum Nabi Adam memiliki kemampuan dalam mengetahui nama dan sifat-sifat benda, aktifits ilmu telah berlangsung jauh sebelum iblis dikutuk sebab tidak mau sujud kepada Adam atas perintah Tuhan, sejak iblis telah menjadi guru besar di syurga, dan muridnya pun tidak sembarang murid sekelas malaikat. Oleh karena ilmu yang dimiliki iblis gagal memahami, maka keberadaannya telah menjadi masalah besar dalam sejarah penciptaan makhluk.

Keempat, arafah dalam konteks memahami. Potensi yang beragam pada diri manusia pada akhirnya membentuk kebiasaan secara kolektif atau terbangunnya sebuah kebudayaan. Kebudayaan ini menjadi identitas kesukuan, bangsa, dan negara. Indonesia negara yang beraneka ragam memiliki berbagai macam ragam budaya masyarakatnya. Memahami budaya yang beragam ini dapat ditilik melalui konsep 'arafah dalam berhaji. Letak geografis negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke didapati budaya kehidupan yang beragam sepanjang daratan dan pulaunya.

Masyarakat Aceh, Meulayu, Batak, Minang, Betawi, Sunda, Jawa, Banjar, Dayak, Bugis, Papua, dan  berbagai suku lainnya, di samping itu juga terdapat berbagai macam bahasa sangat berpotensi untuk tidak menerima keberadaan masing-masing. Jika konflik antar budaya yang dimunculkan maka antar manusia sangatlah sulit dipertemukan.

Dari sini perlu konsep 'arafa menjadi generator dalam menghidupkan upaya memahami, sehingga kebudayaan itu dipertemukan sebagai puncak wuquf di 'arafah dalam konteks relasi sosial antar peradaban Nusantara dan dunia, baik untuk negara-negara Muslim dan negara-negara non-Muslim.

Haji adalah panggilan Tuhan untuk seluruh Muslim. Tidak semua umat Islam dapat melaksanakan haji, sebab ibadah ini diwajibkan bagi yang mampu melaksanakannya. Mampu dalam beberapa hal seperti memiliki harta, ilmu, kesehatan, bekal yang memadai, keamanan, mendapatkan kesempatan kuota perjalanan haji, dan lain sebagainya.

Walaupun tidak semua Muslim  dapat melaksanakan ibadah haji dan wuquf di ‘arafah namun filosofi haji dapat dipahami oleh siapapun, sebab haji tidak hanya ibadah yang bergerak, namun juga sebuah konsep membangun kesadaran dalam rangka membangun umat yang satu (ummatan wahidah). Kesadaran bahwa manusia berasal dari satu kesatuan sering tidak terbangun ketika populasi manusia menjadi banyak dan beragam budaya, suku, bangsa, dan negara.

ثُمَّ اَفِيْضُوْا مِنْ حَيْثُ اَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya, "Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang". Q. S. Al-Baqarah/002: 199.

Melalui ayat di atas dapat kita pahami “dari tempat orang banyak bertolak”,  dari keaneragamanan penciptaan manusia, dari berbagai suku bangsa, dari berbagai macam kebudayan yang dianut oleh banyak manusia menarik diri dari merasa lebih baik, sehingga tidak ada yang pantas merasa lebih mulia dari yang lainnya. Ketika seseorang menarik diri dari merasa lebih baik, maka sesama akan dengan mudah memahami antar budaya yang berbeda-beda.

Haji tidak hanya dipahami ibadah bergerak, haji juga dipahami ibadah yang membangun konsep berpikir bagi setiap Muslim. Haji yang dipahami bergerak pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan anggota badan serta memiliki ruang dan waktu, sementara haji yang membangun konsep dilakukan melalui aktifasi akal, dan dapat membentuk paradigma sosial dalam membangun peradaban. Selamat menunaikan ibadah haji mohon maaf lahir dan bathin.

 Jawa Barat, 10 Juli 2022.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama