AJARKAN ANAK ITU BERBAGI

إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ؟ حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ.

Artinya, Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia pelihara ataukah ia sia-siakan, hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.” (Hadis)

Kata yang tidak asing lagi di telinga kita adalah “buah tidak jauh jatuh dari batangnya”. Itulah kata-kata bijak yang sangat populer diucapkan oleh kebanyakan masyarakat nusantara. Adagium ini tidak hanya menjadi ucapan dalam konsep pedagogik semata, namun juga menjadi peribahasa untuk mengungkapkan cemo'ohan kepada  orang tua, dikala anaknya sudah dikenal berprilaku buruk dalam sebuah komunitas masyarakat sosial.

Islam memberi penjelasan bahwa, anak merupakan tanggung jawab yang paling serius bagi orang tua. Ancaman-ancaman keagamaan ketika berbicara tentang anak, tanggung jawab pertama tertuju kepada seorang ayah. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga tidak hanya bertanggung jawab terhadap diri dan keluarganya semata, namun beban tanggung jawab itu juga harus dibagi kepada istri dan anak keturunannya. Di samping sebagai pemimpin rumah tangga, sebagian laki-laki juga berfungsi sebagai pemimpin umat. Baik dalam lingkup agama, kemasyarakatan dan politik.

Berbicara tanggung jawab adalah berbicara amanah. Di sini, ada dua tanggung jawab yang harus dipahami. Pertama, amanah yang sifatnya personal, untuk diri sendiri dan yang kedua amanah yang sifatnya sebagai pengelolaan gerakan sosial. Amanah yang kedua ini sifatnya kifayah, artinya tidak seharusnya semua personal mengambil bagian untuknya.

Pertama, amanah yang sifatnya personal adalah tentang bagaimana mengelola hidup untuk diri sendiri. Dalam hal ini, perlu pengetahuan dalam menjalani. Dalam ajaran Islam dikatagorikan sebagai pengetahuan wajib untuk diri sendiri, atau disebut dengan fardhu ‘ain. Mempelajari apa saja yang menyangkut dengan kewajiban personal harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bagaimana pengetahuan itu harus diberikan kepada setiap orang semenjak dirinya masih pada usia dini. Proses awalnya dimulai dari mengajarkan anak membaca dan seterusnya dengan memperkenalkan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari secara ‘ain. Ilmu-ilmu yang tergolong dalam lingkup fardhu ‘ain adalah ilmu tauhid, syari’ah, fiqh, memanah, menunggang kuda (berkenderaan), berenang, dan yang terkait dengannya. Semua itu agar supaya anak paham bagaimana dan seperti apa seorang hamba harus datang kepada Tuhannya dalam bentuk ibadah mahdhah.

Kedua, amanah yang sifatnya sebagai pengelolaan gerakan sosial, lingkup ini dipahami sebagai pengayom umat dalam berbagai bidang. Memasuki masa modern manusia dihadapkan pada pembagian tugas masing-masing kelompok individu. Dengan bertambahnya penduduk bumi, semakin pesatnya pertumbuhan manusia, dari pada awalnya manusia berasal dari komunitas yang sedikit sehingga berkembang menjadi komunitas yang banyak dan beraneka ragam. Dalam rangka menjawab keaneka ragaman ini manusia hadir dalam gerakan sosial dengan wadah berdirinya sebuah negara. 

Kewajiban dalam gerakan sosial yang beraneka ragam ini, dalam tatanan hukum Islam disebut dengan fardhu kifayah. Menjawab kewajiban kifayah ini, maka ajarkan generasi Islam itu tentang berbagai macam Ilmu Pengetahuan yang sesuai dengan bakat dan kebutuhan umat manusia di setiap zaman yang sedang engkau jalani. Kewajiban kifayah ini, dalam gerakan sosial dengan wadah berdirinya sebuah negara, beban utamanya tidak berada dipundak kepala keluarga, namun sepenuhnya dijalankan oleh penguasa dalam sebuah negara.

Keluarga menurut filosof adalah negara kecil, sementara negara adalah keluarga besar. Kedua wilayah ini saling mempengaruhi. Baik buruk masyarakat yang hidup dalam sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kondisi keluarga, sebagai tempat anak manusia pertama sekali di didik dan diajarkan sesuatu hal. Pendidikan pertama diawali dari keluarga.

Keluarga sebagai negara kecil Kepala Keluarga yang menjadi tanggung jawab utama. Dengan demikian seorang ayah adalah sosok yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter seorang anak. Memuali dari hal-hal yang sederhana, mengajari perkara-perkara ringan, membahas kebiasaab-kebiasaan yang sehari-hari dilakukan oleh anak, dengan mempertanyakan sesuatu yang mungkin saja tidak dianggap penting bagi seorang ayah, namun sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter  diri seorang anak.

Sejak anak mulai bergerak dengan gayanya, maka hal utama yang harus diajarkan adalah mengajari anak untuk melakukan aktivitas rutinyan, seperti mengajarinya bagaiman cara makan yang baik, mengajarinya memulain sesuatu dengan tangan kanan, menyuruhnya setiap sa’at makan dan minum sambil duduk, mengajarinya berbicara dengan menggunakan bahasa yang baik, serta mengajari hal-hal yang lainnya.

Setiap hari, atau pada waktu-waktu tertentu, bertanya kepada anak, aktivitas apa saja yang dilakukannya. Bertanya dengan sedikit memberi beban kepadanya dalam bentuk laporan sederhana bahwa, apa yang telah dilakukannya seharian harus dipertanggung jawabkannya, dan kemudian mencoba untuk mengevaluasikannya kembali, agar supaya ketika sang anak berhadapan dengan masalah yang sama, tindakannya sudah mendapatkan frame yang baik dalam pikirannya.

Bebicaralah dengan anak, mulailah dengan kata-kata istilah yang sering digunakan oleh kebanyakan orang sa’at anak itu mulai berinteraksi dengan yang lainnya.  Panggillah anak itu dengan kata yang sopan ketika memanggilnya. Sebutkan kata-kata yang baik ketika memanggilnya, seperti kata anakku, buah hatiku, kasih sayang ayah, dan kata yang dianggap baik sebagaimana berlaku dalam budaya tutur masing-masing daerah. Sebutkan kata ganti yang baik ketika memanggilnya seperti kata yang baik digunakan dalam Bahasa Aceh (bagi orang Aceh), panggil dia dengan kata drouneh, roneh, droukeh dan hindari sebutan atau panggilan buruk kepadanya. Dalam teks keagamaan sering disebut dalam Alqur’an dengan narasi “YA..... BUNAYYA”.

Bertanya kepada anak, tidak hanya bertanya tentang dirinya saja, tentang apa saja yang dilakukanya, baik disekolah, ditempat pengajian anak-anak, tempat bermain, dan di tempat apa saja di mana anak itu membangun komunitas bermain sesamanya. Bertanya tentang temannya, bagaimana dia memperlakukan teman-temannya, apa saja yang dibahas bersama teman-temannya ketika bermain, dan bertanya siapa saja teman yang dekat dengannya, dan siapa saja teman yang sangat membuat dia nyaman ketika bermain bersama-sama dengannya. Pertanyaan yang sederhana, namun mampu mendidik jiwa anak menjadi pribadi yang peduli kepada sesamanya. Dan setiap mengajukan pertanyaan harus dibarengi dengan tindakan evaluasi terhadap apa yang telah anak-anak itu lakukan dengan temannya.

Mulailah berbicara dengan anak, menggunakan istilah-istilah keren sebagaimana yang sering diungkapkan oleh orang dewasa, dengan memperkenalkan mimik berbicara sebagaimana orang dewasa berbicara. Dan ini sering kita jumpai dalam dialog  film-film Barat, ketika terjadi dialog antara anak dengan orang dewasa. Artinya, dengan pembicaraan yang demikian akan membawa anak itu berada pada posisi di mana gaya dan mimik berbicara orang dewasa melampaui batas usianya.

Memberi pemahaman kepada anak tidaklah cukup dengan sekedar menjelaskan dengan kata saja. Penjelasan dengan ucapan hanya sekedar untuk memberi bayangan semata kepadanya, agar apa yang kita sampaikan terpahami dalam pikirannya. Pemahaman yang disampaikan secara berulang-berulang akan mempertajam ingatannya dalam mengingat sebuah pesan.

Anak dengan ingatanya yang masih lemah, tidak bisa mampu menangkap sebuah pesan dari apa yang dilihatnya. Tugas orang tualah membantu pikirannya untuk mengingat dan menangkap sebuah pesan yang harus diambil dari apa yang sedang dilihatnya, dan apa yang sedang dirasakan olehnya. Memberi tahu sesuatu hal kepada anak, hal yang paling efektif adalah dengan memperkenalkan padanya dengan berbuat langsung, seperti memberi bantuan kepihak yang lain dengan cara yang baik dan santun, dengan dipersaksikan sendirinya olehnya. Artinya, anak itu mempersaksikan langsung tentang apa yang dilakukan oleh orang tuanya.

Berbicara tentang apa dan bagaimana bersikap dengan anak, dengan memperlihatkan langsung kepadanya. Dalam hal ini, sebagai orang tua, tidak boleh melakukan sesuatu yang buruk dihadapannya, sebab akan mempengaruhi pikiran anak dalam memahami sesuatu. Semisal, orang tua melakukan sesuatu yang tidak mendidik di depan anak. Baik bertengkar, marah, berbicara dengan nada yang kencang, menampakkan wajah suram, membentak, meluapkan emosi, menyampaikan keluhan, menceritakan keburukan orang lain, dan apapun yang menyangkut dengan keburukan, tidak boleh dipertontonkan atau disuguhkan kepadanya di dalam lingkungan di mana anak itu berada, terutama sekali di rumah, dalam kondisi apapun.

Ketika anak mulai tumbuh melewati masa balita, alat indra yang terlebih dahulu sejak dia lahir ke bumi, telinga menjadi alat utama dalam menangkap objek yang lain, di sini tentunyan yang mempengaruhi pikiran anak adalah suara. Suara yang ditangkap oleh anak akan mempengaruhi pikirannya. Maka dengan demikian, ketika anak itu baru keluar dari rahim ibunya, tidak boleh memperdengarkan sesuatu yang lain kepadanya, kecuali asma Tuhan. Dalam kontek ini, metode pendidikan Islam sudah terlebih dahulu mengajarkan kepada kita, bahwa azan merupakan suara yang sangat baik untuk didengar.

Indra pendengaran menjadi media utama bagi anak untuk menangkap sesuatu, sebelum indra penglihatan mampu mencerna objek tertentun dengan baik. Pada sa’at kemampuan berfikir belum terbentuk dalam diri seorang anak, maka kedua alat indra yaitu telinga dan mata menjadi alat utama baginya dalam menangkap setiap gejala terhadap fenomena yang ada di dunia ini. Sebelum fungsi hati menjadi bagian dari media perasa dalam raganya, maka pengetahuan berfikir yang ditangkap dari pendengaran dan penglihatan sangat mempengaruhi kemampuan anak dalam memahami orang lain dan dunia.

Mengajari anak tentang kebaikan dengan tindakan, tidak juga harus semata dengan memperlihatkan kepada anak bagaimana cara berbuat sesuatu yang baik. Akan tetapi perlu memberi kesempatan kepada anak untuk mengajarinya mempraktekkan langsung aktivitas berbuat baik kepadanya. Apa salah saja, memberi pekrjaan dan tugas baru bagi anak untuk mentraktir teman-temanya. Tentu teman di sini adalah teman komunitas belajar dan bermain. Kenapa bermain ????? dunia anak tidak terlepas dari komunitas bermain.

Sebelum anak berangkat ke sekolah, atau berangkat ke tempat belajar, atau berangkat ke tempat bermain baginya. Bermulai diskusi dengan anak, dengan mempertanyakan siapa teman yang paling akrab dengannya di sekolah, di tempat belajar, dan ditempat bermain. Ketika anak itu menyebutkan nama-nama temannya, dengar dengan baik dan ingat jumlah teman yang disebutkannya, serta tanyakan kepada anak di mana tempat tinggal teman-teman yang telah disebutkan olehnya. Setelah anak menguraikan tentang teman-temannya menjawab pertanyaan yang disuguhkan kepadanya dia berkeinginan untuk mencari tahu pada pertemuan berikutnya, di mana tempat tinggal para teman-teman yang sudah disebutkan sebelumnya. Memastikan tempat tinggal teman-temannya kepada anak untuk mendidik dirinya menguasai tata letak sebuah wilayah.

Pada poin ini, anak perlu disugesti bahwa berbagi dengan teman-temannya harus diajarkan dari sejak dia masih belum tahu seperti apa bentuk berbuat bagi. Setelah bertanya siapa teman-teman yang akrap dengannya, dan menghitung jumlahnya, maka langkah berikutnya adalah dengan memerintahkan kepada anak dengan memberinya uang jajan tambahan, untuk, agar supaya anak punya anggaran yang cukup untuk mentraktir teman-temannya ketika tiba waktu mereka beristirahat sambil menikmati jajanan di sekolah, di tempat belajar, dan di tempat bermain. Dan ajarkan kepada anak mentraktir teman-temannya sesering mungkin.  

Memberi kesempatan kepada anak untuk berbuat baik tidaklah gampang untuk dilakukan, di mana orang tua harus mengeluarkan uang tambahan untuk jajanny. Akan tetapi pengeluaran tambahan tersebut akan menjadi model pembelajaran yang akan menghidupkan rasa sosial yang tinggi bagi anak terhadap lingkungannya. Di samping berbagi anak juga sudah memberi contoh yang baik kepada teman-temannya. Dan contoh seperti ini, akan menjadi pelajaran berharga bagi diri dan teman-temannya, sampai dia dan mereka dewasa. Oleh karena kebiasaan memberi yang diajarkan orang tua bagi anak sejak kecil, maka kebiasaan ini akan menjadi karakter hidupnya sampai kapanpun.

Memberi adalah sesuatu yang menyenagkan orang lain. Islam sangat serius ketika bicara tentang memberi kesenangan bagi orang lain. Jangankan untuk memberi harta memberi waktu, pikiran, dan tenaga harus dilakukan sebagai bentuk berbagi. Aktivitas berbagi ini  akan dianggap sebagai sedekah jariah bagi pelakunya, dan akan dibalas dengan pahala yang sangat besar. Dan efek dari berbagi ini akan mewujudkan pola silaturrahmi yang akan menyambung koneksi baginya dikemudian hari. Silaturrahmi yang dilandasi dengan memberi akan memperkuat komunikasi antar sesama manusia.

Sesuatu yang keliru ketika seorang ayah berkata kepada anaknya, untuk tidak terlalu berlebihan dengan teman. Dalam bahasa ungkapan yang sangat tidak mendidi, sejak kecil sudah diajarkan kepada anak jangan suka menghamburkan uang atau harta kepada orang lain. Dalam Bahasa Aceh sering disebutkan “nyan bek tat peturot mengon, ngon nyan akan dipehabeh atra tanyo” (jangan perturutkan temanmu, teman itu akan merugikan kamu).

Tidak selamanya anak itu bersama orang tuanya, ada masanya anak itu akan berpisah dengan orang tuanya dan hidup dengan dunianya. Berpisah oleh karena tempat tinggalnya yang baru, berpisah oleh karena tempat belajarnya, berpisah oleh karena tempat dia bekerja. Di mana setiap tempat yang disinggahinya anak itu harus mampu beradaptasi dengan dunianya. Seandainya saja pelajaran berbagi sejak kecil ditanamkan kepada anak, maka di manapun dia berdomisili maka sifat berbagi ini akan terus hidup dalam dirinya. Sehingga dengan berbagi itu, sang anak terus menebarkan kasih kepada yang lain, baik kasih dalam lingkup kecil maupun kasih dalam lingkup yang besar.

Berbagi dalam lingkup yang lebih besar, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa keluarga itu adalah negara kecil, dan negara itu adalah keluarga besar. Ketika sang anak berada pada lingkup yang lebih luas, menjadi pemimpin dalam sebuah daerah, dan penguasa dalam sebuah negari, maka sifat kasih dalam dirinya akan diwujudkan dalam konteks yang jauh lebih besar dan jauh lebih luas pula. Jika berbagi dengan hartanya sudah diajarkan sejak dini, maka ketika sang anak mendapatkan porsi berbagi sebagai pemimpin sebuah daerah dan pemimpin sebuah negeri akan terwujud dengan baik. 

Dengan demikian kehadiran sang anak yang sudah sejak dini dipersiapkan oleh orang tuanya, bukan pribadi yang merusak tatanan, sehingga menimbulkan serta menebarkan kebencian kepada sesamanya, namun akan berlaku sebaliknya, sang anak  akan menebarkan kasih sayangnya kepada pihak-pihak lain yang menjadi teman berbagi baginya. Ketika sang anak menjadi pemimpin pada sebuah daerah dan negeri, maka teman berbagi itu adalah rakyatnya sendiri.


 Amfat Es Dot Fil, Banda Aceh 09 Agustus 2020....... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA