DUA TOKOH ABDYA BERPESAN: IKAMABDYA BERSILATURRAHMILAH AGAR SUPAYA KITA KOKOH DAN KUAT
Berawal dari sebuah pertemuan kecil, bersama persaudaraan Ikatan Keluarga Besar Aceh Barat Daya (IKAMABDY) pada salah satu cafe di kota Banda Aceh.
Akhir dari pertemuan singkat tersebut, ikatan keluarga besar membicarakan perihal anggota keluarganya sudah sangat lumrah, tentunya mempertanyakan kondisi tokoh dan orang yang sudah dituakan.
Berangkat dari wacana ingin tahu tentang kabar. Banyak hal yang kami bicarakan dalam silaturrahim dikala itu, salah satunya adalah bertanya tentang kabar dua tokoh Abdya.
Keduanya sering menjadi tempat bagi kami bertanya banyak hal dikala dulu masih duduk dibangku kuliah, untuk membahas apa saja yang menyangkut kepentingan masyarakat Abdya yang berdomisi di Banda Aceh kususnya, maupun yang di Abdya.
Bapak Darwis dan Abu Musfiari Haridi. Dua tokoh yang telah lama menjadi bagian penting dalam menjaga silaturrahim masyarakat Aceh Barat Daya yang berdomisi di Banda Aceh.
Keduanya bagaikan orang tua bagi
kami. Dan keduanya juga tokoh yang telah berkiprah di bidangnya masing-masing. Bapak
Darwis berkiprah di bidang logistik (Bulog) dan Abu Musfiari sebagai akdemisi, dosen senior di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Pembahasan dalam pertemuan singkat, tertuju pada kedua tokoh ini, bagaimana kabar Bapak Darwis dan Abu Musfiari, tanya salah seorang di antara kami yang hadir.
Abangda Azhar Notaris, mencoba meberi penjelasan dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan ini sekaligus memberi jabawan bahwa kedua orang ini dalam keadaan kurang sehat. Oleh sebab itulah keputusan cepat diambil, keesokan hari, bertepatan dengan hari minggu tanggal, kamipun bersepakat bersilaturrahim pada kedua tokoh yang telah terlebih dahulu menanamkan semangat silaturrahim antar personal dalam keluarga besar masyarakat Abdya di Banda Aceh.
Komunikasi untuk menguatkan proses silaturrahim ditugaskan kepada ado Iswandi Razali, dan ini ditunjuk secara aklamasi tanpa ada pesaing yang lain. Maka dengan sangat menekan, abang Azhar Notaris mempertegas bahwa beban komunikasi lebih lanjut mengenai acara silaturrahim yang akan dilakukan pada tanggal 26 Juli 2020 ditugaskan kepada Ado Iswandi.
Menurut pengakuan abang Azhar Notaris, budaya silaturrahim ini setelah sekian lama fakum kembali terasa hidup, semangat yang dulu sempat menghangat ketika Ado Iswandi Razali menjadi ketua HIPELMABDYA (Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Aceh Barat Daya).
Berdasarkan alasan ini, ado Iswandi Razali kita percayakan untuk menjadi pelopor silaturrahim tidak hanya untuk peristiwa ini juga untuk masa yang akan datang, dan juga tidak hanya ke kediaman Bapak Darwis dan Abu Musfiari Haridi saja, juga dilakukan pada tokoh-tokoh yang lain.
Berkunjung ke rumah Bapak Darwis, rombongan yang teridiri dari Abang Fadhli, Abang Azhar Notaris dan kawan-kawan lainnya, disambut oleh Ibu Darwis, kami memanggilnya ummi. Banyak hal yang dibicarakan. Dari bertanya tentang kabar dan kondisi kesehatan beliau.
Menyaksikan langsung keadaan orang tua kita dari jarak yang lebih dekat mempunyai sentuhan batin yang berbeda dibandingkan dengan berkomunikasi tanpa sila.
Ada senyum, banyak cerita yang telah terjadi diceritakan kembali dengan penuh canda dan tawa. Tentunya, ketika Ayahanda Darwis bercerita tuturnya tidak segagah dahulu, sorotan matanya tidak setajam dahulu, akibat penyakit yang beliau derita, menjadi sukar bagi beliau untuk melihat dan memastikan dengan siapa beliau bicara.
Sangat mengagetkan salah seorang dari kami, Jusma Eri telah lama duduk didekat beliau, ketika beliau ingin memastikan, seorang Jusma Eri yang dulunya di awal-awal sebelum dan sesudahperistiwa tsunami melanda Aceh hubungan mereka sangatlah dekat, tentunya dekat dalam persoalan-persoalan kemahasiswaan, dan acara-acara yang diselenggarakan oleh masyarakat Abdya yang ada di Banda Aceh.
Ayahanda Darwis sempat tidak mengenal
lagi sosok Jusma Eri, setelah lama memperhatikan dan mengingat nada bicara, ayahanda
Darwis memastikan dengan posisi duduk berdekatan, beliau berujar “drokeh Eri”.
Mendengar pertanyaan ini, tentu membuat perasaan menjadi sedih, di mana tubuh yang dulunya sehat, pandangan yang dulunya masih tajam, dari jarak jauh beliau mengenal siapa di antara kami.
Diayunan, di taman rumah, kami duduk, sambil mengayun-ngayunkan badan bersama gerak tali ayunan di halaman rumah.
Mendengar pertanyaan “drokeh Eri” seketika itu, Eri pun reflek dan paham, jika sorotan mata ayahanda Darwis tidaklah setajam dahulu. Jusma Eripun menjawab. “nyo bapak, Lon Eri”. Begitulah kondisi sekilas ayahanda Darwis ketika pengurus IKAMANDYA berkunjung.
Kehadiran kami sebagai adek dan anak bagi beliau menambah suasana kegembiraan batin. Saling bertanya, dan menjelaskan apa yang menjadi cita-cita bersama. Sebagai masyarakat Aceh Barat Daya di perantauan, terasa batin sangat tersentuh dengan kondisi kampung halaman.
Gerak kemajuan sebuah daerah dapat dilihat dari seberapa besar putra-putra terbaiknya berfikir dan berkiprah,
dalam rangka membangun untuk sebuah kemajuan bersama. Kemajuan tersebut tidak
akan terwujud tanpa adanya kekuatan silaturrahim di antara kita. Begitulah ujar beliau dengan
bahasa yang tidak lancar lagi terucap.
Sakit menjadi obat penawar bagi dosa-dosa anak Adam atas kekhilafan. Begitulah ayahanda Darwis berujar kepada kami, dan inilah mungkin yang memperkuat beliau dalam menjalani masa tua dengan kesehatan semakin hari semakin melemah.
Begitulah manusia, semua akan merasakannya, siapapun dia. Semoga saja dengan penyakit di badan benar-benar menjadi bagian dari kasih sayang Tuhan, dengannya gugurlah setiap kesalahan.
Ayahanda Darwis menasehati dalam kebahagiaannya, ketika rombongan bersilaturahim ke kediaman beliau.
Ayanda Darwis mengingatka, datanglah, dan bersilaturrahimlah kepada sesama sodara kita asal Aceh Barat Daya kususnya. Siapapun dia, dari kampung dan kecamatan manapun asalnya, baik yang bertalian darah dengan kita maupun tidak, asalkan berasal dan lahir di Abdya mereka adalah sodara kita, dan wajib mendapatkan perhatian dari kita.
Jangan beda-bedakan satu dengan yang lainnya, mereka asal Abdya yang berdomisi di Banda Aceh, atau orang yang hanya sekedar berkunjung dalam beberapa hari saja, adalah sodara kita, ujar beliau. Ayahanda Darwis di antara tokoh yang peduli dan care pada mahasiswa asal abdya, dan beliau selalu menyisihkan waktunya, kapanpun kami ingin meminta saran dan bantu.
Melewati waktu siang, setelah masing-masing dari
rombongan menunaikan shalat dhuhur, rombongan yang di hadiri oleh ado Muzakir ,
Yulizar, dan yang lainnya langsung bergerak menuju kedimanan berikutanya, Abu
Musfiari Haridi. Sesaampai di kediaman Abu Musfiari, para tamu disambut dengan
sangat antusias. Kenapa tidak, Abu sebagai salah satu tokoh pendidikan yang
giat menginisiasikan pendidikan gratis bagi anak-anak nelayan ini, tidak
menyangka, jika kami akan datang bersilaturrahim.
Mendengar desas-desus kabar sebelumnya jika kondisi Abu
Musfiari sangatlah memprihatinkan, bagaimana tidak, kabar sekilas yang diterima
beliau dalam keadaan sakit stroke berat, namun setelah delegasi dari IKAMABDYA
melihat langsung, ternyata dugaan sebelumnya keliru, Abu dalam keadaan sehat,
bugar, tentunya dalam proses penyembuhan.
Pembawaan yang tenang serta energik, dan masih saja gembira
pembawaannya. Satu hal yang melekat pada diri
beliau ketika kami, anak dan adek-adek dari Abu Musfiari betemu dengan beliau semangat melucunya masih saja hidup. Dari semangat
menciptakan humor-humor sufi ini. Pantas saja
hingga sampai sa’at ini beliau kelihatan masih
gagah dan tampan, walaupun diusia yang sudah menimbang cucu.
Datang
bersama usahawan muda Abdya, Rizal Abdya, kami memanggilnya
dengan sebutan toke atau Bos Zal, sosok kontraktor
muda ini akhir-akhir ini sangat instens merespon perkembangan dan kemajuan
Pantai Barat Selatan, kususnya Abdya ikut mengambil bagian dalam ajang
silaturrahim masyarakat Abdya yang berdomisili di Banda Aceh.
Mendengar
kabar bahwa hari minggu tanggal 26 Juli, Toke Rizal,
menempatkan diri untuk ikut bersama. “Rumoh
so jak silaturrahim”, tanya Rizal, rumoh Abu Musfiari jawab saya, pas tat,
katanya, katrep hana taduk ngon ureng
tuha getanyo di Banda Aceh. “Lon jak ikot sereta”.
Menjelang
siang hari, mendapat informasi dari Jusma Eri, kami
memanggilnya dengan sebutan Eri. Praktisi zakat zona Provinsi Aceh asal Aceh Barat Daya ini, tidak asing lagi bagi masyarakat yang
strata ekonominya berada di bawah kemampuan rata-rata masyarakat Aceh. Baitul
Mal selalu hadir tanggap darurat, dan tidak jarang santunan disalurkan melalui
tangannya. Jika saja ada terjadi musibah alam dalam bentuk kebakaran dan yang
lainnya, silakan menghubungi beliau, bantuan tanggap darurat akan disalurkan
kepada korban.
Setelah
menunaikan shalat dhuhur kami segera menuju ke Rumah Abu Musfiari, sebelumnya
rombongan pertama yang terdiri dari beberapa orang pengurs IKAMABDYA dia
antaranya adalah abang-abang kece kita Azhar Notaris, Fadhli Ali, Safri Ismi,
dan juga ikut hadir ado-ado keren kita para pekerja
pemerintahan, ada ado Iswandi Razali, Muzakkir H. Ubit, dan Ihsan Fajri Ja’far.
Pada
pukul 01.30 WIB., min ples kamipun sampai di kediaman Abu Musfiari, disambung
oleh Abang Azhar Notaris, pria yang selalu tersenyum disa’at bertatapan wajah
dengan yang lain, pertanda beliau adalah sosok abang yang yang berkewajiban
membimbing dan memberi contoh terbaik bagi adik-adiknya, terutama sekali dalam
hal sapa menyapa. Tidak ada gab batasan usia yang beliau suguhkan, walaupun
usia sebagian kami terpaut jauh, semuanya melebur bak seusia saja ketika
berkumpul bersama -sama. Ada canda yang selalu keluar dari ucapan beliau. Pria
Sarjana Hukum ini adalah seorang Pejabat Notaris yang berkantor di Jalan Sri
Ratu Safiatuddin, Peunayong Banda Aceh.
Mempersilakan
kami masuk ke dalam, di ruang tamu yang sudah berkumpul
para pengurus IKAMABDYA, “Assalamu ‘alaikum” ucap kami ketika sudah berada di
pintu masuk, dan pandangan kamipun langsung tertuju pada sosok pria
kharismatik, dengan berewok tebal yang sebagiannya
sudah memutih, bak lebah bergantungan di wajahnya. Sosok itu adalah Abu Musfiari
Haridi, mantan petarung pemilukada pemilihan bupati defenitif pertama, semenjak
kabupaten Aceh Barag Daya dimekarkan dari kabupaten induknya Aceh Selatan.
Harapan masyarakat Abdya pada mulanya ada dipundak beliau. Sosok berkharismatik
ini, punya segudang wawasan, dan bergelar M. BA., dibidang ekonomi. Namun
perjalanan pilitik anak dari ulama terkemuka Aceh ini, Abu Hamid terganjal
dengan proses demokrasi politik yang berlaku di negeri ini.
Memperkenalkan
diri kepada beliau, yang intinya adalah, kami adalah putra kelahiran negeri
breh sigupai, datang dan bertemu menjalin silaturrahim dengan guru, orang tua,
dan tokoh Aceh Barat Daya. Dipersilakan duduk tepat di samping kanan Abu Musfiari, posis
duduk dikondisikan oleh penata ruang silaturrahim ado
Iswandi. Berkesempatan duduk dekat dengan anak ulama ternama ini, menjadi
sebuah kebanggaan bagi saya sendiri. Bayangkan
saja, saya bersama
Toke Rizal Abdya, datang
belakangan setelah yang lainnya sudah duluan hadir, dan saya sendiri
dipersilakan duduk tepat di samping kanan Abu Musfiar, dan Rizal Abdya duduk tepat
disebelah kiri beliau. Pertanda,
dapat saya membacanya, dengan posisi duduk yang berdekatan saya lebih
berpeluang untuk lebih banyak bertanya kepada beliau dan atau agar pembicaraan
lebih berfokus kepada saya, terutama sekali menyangkut dengan Fiqh
Munakahat.
Melihat kondisi Abu Musfiari sangat bagus dan sehat,
pertanyaannya yang pertama dilontarkan tetap saja tentang kabar, “puhaba Abu”
alhamdulillah sehat jawab beliau. Sudah menjadi tradisi bagi kita, setiap kali
bertemu dengan siapapun, mengawali ucapan dengan kalimat salam dan seterusnya
mempertanyakan kabar. “Puhaba” adalah kosa kata yang selalu hidup dalam
masyarakat Aceh, bahkaan kata “puhaba” sering diucapkan oleh orang-orang
dari luar Aceh yang sebelumnya telah pernah kontak komunikasi dengan orang
Aceh. Menandakan ia telah pernah ke Aceh, atau punya tetangga orang Aceh di
tempatnya, atau minimal punya teman orang aceh, kata “puhaba” dan “kaleh
pajoh bu” adalah kosa kata yang mudah diingat oleh sodara-sodara kita yang
berasal dari etnis yang berbeda. Sangking populernya kata “puhaba” dan “kaleh
pajoh bu”, dan tak jarang lidah mereka dari luar Aceh sering terpeleset
mengucapkan “kaleh pajoh bu” terucap “kaleh pajoh bui” (sudah
makan babi), dalam bahasa Aceh Babi disebut dengan Bui, sementara nasi disebut
dengan “bu” tanpa tambahan huruf “i”.
Bersliturrahim pada dasarnya memperkuat hubungan
komunikasi, komunikasi yang kuat akan mendatangkan memperbanyak informasi.
Ketika informasi itu tersampaikan dalam bentuk ilmu, itulah yang disebut dengan
nasehat. Harta yang paling bertahan dikuasai seseorang adala ilmu dan nasehat.
Tidak datang rejeki itu jika tidak ada ilmu dalam memperolehnya, harta sudah
dimiliki oleh seseorang tidak akan bermanfa’at bagi dirinya jika ilmu dalam
menjaga dan memeliharnya tidak ada.
Perjalanan mengunjungi pada dua tokoh terbaik Abdya, tidak hanya mendapatkan manfa’at silaturrahim semata, namun juga mendapatkan ilmu dan informasi tentang beberapa hal dari Abu Musfiari.
Pertama, dalam pesan
beliau, berkeluargalah bagi yang belum melangsungkannya, sebab dengan
pernikahan ini akan menyempurnakan agama kita. Abu Musfiari menguraikan. Nabi
menjelaskan bahwa, agama ini separuhnya ada dalam pernikahan, jika saja
seseorang telah melangsungkannya, maka sempurna setengahnya lagi dari agama
ini.
Mendengar penjelasan Abangda Fadhli Ali, dari gelagat
mimik wajahnya, ingin mengutaraka sesuatu, sebab ada di antara kami yang hadir
sa’at itu belum sempurna gamanya, sebab belum melangsungkannya. Melihat gelagat
abagda Fadhli Ali ingin mengutarakan sesuatu Abu Musfiari mencoba meberi
kesempatan. Dan setelah Abanda Fadhli menyampaikannya, maka rombongan seisi
ruang tamupun menjadi heboh, dan terdengar gelak tawa. Tentunya yang
disampaikan penuh canda. Dan saya yang duduk didekat beliau mencoba untuk
memediasi pembicaraan, penjelasan yang sejenak terputus oleh tawa, kembali
dilanjutkan dengan arahan saya bak moderator yang menengahkan pembicaraan para
nara sumber.
Mengalihkan pembicaraan Fiqh Munakahat, bak
moderator profesional dalam sebuah dialog, sayapun mengajukan sebuah
pertanyaan, Abu... setelah gagal di pilkada pada tahun 2007, kenapa Abu tidak
melanjutkan misi politik yang dulunya sempat terganjal oleh proses demokrasi
politik di negeri ini, sehingga Abu gagal menuju kursi 1 C. Kenapa Abu tidak
peduli lagi dengan daerah asalnya, lanjut saya. Abu Musfiari mencoba merespon
pertanyaan yang saya ajukan, namun sebelumnya beliau mempersilakan kami
menyuguhkan kopi dan kue yang sudah disediakan oleh Umi Musfiari. Seorang ibu
yang tidak canggung bagi kami untuk berkomunikasi dengannya, kehadiran kami
terasa sepertinya seorang anak datang bersilaturrahim ke rumah ibunya, dan bak
seorang adik datang bersilaturrahim datang ke rumah kakaknya, begitulah sangat
bersahaja dan bersahabat Abu Musfiari dan Umi Musfiari menyambut dan melayani
kami ketika berkunjung datang.
Mencoba untuk merespon dan menjelaskan pertanyaan yang
saya ajukan, Abu Musfiari sepertinya sangat serius menjawab pertanyaan ini,
sebab menyangkut dengan harapan masyarakat Aceh Barat Daya semenjak menjadi
kabupaten baru.
Saya tidak pernah berhenti berfikir untuk Aceh Barat Daya,
ujar Abu Musfiari, tentu selanjutnya berfikir diluar proses politik
kepemimpinan. Salah satu usaha beliau, di antara upaya-upaya yang lain adalah
menyalurkan biaya pendidikan untuk anak-anak nelayan.
Mengenai kenapa tidak maju lagi, mengikuti proses
demokrasi politik di pilkada Abdya berikutnya menurut Abu Musfiari,
kepemimpinan bagi beliau bersifat fardhu kifayah, kewajibannyapun cukup sekali
saja, ketika sekali sudah ditunaikan, sebab ini fardhu kifayah maka tidak boleh
lagi diulang yang kedua kalinya. Mendengar penjelasan jika kepemimpinan hukumya
adalah fardhu kifayah, terjawab bahwa, Abu Musfiari dalam memahami persoalan kepemimpinan
bukanlah penganut aliran Syi’ah, yang mengkatagorikan kepemimpinan adalah
bagian dari “IMAN”, jika memilih pemimpin, maka batallah imannya. Dengan
penjelasan tersebut, jelas terlihat dari pemikirannya bahwa, Abu Musfiari
adalah penganut aliran teologi “SUNNI” tulen.
Menurut Abu Musfiari, kepemimpinan yang bersifat fardhu
kifayah ini dianalogikan dengan shalat jenazah. Dalam hukum jenazah, shalat
yang dilakukan oleh umat Islam hanya dilakukan sekali saja. Dengan demikian,
tidak mungkin jenazah itu dishalatkan berulang kali, kecuali jenazah tersebut
hidup kembali, dan kemudian mati lagi, baru jenazahnya dishlatkan kembali,
ujarnya dengan mimik ungkapan penuh canda......dan kamipun yang sebelumnya
sangat khidmat mendengar penjelasan beliau, seketika itu kembali gemuruh tawa
menghiasi ruang tamu di mana kami duduk bersama dengan Abu Musfiari dengan
gelas-gelas kopi dan segala macam hidangan kue di atas meja ruang tamu, yang
sebagiannya sudah habis dicicipi.
Kedua, Abu Musfiari berpesan, kepada masyarakat Aceh Barat Daya kususnya yang berdomisi di Banda Aceh, Aceh Besar, dan di manapun berada, serta apapun profesinya, berfikirlah untuk kemajuan daerah. Jangan lihat apa jabatan yang sa’at ini dipikul, tapi lihatlah potensi dan kemampuan masing-masing kita. Apapun latar belakang kita, berfikirlah untuk kemajuan daerah sesuai dengan kemampuan diri adalah sebuah keharusan. Masyarakat Aceh Barat Daya yang tersebar di berbagai daerah, dan kususnya yang berdomisi di Banda Aceh, jangan pernah berhenti untuk berfikir dan melakukan yang terbaik terhadap daerah. Menghadapi setiap momen politik, perlu masyarakat Abdya di perantauan mengambil bagian di dalamnya, untuk menawarkan sebuah konsep baru dan berkemajuan yang disampaikan dalam visi misi secara umum, untuk menjadi program unggulan setiap calon-calon yang mengikuti proses pilkada.
Setiap
calon yang bertarung. Siapapun yang maju, harus diberikan apresiasi,dan
siapapun pemenangnya harus diawasi secara bersama-sama. Control terhadap
pemerintahan yang sedang berlangsung harus dilakukan, mengingat kapasitas
kepemimpinan diri manusia sangat terbatas, maka perlu setiap kita menjalankan fungsi control, tentunya kontrol yang dilakukan sesuai
dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Ketiga, sebagaimana Abu Darwis, Abu Musfiari juga
berpesan kepada masyarakat Aceh Barat Daya, dengan adanyan wadah IKAMABDYA menjadi
media komunikasi bagi kita untuk menjalin dan memperkuat silaturrahim antar
sesama masyarakat Abdya di perantauan. Dengan silaturrahim, selain menjalankan
perintah Nabi Muhammad saw., dalam rangka menjalin silaturrahim, juga
memperkuat kekuatan dalam membangun komunitas sosial, politik dan ekonomi. Tutup Abu Musfiari.
Setelah melewati masa bersama dengan Abu Musfiari, yang
menghabiskan waktu selama dua jam lebih kurang, inisiator silaturrahim abang
Safri Ismi, yang merangkap sebagai bendahara IKAMABDYA memberi sebuah pesan
bahwa, rombongan silaturrahim harus pamit izin. Mendengar
pernyataan sang bendahara IKAMABDYA, Abu Musfiari diam sejenak, diam sebagai
pertanda tidak setuju kami harus pamit. Dari raut wajah beliau terlihat mimik
sedih, seolah-olah sangat berat bagi beliau untuk mengizinkan kami harus pergi
berpisah dengan beliau, setelah lama berdiskusi banyak hal dan
panjang lebar.
Perjalanan
waktu tidak bisa dibendung, gerak masa terus berjalan, disetiap pertemuan hanya
tersisa sebuah kenangan. Benar kata orang bijak, manusia hanya menciptakan
sejarah dalam setiap momen. Hari minggu, 26
Juli 2020 pengurus IKAMABDYA telah menoreh sejarah dalam rangka bersilaturrahmi dengan dua tokoh terbaik Aceh Barat Daya, bersama Abu Darwis dan Abu Musfiari
Haridi.
Pertemuan
singkat dalam rangka silaturrahim dengan
dua tokoh terbaik Abdya, pesan yang harus diingat dari keduanya adalah,
IKAMABDYA mesti memperkuat pola silaturrahmi di antara kita, sebab dengan
silaturrahimlah kekuatan kita akan terbangun dengan mudah dan kuat.
Komentar
Posting Komentar