Logika Politik: Beri Kabar Gembira Bukan Kabar Sedih apalagi Duka
Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Q. S. Al-An’am/006: 48.
Logika politik pada prinsipnya adalah memberi kabar gembira. Prinsip utama kenabian adalah memberi kabar gembira bagi manusia. Dalam bahasa dalil disebut dengan basyiran wa nadhira. Artinya, berikan kabar gembira dan peringatan.
Memberi kabar gembira merupakan bentuk optimisme, sementara peringatan adalah upaya penyelamatan hak-hak rakyat. Kabar gembira dalam optimisme politik berupa harapan yang diberikan melalui konsep-konsep perencanaan positif yang disampaikan pada publik. Sedangkan peringatan berupa upaya pencegahan agar umat tidak terjerumus dalam kesalahan yang sama.
Pilkada bukan tempat di mana kandidat mengarang cerita tanpa kabar gembira bagi masyarakat, dan bukan juga tempat menyampaikan kebohongan tanpa pencegahan apa pun atas kekeliruan yang sedang terjadi. Pilkada adalah ajang memberi kabar gembira pada masyarakat. Maka, atas prinsip "basyiran wa nadhiran" calon pemimpin tidak boleh membawa berita sedih apalagi berita duka. Dan, pilkada bukan juga tempat ajang curhat, mengutarakan isi hati karena terharu melihat banyak orang berkumpul mendengarkan pidato-pidato politik yang disampaikan.
Ajang politik sering dijadikan
panggung sirklus oleh banyak orang untuk meraup kepentingan pribadi. Menjelang
perhelatan pilkada panggung politik tak jarang disulap menjadi pentas sirklus
dibanyak tempat. Disebut sirklus; panggung politik tidak membicarakan program
kerja pada masyarakat melainkan yang disampaikan adalah cerita kehebatan
dirinya, dan bahkan menjatuhkan orang lain. Badut politik datang memerankan
sirklus sekedar membuat orang-orang tertawa.
Pertemuan-pertemuan politik dengan masyarakat yang dibalut dengan moment silaturrahmi tanpa membicarakan substansi dari politik itu sendiri, yang mana tujuan utamanya untuk mengantarkan kesejahteraan berdasarkan konsep-konsep kekinian. Cerita-cerita yang dibaawa adalah sebatas dongeng saja. Dongeng karena kedekatan, orang satu daerah, satu kampung, satu keluarga, hikayat semando, hikayat turunan orang saleh, hikayat anak dan cucu ulama, hikayat pejuang, hikayat dekat dengan petinggi negeri, hikayat tokoh, hikayat sudah pernah menjabat, dan lainnya.. Semua itu adalah dagelan pemain sirklus.
Rakyat harus cerdas memahami dagelan yang diperankan oleh pemain sirklus melalui panggung politik. Datang dengan membawa misi politik, padahal sedang memengaruhi pikiran publik untuk mendukung kepentingan politik diri dan kelompoknya. Kepentingan inilah membuat orang-orang yang ingin berkuasa melakukan penekanan pada satu pihak untuk menaikkan elektabilitas dirinya yang notabene tidak dapat dipercaya sama-sekali.
Bukan hanya memahami sirklus politik para badut kekuasaan; bahkan rakyat juga harus cerdas membedakan antara peran politik dan peran sosial yang dijalankan oleh penguasa. Peran politik adalah seni desain kesejahteraan berdasarkan kebijakan publik. Sementara peran sosial terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan mendesak dan temporal yang dibutuhkan; baik kegiatan pribadi maupun kegiatan umat secara keseluruhan tanpa berhubungan dengan kekuasaan. Baik secara sosial, budayam, dan agama belum tentu baik dalam memimpin.
Orang-orang yang terlihat baik
secara sosial, budaya, dan agama dapat dengan mudah memengaruhi publik untuk
memilih dirinya, tetapi belum tentu baik untuk memimpin. Dan ini sudah terjadi
dimasa Nabi. Para sahabat tidak semua dapat dipercaya untuk memimpin, idak
dipercaya bukan karena tidak baik melainkan karena tidak memiliki kemampuan
untuk mengatur. Prinsip kepemimpinan bukan hanya sekedar baik melainkan juga
memiliki kemampuan memengaruhi orang-orang dan kemampuan mengatur dengan baik,
dan dapat dipercaya dalam menjalankan urusan atas kepentingan umat secara
keseluruhan.
Jika, sahabat yang dikenal baik
saja belum tentu dipilih untuk memimpin, apalagi orang-orang akhir zaman yang
tidak dapat dipercaya baik secara sosial, budaya, dan agama. Sebab, dunia
dengan teknik informatika sangat mudah mencitrakan baik. Dan, orang-orang
banyak tertipu dengan upaya pencitraan diri baik secara sosial yang dilakukan
orang-orang. Apalagi peran partai politik hanya intens disaat musim pemilihan;
baik pemilihan legislatif maupun eksekutif.
Pemimpin yang baik bukan karena
ia lihai dalam memimpin banyak organisasi dalam konteks peran sosial serta
mampu memengaruhi banyak orang dengan daya dan upayanya; pemimpin yang baik
adalah yang dipercaya oleh banyak orang terpercaya. Bukan pemimpin yang dipercaya
oleh pengusaha yang selalu mendapat pekerjaan dari penguasa. Pekerjaan yang
direkayasa oleh penguasa sendiri. Dan ini sudah menjadi rahasi umum, penguasa
berbisnis dengan anggaran melalui orang-orang yang jauh hari telah ditentukan
oleh penguasa.
Sekelompok pengusaha; pada dasarnya bukan sepenuhnya mengerjakan proyek negara, melainkan upaya menjalankan misi penguasa dengan alasan pembangunan. Padahal, mereka sedang bersekongkol dengan penguasa merampok kekayaan negara. Calon pemimpin terbaik adalah yang dipercaya banyak orang, bukan yang dikenal secara entertaint yang mana dominannya adalah gimmick yang penuh tipu daya dan pencitraan. Kemampuan masyarakat yang lemah mudah terpedaya dengan permainan badut politik.
Pilkada harusnya menjadi ajang adu ide dan adu gagasan. Mengingat Aceh telah lama dalam kubangan konflik berkepanjangan banyak menyisakan trauma bagi masyarakat. Hadirnya perdamaian Helsingki meretas jalan damai bagi Aceh sehingga dilaksanakannya pilkada. Pilkada Aceh telah berlangsung dari tahun 2007, dan pilkada 2024 adalah pemilihan calon kepala daerah yang ke empat.
Ekses konflik tidak boleh lagi digiring pada pelaksanaan pilkada kali ini. Siapa pun dari kita tidak boleh lagi ada pernyataan mengancam di tengah-tengah masyarakat, apalagi ancaman dilontarkan oleh calon kepala daerah dengan alasan tertentu. Politik pilkada yang islami pelaksanaan di Aceh mesti menjadi barometer untuk daerah lain di Indonesia.
Aceh pada pilkada tahun 2024 mesti menjadi barometer terlaksanakan pemilukada yang jujur, bersih, terbuka, dan menggembirakan. Ini harus dipegang erat-erat, terutama sekali pihak yang berkontestasi dalam pilkada. Jangan bangkitkan lagi bibit konflik dengan tuduhan kecurangan pada satu pihak. Apalagi membawa moment pelantikan presiden dijadikan sebagai ancaman terhadap pelaksanaan pilkada di Aceh Barat Daya khususnya, dan Aceh umumnya. Ditambah lagi dengan ancaman berupa teror fisik; seperti pembomanan rumah kandidat.
Membangun Aceh butuh ide, pikiran, dan kecerdasan. Bukan hasrat yang menggebu-gebu sehingga menabrak batas moral dalam politik. Masyarakat Aceh sudah lelah dengan konflik. Pelaku perang di Aceh sudah berdamai dan meletakkan senjata, maka kontestan politik di pilkada jangan mencoba-coba membangkitkan kembali bibit konflik dengan menggunakan kalimat ancama dalam bentuk apa pun.
Apalagi Aceh baru keluar dari konflik dan bencana tsunami; Aceh, konflik, dan kemiskinan; ekses konflik dan bencana alam masyarakatnya mesti digembirakan dengan banyak harapan. Mari kita bersama-sama menciptakan pilkada secara damai, berkualitas, dan menggembirakan semua pihak serta saling memperingatkan agar tidak jatuh dalam kesalahan yang sama. Basyira wa nadhira.
Serambi Peradaban, 3 September 2024
Komentar
Posting Komentar