Ulul Al-Baab: Dzikir dalam Intervalisme Fikir

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran) bagi orang-orang yang berakal. Q. S. Ali-Imran/003: 190.

Sebutan “Ulul Albab” merupakan istilah yang digunakan Alquran untuk menyebut pada orang-orang yang menggunakan akalnya, atau orang-orang yang memilki daya pikir yang kuat. Terdiri atas dua kata “ulul” dan “al-albab”. Kata “ulu”  berarti mempunyai, sementara “al-albab” adalah bentuk jamak dari kata “al-lubb”. Bentuk jamak ini mengindikasikan makna orang yang memiliki kecerdasan berfikir serta kemampuan unit analisis yang kuat dari berbagai arah dalam memecahkan masalah.

 Ulul Albab adalah sebutan untuk orang-orang yang mampu menggunakan akalnya dengan baik. Akal adalah satuan perangkat yang dimiliki manusia yang mana proses pembentukannya melalui ilmu pengetahuan. Akal dalam diri manusia ibarat file lunak, dan otak adalah perangkat kerasnya. Antara akal dan ilmu satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan; akal adalah kemampuan nalar, sementara ilmu pengetahuan merupakan pendobraknya.

Pada awal pembentukannya, akal sangatlah lemah. Lalu, melalui proses pendidikan; baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal akal dibentuk secara terus menerus. Ilmu pengetahuan adalah proses panjang dilalui manusia, dan melalui sistem pendidikan lah akal dibentuk. Jenjang pendidikan yang dikenal hari ini merupakan media pembentukan akal secara rasional, sistematis, radikal, dan universal. Akal yang dibentuk secara sistematis melahirkan keahlian di bidang masing-masing.

Manusia terdiri dari perangkat-perangkat. Ibarat komputer, raga manusia memiliki perangkat keras dan juga memiliki perangkat lunak. Otak di mana akal digantungkan dalam diri manusia ibarat perangkat keras, yang memiliki kemampuan menangkap pesan yang berbeda-beda, tergantung kapasitas otaknya. Perkembangan otak tentunya didukung oleh asupan gizi yang baik.

Di sini, makanan yang bergizi sangat ditentukan untuk membentuk kemampuan otak. Dan menjaga kesehatan otak dari berbagai ancaman yang melemahkannya sangatlah penting. Bagian otak merupakan perangkat terpenting manusia untuk menjadi insan menuju proses kesempurnaan. Dengan demikian, menjaga otak sama dengan menjaga akal, meningkatkan kemampuan akal sama dengan memperkuat agama seseorang. Melalui akallah dalil-dalil keagamaan digali dari berbagai aspek.

Membangun dzikir pada tiga aspek; berdzikir dengan lisan, berdzikir dengan pikiran, dan berdzikir dengan hati/qalbu. Perintah berdzikir dilakukan saat berdiri, duduk, dan berbaring. Trilogi aktifitas manusia dapat direfresentasikan pada tiga tempat; manusia jika tidak dalam keadaan berdiri pasti dalam keadaan duduk, jika tidak duduk pasti berbaring atau tidur. Dalam tiga tindakan ini manusia selalu diperintahkan untuk berzikir. 

Berdzikir dengan lisan mengucapkan kalimat-kalimat yang baik atau kalimat “thayyibah” dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Secara rinci tidak ada batasan jumlah berdzikir dengan lisan, lakukanlah sebanyak-banyaknya.  Semakin sering diucapkan maka semakin kuat ingatan seseorang pada objek tersebut. Ucapan menandakan seseorang mengingat sesuatu yang diucapkannya. Ontologisme dibangun melalui sebutan-sebutan, sehingga melalui kemampuan khayal manusia terbangunlah pengetahuan.  

Berdzikir dengan pikiran, sebuah upaya menggali ayat-ayat Tuhan; baik yang tertulis maupun yang tercipta dengan menggunakan akalnya. Tahap ini dzikir bukanlah semata proses ontologi, melainkan masuk tatanan epistimologis. Di sinilah, fungsi ilmu pengetahuan mendobrak analisa-analisa dari suatu fenomena untuk mengungkapkan fakta; baik fakta yang terlihat maupun yang tersembunyi. 

Berdzikir  dengan pikir adalah sebuah upaya mengingat sang pencipta, serta berusaha mengungkapkan keagungan alam semesta, serta mengagungkan kebesaran ilahi dari apa pun yang diciptakan. Dari proses inilah lahirnya berbagai cabang ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk makhluk.

Berdzikir dengan hati suatu upaya memasukkan apa pun yang dipikirkan akal ke dalam qalbu. Pada tahap ini, ilmu pengetahuan tidak hanya dilandasi epistimologi, melainkan masuk tahap aksiologi yang melahirkan aktivitas-aktivitas yang tidak hanya berusaha menyelesaikan persoalan, melainkan juga mendatangkan rahmat untuk alam. 

Qalbu meyakinkan ucapan dan pikiran, sehingga sesuatu yang diucapkan lisan, dipikirkan akal tidak hanya dilihat dari keberadaannya semata melainkan dilihat dari fungsinya. Melalui dzikir hatilah potensi yang digali oleh akal menentukan efek yang ditimbulkan; apakah mendatangkan kebaikan  ketau menebar keburukan.

Berdzikir saat berdiri/berjalan, berdzikir saat duduk, berdzikir dalam keadaan berbaring atau tidur merupakan upaya mengingat Tuhan dalam keadaan, situasi, dan kondisi apa pun. Sebagaimana Alquran menjelaskan;

Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. Q. S. Ali-Imran/003: 191.

Berdzikir adalah ativitas orang-orang yang menggunakan potensi akalnya dengan baik, Alquran menyebutnya dengan istilah “ulul albab”. Ayat di atas, ditujukan untuk orang-orang yang menggunakan potensi akalnya; baik dilakukan saat berdiri/berjalan, duduk, dan berbaring. 

Bagi orang-orang yang menggunakan potensi akalnya tiada kondisi dan tiada masa yang tidak diisi dengan aktivitas berfikir. Dan, tidak ada tidur bagi orang yang menggunakan akalnya, kecuali yang terpejam hanyalah matanya, sementara hatinya tidak. Artinya, dalam kondisi apapun; lisan, pikiran, dan hatinya selalu mengingat keagungan atas penciptaan Tuhan.

Beberapa; kalimat-kalimat dzikir yang bisa diucapkan dengan lisan. Begitu juga dengan alam fikir, banyak hal yang dapat diungkapkan di alam jagat raya. Di antara kalimat dzikir seperti kalimat "la ilaha illallah", di antaranya adalah kalimat tauhid, kalimat tahlil, ikhlas, zikir, dan lain sebagainya. Tujuan dari kalimat ini adalah menancapkan iman dalam qalbu. Di sini, berfungsi metodenya saat mengucapkan kalimat-kalimat tersebut.

Metode dzikir diajarkan melalui thariqat-thariqat. Sementara metode berfikir ditentukan dengan kaedah-kaedah logika. Metode berfikir filsafat telah melahirkan berbagai macam ranah ilmu pengeahuan. Dalam sejarahnya, filsafat dikatagorikan sebagai induk ilmu pengetahuan. Sejalan berkembangnya pemikiran, filsafat tidak lagi dipahami induk segala ilmu pengetahuan, melainkan dipahami sebagai alat dan metode dalam memahami pengetahuan-pengetahuan. 

Kalimat dzikir dipahami ekstrem, sebab ia berhubungan dengan nilai keimanan. Ekstrem dari segi pengucapan dan ekstrem dari gerakan. Ekstrem pengucapan, kalimat ini tidak boleh diputarbalikkan; baik dari vokalnya maupun maknanya. Ekstrem gerakan dapat dilihat dari gerak anggota badan. 

Gerak kepala memutar dari bagian atas ke kanan nenuju bagian bawah arah kiri tepat di ulu hati. Ini disebabkan, karena posisi hati sebagai central koneksi keilahian ada di bagian dada sebelah kiri. Gerakan dzikir juga bagian dari ekspresi dari fananya fikir, sehingga banyak yang berdzikir membawa jiwanya menyatu dengan sebutan-sebutan tersebut.

Bergeser vokal pada saat mengucapkan kalimat dzikir tidak lagi dipahami bentuk kesalahan. Sebab, tujuan utama dzikir bukanlah pada ucapan, tapi lebih pada upaya menanamkan tauhid dalam qalbu. Begitu juga gerakan yang terlihat ektsrem. Itu semua dikarenakan, begitu beratnya bagi sebagian orang memasukkan iman dalam hatinya, maka cara yang ditempuh juga terkadang tidak lazim menurut sebagian orang. Majelis-majelis dzikir berperan dalam menanamkan kalimat tauhid dalam diri seseorang dengan menggunakan metode atau thariqarat tertentu.

Menanamkan iman dalam diri manusia adalah titik terendah tujuan seseorang beragama. Melalui titik terendah inilah manusia akan mencapai titik tertingginya. Dalam persoalan iman, dua hal yang seharusnya berjalan beriringan pada manusia; bertambah iman dan bertambah pula ilmunya. Orang yang hanya bertambah ilmunya tidak bertambah imannya, maka ia ekstrem dalam memahami nilai-nilai agama. Ilmu yang dipahami, hanya digunakan untuk hal-hal yang buruk, terkadang yang benar bisa disalahkan dan yang salah bisa dibenarkan.

Sementara, jika yang bertambah hanya iman saja tanpa bertambah ilmunya, ia hanya menjadi orang yang baik saja, namun tidak bisa menjadi orang yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan, baik perubahan dalam agama, masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dzikir dengan lisan adalah ibadahnya orang-orang yang belum kuat hati dan pikirannya dalam bertafakkur pada apa yang diciptakan Tuhan. Sementara berfikir (berzikir dengan pikiran) adalah ibadahnya orang-orang kuat, yang mana pengetahuannya dibangun berdasarkan kekuatan fikirnya.

Dzikir dan berfikir; dua aktivitas yang sama tetapi outpoutnya berbeda. Dzikir membangun iman dalam hati menguatkan tauhid dalam dada. Sementara, fikir membangun kekuatan yang dapat membawa manusia mencapai derajat yang tinggi, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana telah disebutkan bahwa kebahagiaan dunia hanya diperoleh melalui ilmu, kebahagiaan akhirat juga diperoleh karena ilmu. Begitu juga kebahagiaan keduanya, dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui kekuatan fikir; yakni ilmu pengetahuan.

Begitu besar pengaruh ilmu dalam sejarah kehidupan manusia. Adam tidak mulia di syurga karena ibadahnya, kemuliaan Adam dari makhluk yang lain sebab Adam diberikan pengetahuan, sehingga dengan pengetahuan tersebut Adam dapat menyebut nama-nama benda. Ilmu yang ditanamkan pada Adam mengangkat derajatnya. Dengan kekuatan ilmu lah Adam diistimewakan, sehingga setiap makhluk di syurga diperintahkan untuk sujud pada Adam. Dengan ilmu pula Adam dinobatkan sebagai Khalifah di muka bumi.

Berzikirlah dengan lisan, tanpa mengenyampingkan aktivitas akal (berzikir dengan pikiran) dalam menangkap gejala-gejala yang membawa prubahan besar atas umat ini. Dengan mengingat Tuhan hati setiap hamba akan tenang. Dengan pengetahuan, hidup setiap hamba terarah dan mampu membedakan baik dan buruk. Memahami baik dan buruk suatu upaya meluruskan aktivitas lintas bidang yang dilakoni oleh masing-masing peran di muka bumi.

Mengingkari kalimat dzikir maka sama dengan meniadakan manfaat. Sebab, kalimat tauhid yang tidak dibatalkan dengan perkataan, perbuatan, dan sikap sama dengan membangun kekufuran. Kufur adalah sikap yang muncul dari prilaku seseorang yang keluar dari patron keislaman, maka pelakunya disebut kafir.

Kata kafir bagi orang awam menimbulkan polemik. Ucapan tersebut memancing keributan, sebab orang awam memahami kata kafir sebagai non-muslim. Dan ini berbeda dengan orang alim, kata kafir juga dimaknai sebuah penginggkaran terhadap suatu amalan. inkar dan syukur disebutkan dalam satu tempat. Inkar mendapatkan azab dan syukur ditambahkan nikmat. Dengan membangun syukur, maka nikmat-nikmat itu akan terus bertambah. Sebagaimana Alquran mengutarakan.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”. Q. S. Ibrahim/014: 7.

Kekufuran dalam pengertian pengingkaran tidak hanya berlaku dalam konteks teologi tetapi juga berlaku dalam konteks sosial. Banyak kekufuran yang ditimbulkan dari proses kekuasaan. Kekuasaan yang tidak mengindahkan kaedah-kaedah yang mengantarkan kesejahteraan kolektif bagian dari tidak mensyukurinya kekuasaan itu sendiri. 

Sebab itulah, kekuasan di tangan orang-orang yang mengingkari asas keadilan tidak mengantarkan kesejahteraan atas umat ini. Namun, yang muncul adalah mensejahterakan diri, keluarga, dan kelompoknya. Bentuk syukur atas kekuasaan; bagaimana mengelola sistem pemerintahan dengan baik. Sistem yang semata bertujuan mengantarkan kesejateraan atas wilayah yang dipimpin.

Berdzikirlah dengan lisan yang baik, sebagaimana dituntun oleh mursyid-mursyid yang masyur. Berfikirlah dengan pikiran-pikiran cerdas berdasarkan kaedah-kaedah yang benar, sebagaimana dibangun berdasarkan hukum-hukum nalar yang kuat. Konsep “ulul albab” adalah membangun kecerdasan di segala bidang menggunakan kaedah berfikir yang benar. 

Dengan kecerdasan tersebut, terbangunlah unit analisis yang nyata hadir untuk keepntingan umat secara terus menerus. Membangun kecerdasan fikir  berdasarkan kekuatan dzikir. Artinya, kecerdasan analisis yang dibangun sarat dengan nila-nilai keimanan dan ketakwaan sosial. Dan janganlah oleh karena kebencian/ketidaksukaan pada suatu objek tidak adil dalam meletakkan lisan dan fikir. 

Jakarta, 4 Juli 2023    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA