Gerakan Madinah: Aceh Pelopor Islam di Nusantara
Berbicara Nusantara adalah berbicara awal kisah Islam
berkembang di Asia Tenggara. Wilayahnya sangatlah luas dan masyarakatnya sangat
majemuk. Nusantara tidak tepat dilihat dari satu aspek saja. Keberadaannya
mesti ditinjau dari beberapa sisi yang mengitarinya. Melihat Nusantara hanya
dari satu sisi saja akan menimbulkan polemik, sebab kemajemukan harus dilihat
dari pikiran terbuka.
Pertama, Nusantara harus dilihat dari sisi letak geografis. Dari
sisi ini, Nusantara adalah wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, jumlah
pulaunya mencapai 17. 000 pulau. Dan tidak hanya itu, wilayahnya juga mencakup negara-negara
di Asia Tenggara.
Islam datang melalui jalur laut. Saudara-saudagar dari
Arab, Persia, dan India terlebih dahulu singgah di wilayah-wilayah pantai
melalui pelabuhan di sepanjang pulau Sumatra.
Hampir seluruh perairan Aceh mejadi jalur perdagangan,
dan wilayah sekitarnya menjadi zona awal peradaban di bangun. Merujuk pada
fakta sejarah pulau Sumatra adalah wilayah yang terlebih dahulu terjadi kontak
dengan peradaban Islam global dari berbagai negara-negara yang telah terlebih
dahulu mengenal Islam.
Kedua, Nusantara mesti dilihat dari sisi sosiologis
masyarakatnya. Masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang telah membangun
interaksi kepada sesamanya. Interaksi ini telah membawa kontak pada hubungan
antara kelompok manusia yang mendiami seluruh wilayah di Nusantara.
Ketiga, Nusantara mesti dilihat dari sisi linguistik
atau kebahasaan. Indonesia memiliki 746 bahasa yang tersebar di seluruh
penjuru. Bahasa ini telah menjadi identitas diri mereka dengan budaya tutur
yang beraneka ragam. Bahasa adalah cara masyarakat Nusantara membangun
komunikasi dengan sesamanya, baik dengan individu, kelompok, dan masyarakat.
Keempat, Nusantara harus dilihat dari sisi politik. Masyarakat Nusantara
dalam sejarahnya telah membangun peradaban politik yang mana masing-masing
memiliki kekuasaan dan kerajaan sendiri-sendiri di setiap wilayah. Dimulai dari
kerajaan Hindu, Budha, dan Islam.
Kelima, Nusantara mesti dilihat dari sisi agama yang dianut
oleh masyarakatnya. Agama sebagai perangkat nilai dan aturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan manusia, serta
hubungan manusia dengan lingkungannya. Keberadaan agama ini sakral bagi setiap
pemeluknya.
Keenam, Nusantara mesti dilihat dari sisi kebudayaan dan adat
istiadat yang dianut oleh masyarakatnya. Adat istiadat ini menjadi media
penghubung dalam membangun komunikasi dengan masyarakat yang lain. Aktifitas adat
menjadi bahasa simbolik yang disampaikan manusia kepada objek yang lain, baik
menjalin komunikasi dengan Tuhan, manusia, dan alam.
Melihat dari enam sisi terkait dengan Nusantara, satu-satunya jalur masuk yang mudah diterima adalah melalui jalur kebudayaan. Maka dengan itulah A. Hasjmy membangun pemikirannya dalam melihat Nusantara dengan memperkuat sisi-sisi kebudayaan. Indonesia sebagai negara yang dibangun atas nilai kebudayaan tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai politik yang dibangun oleh Islam itu sendiri.
Ratusan tahun yang lalu, Aceh sebagai jembatan masuknya Islam di Nusantara telah banyak melahirkan para pemikir, di ataranya adalah Hamzah Fansuri, Abdurrauf As-Singkili, Syamsuddin as-Sumatrani, dan juga masih banyak intelektual-intelektual yang lainnya. Lain wilayah lain pula rajanya, lain ranah lain pula kemampuan berpikirnya. Sepanjang sejarah akan terus melahirkan para pemikir di bidangnya yang berperan menjawab persoalan sesuai dengan konteksnya.
A. Hasjmy yang mana keberadaannya telah ikut menjadi bagian dari khazanah intelektual di Nusantara. Aceh sebagai wilayah yang telah membangun peradaban Islam sangat mendominasi perjalanan spiritual masyarakatnya. Islam di Nusantara dengan bangunan intelektual para pemikirnya telah memiliki keunikan tersendiri.
Islam menurut A. Hasjmy bukan hanya agama yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, juga membangun hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Lebih jauh A. Hasjmy menangkap analisa bahwa Islam tidak hanya bersentuhan dengan hal yang bersiafat sakralitas, namun juga berkaitan dengan profanitas. Dengan itu kajian A. Hasjmy membangun argumentasi yang terkait dengan politik, sejarah, dan budaya.
Sejarah perkembangan Islam tidak terlepas dari intelektualitas
yang dibangun dari dunia Arab. Empat belas abad yang lalu Islam melalui tangan
Nabi Muhammad saw., telah memulai sebuah peradaban yang tidak hanya menjadi
milik Arab, namun juga tersebar ke berbagai penjuru dunia melalui para
pembawanya. Memanfaatkan jalur perdagangan Islam telah sampai ke Nusantara
setelah Rasulullah saw., membangun peradaban dengan konsep Madinah al-Munawwarah.
Islam merupakan budaya yang memiliki kekhasan tersendiri,
keberadaannya sangatlah mudah untuk diterima oleh masyarakat tertentu. Ini semua
oleh karena keberadaan Islam tidaklah datang untuk menjadi budaya tandingan
terhadap budaya tertentu, sehingga budaya yang lain akan dihilangkan. Islam tidak
hadir untuk menentang suatu budaya, melainkan datang untuk meluruskan suatu
budaya keliru dan bertentangan dengan Alquran.
Kebudayaan menurut A. Hasjmy adalah manifestasi akal dan
rasa manusia, hal ini berarti pula bahwa manusialah yang menciptakan
kebudayaan, atau dengan kata yang lain, kebudayaan bersumber dari manusia itu sendiri melalui
karya karsanya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kebudayaan yang melekat pada Islam
merupakan hasil dari penjelmaan dan rasa masyarakat Muslim dan bersumber pada
masyarakat Muslim.
Belakangan kata Nusantara menjadi sensitif bagi kita,
apalagi adanya lebel-lebel Islam di belakangnya. Islam Nusantara dipahami
sebagai ancaman, agama baru ataukah aliran baru. Dan ini tidak hanya berpolemik
ditataran awam, malah menjadi isu perlawanan yang dilakukan oleh sebagian
pemuka agama. Mengadu Islam dengan Nusantara adalah sebuah kekeliruan berpikir,
dan bersamanya juga kita sedang melupakan sejarah Nusantara itu sendiri.
Mengadu kata Islam dengan Nusantara telah melupakan sejarah
peradabannya. Nusantara adalah sebuah wilayah yang merentang letak geografis. Nusantara
adalah sebuah wilayah yang sudah terbangun sebuah peradaban yang kuat. Di Nusantara
telah terbangun sebuah tatanan masyarakat yang maju dengan jalur dagang yang
menjadi pusat perhatiaan para pedagang dari berbagai negara, bahkan benua. Tidak
hanya sampai di situ, di Nusantara telah terbangun sebuah tatanan politik
dengan Islam sebagai basis kekuatan pemerintahannya.
Raja-raja yang beragama Islam telah menguasai
kerajaan-kerajaan besar, dari kerajaan Aceh, Banten, Demark, Mataram, dan kerajaan-kerajaan
kecil di tanah-tanah Meulayu. Dan puluhan kerajaan Islam yang terbentang
sepanjang wilayah Nusantara. Kerajaan-kerajaan ini telah membangun
peradabannya.
Nusantara yang membentang dari wilayah ujung Sumatra
hingga Papua, sepanjang sejarahnya telah melewati pasang surut,
kerajaan-kerajaan yang dulunya telah membangun kekuatan harus melewati seleksi
alam.
Berdiri, berkembang, dan runtuh, sebagaimana ibn Khaldun
telah menyebutkan, negara dengan fase yang dilewatinya tidak menjamin akan bertahan
sepanjang masa, dan akan menemukan ajalnya. Dan ini telah disebutkan di dalam
kitab suci, bahwa kekuasaan itu akan digilir kepada tangan-tangan (kekuasaan)
yang berbeda-beda. Namun dibalik runtuhnya sebuah kerajaan tetap akan
menyisakan perdabannya.
Peradaban Nusantara telah terbangun dengan berbagai ranah
dan wilayah. Manusia terus bergerak dan membentuk budayanya masing-masing. Sejarah
mencatat melalui artefak-artefak peradaban yang mengirim pesan bahwa Nusantara
ratusan tahun yang lalu telah melahirkan berbagai macam produk kebudayaannya. Ada
yang dibangun melalui kekuatan politik, sosial, ekonomi, perdagangan, hasil
alam, serta melahirkan banyak intelektual.
Intelektualitas membangun pemikiran dalam berbagai
bidang, telah menjadikan Nusantara sebagai pusat pengkajian para peneliti
dunia. Baik terkait dengan agama, politik, ekonomi, militer, dan lain
sebagainya. Sekitar enam abad yang lalu Nusantara telah menjadi pusat perhatian
dunia dari berbagai negara, mereka tergiur dengan hasil alamnya. Rempah-rempah
telah menjadikan Nusantara penuh dengan pertumpahan darah melalui peperangan
yang diakibatkan oleh thamaknya manusia memahami dunia.
Islam hadir sebagai intrumen akomodatif terhadap budaya
yang dianggap menyimpang dan betentangan dengan Alquran dan fitrah kemanusiaan.
Hal inilah yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saw., selama berada di Mekkah,
penyimpangan aqidah telah terjadi di masyarakat dengan tradisi masyarakat
Qurays menyembah patung berhala. Tiga belas tahun Nabi Muhammad saw., di Mekkah
untuk membebaskan manusia dari penyimpangan aqidah.
Begitu juga dengan budaya yang melawan fitrah
kemanusiaan, di Madinah Nabi Muhammad saw., telah membangun jembatan ishlah antar
suku yang gemar bertikai dan berperang dengan sesamanya.
Satu suku menjadi ancaman bagi suku yang lain. Permusuhan
antar suku ini dapat dilerai dengan penetrasi budaya melalui kontitusi hukum
kenegaraan. Lahirlah konstitusi negara Madinah yang dipelopori oleh Nabi
Muhammad saw., sehingga dengannya prototipe wujud dari negara yang membawa
nilai-nilai Islam terbentuk.
Islam hadir di Mekkah telah membangun peradaban tauhid. Manusia
dibebaskan dari kemusyrikan, dan dari pola memahami teologi yang tidak tepat. Berhala
menjadi sesembahan, makhluk menggantung citanya pada benda-benda. Dan Islam diterima
sebagai agama monotistik di Mekkah. Namun keberadaannya belum menjadi sisi-sisi
kebudayaan yang melahirkan berbagai penciptaan kepada dunia.
Islam hadir di Madinah telah membangun peradaban manusia.
Melalui konsep peradaban Madinah Islam dimunculkan ke berbagai belahan dunia
melalui jalur perdagangan, perkawinan, dakwah, dan utusan-utusan kenegaraan.
Jika saja di Mekkah manusia diperkenalkan dengan
Tuhannya, maka di Madinah manusia diperkenalkan dengan manusia, manusia
didamaikan dengan manusia, manusia diperkenalkan dengan ilmu tata kelola
pemerintahan, manusia diperkenalkan dengan budaya yang beragam, manusia
diperkenalkan dengan persamaan hak, keadilan, ukhuwah Islamiah, dan lain
sebagainya.
Membangun dengan konsep Madinah adalah simbol peradaban
dunia Islam. Sehingga Aceh dan Nusantara mengenal Islam yang mana kehadirannya Islam
berperan sebagai instrumen akomodatif di tengah-tengah masyarakat yang sudah sangat
kental dengan budayanya sendiri. Kemajuan peradaban Islam ada di Madinah, bukan
di Mekkah.
Dengan itu, mengikuti kemajuan peradaban Madinah, maka
pola berpikir masyarakat harus dirubah. Filosofi Mekkah dengan misi tauhidnya
harus dipertajam dengan filosofi Madinah dengan misi kemanusiaannya untuk
mencapai peradaban yang kuat.
Sudah empat belas abad lebih Islam hadir. Dan sudah
beberapa abad lamanya Aceh menyebut dirinya Serambi Mekkah, namun pada
kenyataan tertentu masih dominan menekankan pada pola tauhid, kurang bergerak
membangun peradaban yang jauh lebih baik sebagai bentuk semangat pergerakan
peradaban Madinah. Seharusnya serambi Mekkah menuju Serambi Madinah.
Di dunia Islam, dakwah berkembang dari Mekkah, dan telah membangun peradaban di Madinah. Islam singgah di Aceh dan menanamkan nilai-nilai ketauhidan pada masyarakatnya, serta menjadi perisai terbangunnya peradaban di Nusantara. Jika Aceh yang menjadi pusat di mana Islam tauhid diperkenalkan dan Islam politik didirikan, maka melalui Aceh Islam peradaban Nusantara harus dikembangkan menuju peradaban dunia.
Islam bukanlah objek yang harus diteliti secara acaka-acakan, sehingga keberadaannya menjadi korban cocok sana cocok sini para peneliti, dan lupa bahwa manusia sebagai makhluk kebudayaan adalah kewalian antar ruh pada lintas tugas, keberadaannya mesti menjadi subjek yang mengantarkan kehidupan pada puncak peradaban.
Dengan demikian, Aceh sebagai pelopor Islam di Nusantara harus mengembangkan pemikiran dan kiprahnya berdasarkan peradaban Madinah yang membangun kebudayaan. Membangun khazanah berpikir bahwa unsur kebudayaan mesti dijadikan subjeknya. Kebudayaan yang hanya dijadikan objek penelitian semata, maka posisinya menjadi ornamen yang dicurigai. Seperti halnya Islam Nusantara dicurigai sebagai agama baru. Namun pada dasarnya, keberadaan Islam Nusantara hanyalah prototipe saja dari penetrasi ajaran Islam yang masuk dalam berbagai ranah profanitas. Untuk itu, julukan Aceh Serambi Mekkah harus diganti menjadi Serambi Madinah menyongsong peradaban dunia.
Jakarta, 25 September 2021....
Komentar
Posting Komentar