Leader: Menunda Kenyang-Mendahulukan Penderitaan

 

Mengerti karena membaca hanya menghadirkan cerita, tahu karena paham mampu merasa tanpa banyak bicara. Nabi bersabda "saaqil qaum akhiruhum syarban". Artinya, pelayan suatu kaum dialah yang harus minum terakhir.  Kalimat ini singkat tapi sarat makna. Simon Sinek, menulis sebuah buku judulnya leader eat last. Dalam pengertian yang hampir sama bahwa pemimpin makannya terakhir. Ini bukan cerita hidangan terakhir Yesus, The Last Supper sebelum berakhir di tiang salib, melainkan ini adalah hidangan terakhir bagi pelayan umat; yakni pemimpin.

Tentunya, peristiwa Nabi menuangkan air terakhir dalam gelas sahabatnya yang bernama Abu Qatadah, setelah Abu Qatadah selesai menuangkan air pada sahabat yang lain. Nabi pun berkata pada Qatadah minumlah, Qatadah menjawab saya tidak akan minum sebelum engkau meminumnya terlebih dahulu wahai Rasulullah. Dan Rasul pun bersabda "pelayan suatu kaum minumnya terakhir". Di sini, Nabi tetap memilih minum yang terakhir kali.

Sekilas cerita ini terlihat sederhana tapi sarat makna. Pelayan suatu kaum yang dimaksud di sini adalah pemimpin. Menimbang rasa kepemimpinan Nabi, sahabat, Khalifah, Sultan, dan para raja agak menjauh dari prinsip kenabian terkait dengan makanan bagi pemimpin. Nabi dan para sahabat memberi kaumnya makan duluan, sementara sistem kepemimpinan hari ini menetapkan anggaran makan untuk pemimpin terlebih dahulu, dan setelah merasa kebutuhan untuk pemimpin tercukupi diaturlah anggaran untuk rakyat.

Fasilitas kepemimpinan hari ini juga dihitung berlebihan. Bukan hanya biaya makan atau anggaran rumah tangga pemimpin, pemimpin juga menerima anggaran perjalanan dinas, dan bahkan biaya taktis, biaya tangkis, serta biaya selebritis untuk anak istrinya pun disediakan terlebih dahulu. Dan, sering lupa mengatur anggaran rumah tangga rakyat.

Peristiwa makan terakhir dalam cerita kenabian bukan semata terkait makana minum melainkan terkait pelayanan. Tidak tercatat secara gamblang berapa biaya/upah yang diterima Nabi dan sahabat saat mereka memimpin. Namun, dalam sejarah tercatat dengan baik bahwa Nabi dan para sahabat dalam memimpin lebih mengedepankan pelayanan dibanding penyediaan makanan untuk dirinya. Apalagi dengan upah yang tinggi. Nabi dan sahabat bahkan diakhir masa kepemimpinannya menjadi miskin. Kenyataan ini sedikit sekali dapat dilihat dari pemimpin hari ini dalam berbagai level. Kebanyakannya, setelah berakhir masa jabatan mereka kaya raya sampai tujuh turunan dengan aset di mana-mana.

Cerita-cerita keteladanan Nabi dan sahabat dalam memimpin tidak hanya menjadi contoh melainkan meneladani. Contoh kepemimpinan saat itu terkait dengan upah mungkin tidak dapat dipraktekkan lagi dalam kehidupan hari ini sebab plot anggaran untuk kegiatan kepemimpinan sudah berjalan dan diatur sesuai kemampuan daerah. 

Membawa praktik kepemimpinan Nabi dan sahabat untuk hari ini tidak mungkin, sebab dunia sudah berubah dan sistem pun sudah berganti. Tetapi inspirasi melayaninya dapat dipraktikkan dalam kepemimpinan hari ini. Jika saja model kepemimpinan dan sahabat dalam memandang upah makan bagi pemimpin sedemikian adanya, sesuatu yang luar biasa Nabi dan sahabat telah membangun sebuah tatanan dalam konteks bernegara dengan baik, bahkan wilayah kekuasaannya pun berkembang, dan Islam pun memorjusuar ke berbagai belahan dunia.

Inspirasi melayani inilah yang mesti dicontoh oleh pemimpin hari ini, di mana sebelum pemimpin terpilih memulai pekerjaan biaya makan minum sudah disediakan negara, dan bahkan dilindungi secara undang-undang dan aturan. Bukan hanya biaya makan tetapi juga biaya perjalanan dinas serta biaya taktis, dan yang lainnya. Biaya-biaya istimewa bagi pemimpin dalam pengertian bahwa biaya tersebut untuk dihabiskan bukan untuk dikembangkan.

Berdasarkan kenyataan ini tidak adalagi istilah pemimpin menjadi makelar jabatan untuk posisi tertentu dengan harga bervariasi. Dan, juga tidak adalagi pemimpin menjadi makelar proyek; menentukan fi, mengutamakan yang membayar duluan tanpa melihat potensi perusahaan dan orang yang akan diserahkan suatu pekerjaan. Pemimpin dengan mental makelar sudah menjadi rahasia umum dalam pemerintahan akhir-akhir ini.

Nabi mengambil minuman terakhir setelah menuangkan minuman pada semua sahabat-sahabatnya. Qatadah yang membantu Nabi menuangkan minuman pada sahabat lain adalah orang yang terakhir meminum air sebelum Nabi meminumnya. Qatadah dalam konteks menuangkan minuman adalah pembantu pekerjaan Nabi. Peristiwa Qatadah ini juga menjadi inspirasi bagi orang-orang yang dekat dengan kepemimpinan. Sebab, orang yang dekat dengan pemimpin menadapatkan akses lebih cepat atas kebijakan-kebijakan kekuasaan. 

Realitasnya; juga menjadi rahasia umum dalam kepemimpinan hari ini orang dekat, atau pihak-pihak yang mendapat akses langsung dengan kepemimpinan juga ikut menjadi makelar jabatan, proyek, dan lainnya. Tindakan-tindakan seperti ini melukai hati rakyat dan merusak citra kepemimpinan. Sejatinya, kepemimpinan Nabi dan sahabat makannya belakangan namun pelayanannya lebih duluan. Kenyataannya kepemimpinan hari ini makanan untuk pemimpin dan orang terdekat dengannya didahulukan, sementara pelayanan untuk rakyat belakangan, bahkan banyak yang diabaikan.

Prilaku hidup yang ditunjukkan Nabi dan sahabat tidak semuanya bermuatan contoh, namun juga sarat inspirasi atau disebut juga dengan teladan. Prilaku yang menjadi contoh seperti tatacara ibadah, dan yang lainnya. Sementara tindakan yang menginspirasi salah satunya adalah bagaimana Nabi melayani rakyatnya dalam konteks kepemimpinan. Nabi telah mengambil minuman terakhir dengan mengedepankan pelayanan pada orang-orang terlebih dahulu.

Pemimpin hari ini mengambil/diberikan jatah makan untuk dirinya terlebih dahulu dengan mengenyampingkan pelayanan. Ini perlu direnungi oleh orang-orang yang saat ini sedang memimpin. Kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan tetapi terkait dengan pelayanan dan juga pengorbanan. Nabi dan sahabat tidak hanya melayani tetapi juga berkorban. Melayani adalah sunnah Nabi yang tidak populer disebut-sebutkan oleh umat hari ini. Sehingga sunnah melayani tidak menjadi bagian utama dari kehidupan hari ini. Terutama sekali pelayanan yang diberikan pemimpin untuk rakyatnya.

Pemimpin periode kali ini dilantik tepat di bulan sya’ban. Artinya, pelantikan semestinya dimaknai sebagai hidangan makan saur. Program efesiensi anggaran pertanda puasa dimulai. Hidangan puasa mesti diterjemahkan dalam bentuk efesiensi anggaran yang tepat. Tentunya, sesuatu yang buruk terjadi “efesiensi anggaran hanya digunakan untuk memotong pendapatan banyak orang”, sementara untuk pemimpin malah bertambah. Nabi dan sahabat tidak mempraktikkan yang demikian. 

Saaqil qaum akhiruhum syarban “pemimpin suatu kaum minumnya paling terakhir”. Sebaliknya, jika ada resiko yang harus diemban maka pemimpinlah yang merasakan lebih awal. Bukan malah menggunakan kekuasaan untuk menekan melalui kebijakan. Sejalan dengan itu Umar bin Khattab berkata “jika rakyatku kelaparan maka aku duluan yang merasakan lapar, jika rakyatku kenyang maka aku yang terkahir merasakannya”.

Jakarta, 8 Mei 2025



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Logika Meugom: Dibolehkan Konser dalam Konteks Politik

Logika Politik: Beri Kabar Gembira Bukan Kabar Sedih apalagi Duka

Tu Sop: Sebuah Pengantar Peradaban Politik