Tu Sop: Sebuah Pengantar Peradaban Politik
Tu Sop; membangun peradaban umat menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Islam membangun peradaban dari perbaikan di lingkup kecil hingga lingkup yang lebih besar. Diawali secara pribadi, keluarga, serta masyarakat.
Secara pribadi manusia wajib membentuk potensi diri sesuai dengan kerangka-kerangka syariat Islam, yang dibangun berdasarkan konsep iman. Kemudian melalui perangkat keluarga manusia mulai berekspansi membangun komunitas. Peran pribadi dan keluarga sangat penting dalam membangun peradaban di lingkup kecil, adapun di lingkup besar membangun peradaban keummatan.
Peran pribadi dan keluarga menjadi ikatan pengikat dalam peradaban keummatan. Peradaban pribadi tidak dibangun atas dasar kekuatan dan kekuasaan, tetapi dibangun berdasarkan kesadaran. Berbeda dengan membangun peradaban keluarga diperlu kekuatan yang dibangun berdasarkan hubungan kedekatan dan emosional. Sementara membangun peradaban umat dibutuhkan kekuasaan.
Secara alami sulit bagi manusia membangun relasi berdasarkan emosional mengikuti pada satu panutan. Ini disebabkan karena tipe-tipe manusia yang berbeda-beda. Maka, dalam hal tersebut dibutuhkan kekuatan besar, butuh power. Power yang dimaksud di sini adalah kekuasaan, baik kekuasaan personal maupun kekuasaan kolektif yang dimiliki oleh seorang leader.
Dengan demikian, kekuasaanlah yang menentukan semua itu akan terus berjalan. Potensi kepemimpinan sangat dipengaruhi bagaimana kondisi masyarakatnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad Saw, “bagaimana rakyat maka begitulah pemimpinnya”, atau berlaku sebaliknya, “bagaimana pemimpin begitulah rakyatnya.
Di era demokrasi dua hal harus dilakukan. Pertama, melahirkan pemimpin yang baik. Kedua, melahirkan kekuasaan yang baik. Pemimpin yang baik dan kekuasaan yang baik mesti dibangun melalui potensi keummatan. Melalui umat yang baik secara sosial melahirkan kekuasaan yang baik. Dan begitu juga sebaliknya, pemimpin yang baik dalam menata kekuasaannya melahirkan masyarakat yang baik pula. Memperbaiki kedua potensi inilah yang harus dibangun saat ini.
Dalam sejarah perjalanan manusia selalu ada penguasa dan yang dikuasai, berlaku di era Jahiliyah dan juga terjadi di era islam membangun peradabannya. Kekuasaan akan selalu hadir dalam setiap waktu, dan tidak perlu merisaukannya. Sebagaimana Alquran sendiri menyebutkan bahwa “akan diputar kekuasaan itu di antara manusia”. Kekuasaan yang digilirkan melalui proses demokrasi merupakan perdaban politik baru yang dihadapi umat hari ini.
Realitas politik demokrasi mesti dipahami sebagai proses di mana kekuasaan digilirkan. Demokrasi bukanlah ajang menciptakan permusuhan di tengah-tengah masyarakat. Demokrasi akan menjadi ruh dari kekuasaan dikala orang-orang baik hadir mengisi ruang-ruang politik. Maka, menciptakan masyarakat yang baik dibangun melalui potensi arus bawah; yakni potensi individu dan keluarga.
Kekuasaan dihendaki atau tidak, keberadaannya akan selalu hadir dalam kehidupan ini. Bukan kekuasaan atau politik itu sendiri yang dirisaukan, tetapi yang perlu diperhatikan adalah kekosongan, atau ketiadaan orang-orang baik di ruang politik. Inilah yang menjadi tugas agama mengisi ruang pablik yang memiliki moralitas yang kuat.
Melihat realitas hari ini, kurangnya peran agama dalam politik sebagai basis moral pablik maka menambah jumlah politisi dan partai politik bukan perkara mendesak dan urgen. Perkara yang mendesak adalah memperbaiki basis politik bermoral yang dibangun berdasarkan agama.
Peran-peran politik moralitas mesti dihadirkan ke ruang publik. Kekuasaan selalu hadir dalam dua bentuk; kerusakan dan kebaikan. Di sini, peran politik diperlukan. Memperbaiki yang sudah rusak, atau melahirkan orang baru yang baik; ini perkara penting yang harus dipikirkan oleh umat hari ini, kususnya di Aceh dan Indonesia pada umumnya. Perlu memperluas narasi politik kepada umat, maka buku ini keberadaannya sangat penting. Narasi-narasi yang membangun peradaban politik harus menjadi bahan perbincangan di ruang publik secara massive.
Buku ini bagian dari upaya membangun narasi melalui metode intelektualitas. Materi-materi politik yang disampaikan dapat dibaca melalui buku ini. Substansi dari semua itu adalah usaha membangun peradaban pada ranah politik. Karena, politik identik dengan kekuasaan, dan kekuasaanlah yang mampu memperbaiki jalannya kebaikan yang ditawarkan politik demokrasi pada elemen yang lebih luas.
Politik Aceh hari ini dan ke depan; sebagai orang beriman yang hidup di era demokrasi, umat harus mencari pola bagaimana seorang mukmin mengisi ruang demokrasi. Jangan sampai persolan politik dan demokrasi menjadi malapetaka bagi masa depan abadi. Politik harus dibangun untuk menjadi investasi dunia dan amal untuk akhirat. Islam agama yang sifatnya universal, maka peradaban politik bukanlah kehendak zaman, justru kehadiran Islam itu sendiri untuk memperbaiki setiap zaman. Maka, dihadirkan seorang Rasul untuk menjadi barometer kebaikan. Prototipe politik telah dibangun oleh Nabi Muhammad Saw melalui konsep negara Madinah.
Terwujudnya perdamaian di Aceh jika tidak dibarengi dengan nilai-nilai Islam, maka perdamaian akan menuai sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat Aceh sendiri. Hak-hak dari perdamaian harus diakomodir dengan baik, dan diteruskan sebagai jalan untuk menyampaikan kesejahteraan umat. Hak-hak ini harus dinyatakan oleh kedua belah pihak yang berdamai, baik Republik Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka.
Untuk merealisasikannya diperlukan nilai-nilai Islam dalam mengisi perdamian. Islam adalah amanah dan hadir untuk sebuah kebaikan bagi seluruh umat (rahmatan lil ‘alamin). Maka, dibutuhkan user-user yang mengakomodir narasi peradaban politik yang sesuai dengan konsep-konsep Islam. Narasi yang dibangun mesti hadir untuk kepentingan publik, bukan memanfaatkan publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil. Selamat jalan guru umat, selamat jalan semangat peradaban politik. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.
Cahaya Peradaban Politik, 7 September 2024
Komentar
Posting Komentar