Baik Sosial Belum Tentu Baik Secara Politik

Ada pemimpin yang diciptakan dan ada pemimpin yang dibentuk/dikaderkan. Pemimpin yang diciptakan praktiknya sering menabrak norma, sebab tujuannya hanya satu; yakni ingin berkuasa. Pemimpin yang dikader bukan hanya berkeinginan memperoleh kekuasaan semata melainkan juga menerjemahkan kekuasaan tersebut dalam bentuk retribusi kekuasaan untuk membangun kesejahteraan umat manusia.

Baik sosial bisa dibentuk sejak lahir, sementara baik secara politik dibentuk melalui kaderisasi kepemimpinan. Baik secara politik sangat ditentukan dari baik secara sosial. Di sini, kesalehan individu/spiritual sangat memengaruhi keshalehan sosial dan juga keshalehan politik. Dengan demikian, baik sosial perlu dilihat pada diri calon pemimpin sebagai langkah awal dalam menentukan calon pemimpin yang baik secara politik.

Terkadang manusia bersandiwara dalam banyak hal. Disaat kepura-puraan dibungkus dengan satu tujuan inilah disebut dengan kemunafikan. Berjanji membangun jembatan di tempat yang tidak ada sungainya bisa saja dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan politik yang buruk. Kemunafikan dalam dunia politik dianggap lumrah. Dan sesuatu yang buruk, kemunafikan politik tidak dipahami sebagai kerugian oleh orang yang menerimanya.

Masuk fase politik orang-orang terbiasa dengan yang namanya kemunafikan. Bisnis politik tidak dapat dibedakan lagi dari politik itu sendiri. Orang-orang yang tidak melek politik menutup matanya, orang pintar menutup telinganya, orang bijak menutup hatinya, cerdik pandai menutup pikirannya disaat melihat kemunafikan yang dijalankan pebisnis politik. Padahal kemunafikan dalam bentuk apa pun sangat dicela oleh orang-orang. Tetapi, kemunafikan politik dianggap lumrah.

Bisnis politik menjelang pilkada dilakukan untuk memengaruhi pemiliki modal dan juga memengaruhi pikiran masyarakat. Dan ini dilakukan secara masif oleh orang-orang yang ingin berkuasa. Memengaruhi pemilik modal dengan cara memblo-up situasi dan kondisi. Mengelola massa dengan baik dan meniupkannya pada media agar terpengaruh pikiran para cukong politik untuk menanam modal bisnis politiknya.  Tahapan ini dilakukan sejak proses politik dimulai. Dan juga dilakukan menjelang dan sesudah ditetapkannya tahapan-tahapan.

Bisnis politik juga dilakukan di tengah-tengah masyarakat dengan cara mengelabui pikira publik agar cenderung pada dirinya. Modal sosial bagi kaum munafik adalah berlaku baik disaat ada maunya. Di sinilah baik sosial diperankan. Bila perlu daerah yang tidak ada sungai pun dijanjikan membangun jembatan. Baik secara sosial dan baik secara politik tidak dapat lagi dibedakan dalam proses politik akhir-akhir ini. Baik sosial dilihat dari cara ia membangun komunikasi dengan orang-orang. Sementara baik politik dilihat dari peran politik yang dimainkan.

Seseorang yang baik secara sosial ia akan menjaga komunikasi dengan orang-orang secara baik. Sementara baik secara politik dilihat dari cara ia bergerak. Politik terkait dengan kekuasaan, maka bagaimana cara ia meraih kekuasaan secara baik dapat dilihat dari peran politik yang dimainkannya. Peran politik tanpa kepicikan, tanpa adu domba, tanpa fitnah, tanpa curang dalam menarik simpati banyak orang, dan tindakan negatif lainnya. Baik prilaku politik juga dimulai dari baik prilaku sosial. Baik sosial belum tentu baik secara politik. Sebab, tidak semua orang baik mampu memimpin banyak orang dengan benar.

Baik sosial adalah barometer dalam melihat baik politik. Ini dikarenakan dunia kekuasaan buruk bagi orang baik secara sosial, apalagi bagi orang yang buruk secara politik. Kekuasaan identik dengan penguasaan banyak materi. Biaya kenakalan orang-orang yang berkuasa sangatlah mahal. Orang yang buruk secara sosial ia akan merekayasa baik yang dimulai dari kehidupan dirinya, keluarga, dan masyarakat sekitar.

Di tahun politik, praktik buruk politik melakukan kepuran-puraan pada banyak hal. Termasuk pura-pura baik dalam kehidupan dalam kehidupan pribadi dan juga pura-pura baik pada banyak orang. Bahkan menebar senyum pada orang yang tidak meliriknya pun dilakukan. Jangankan dalam terang, dalam gelap pun ia akan tersenyum pada banyak orang. Itu semua dilakukan semata-mata agar terlihat baik.

Dan, ini berbeda disaat kekuasaan sudah berada di tangannya. Ia tidak lagi melakukan pencitraan dengan sikap, melainkan ia melakukan pencitraan dengan tindakan dengan memanfaatkan kebijakan yang seolah-olah memihak pada orang banyak. Padahal sedang menjalankan persekongkolan dengan pemilik modal. Banyak program kebijakan dilakukan bukan atas nama kebutuhan rakyat melainkan dijual atas kebutuhan pemilik modal; apakah dalam bentuk izin usaha, proyek pemerintah, dan dalam bentuk lainnya.

Baik sosial belum tentu baik dalam peran politik. Baik sosial tindakannya berefek pada diri sendiri. Sedangkan baik politik terkait dengan kekuasaan yang berefek pada kebijakan yang sangat berpengaruh terhadap hidup rakyat. Pandai menempatkan diri dalam politik sisi tertentu dalam ukuran baik sosial. Menghalalkan segala macam cara sisi tertentu pula dalam ukuran politik. Orang yang baik secara politik akan menghindari praktik politik ganda; satu sisi memperkuat kekuatan politik untuk dirinya, pada sisi lain ia menghancurkan kekuatan politik orang lain. Dan ini akan dilakukan sejak awal proses politik bergulir hingga akhir. Ketika kekuasaan diperoleh dapat dipasikan ia akan melakukannya jauh lebih buruk lagi.

Perlu memperhatikan baik secara sosial dalam menentukan pilihan politik. Kekuasaan adalah wadah kepentingan orang banyak diperjuangkan. Jika, kekuasaan tidak diisi oleh orang baik; baik secara sosial maupun baik secara politik. Pada tahap tertinggi yang dibutuhkan dalam pengelolaan kekuasaan adalah hadirnya orang baik. 

Orang baik tidak hadir dengan mencitrakan diri baik, ia hadir secara baik dan menerjemahkan kebaikan dirinya dalam kehidupan sosial dan kebijakan politik. Akhir dari kekuasaan yang dinginkan rakyat adalah hadirnya orang dalam menyelesaikan problem kehidupan berjangka panjang. Hadirnya orang baik tanpa pencitraan sangat dirindukan oleh masyarakat yang jauh dari akses kekuasaan.

Serambi Peradaban, 4 September 2024



 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama