Sosok Leader Mapan Daya Pikirnya
Layaknya seseorang
menjadi pemimpin bukan hanya mapan ekonominya melainkan juga mapan cara
berpikirnya. Tetapi, proses politik demokrasi dominan melahirkan pemimpin mapan
secara ekonomi tapi lemah intelektulitasnya, bahkan rendah dzauq/kemampuan dalam
qalbunya. Aceh saat ini merupakan daerah yang mendapat suport dana melalui
Undang-undang Otonomi Khusus. Negara ini
sudah kaya, tetapi tidak memperkayakan rakyatnya melaikan memperkayakan
pejabatnya. Ini berlaku hampir di seluruh daerah; termasuk Aceh. Pasca perdamaian
Aceh dan Republik Indonesia dicantumkan klousul perdamaian bahwa Aceh berhak
memperoleh bagi hasil dari sumber daya alamnya.
Namun, sepertinya
ini berjalan kecuali memperoleh kucuran dana Otonomi Khusus. Otonomi khusus ini
mempunyai limit waktu. Pada saat batas waktu berakhir, semoga saja berlanjut
dengan hak bagi hasil dari sumber daya alam Aceh; di mana menurut pemberitaan
adanya pengerukan minyak di Aceh proses pengambilannya menurut pemberitaan
akhir-akhir ini diangkut melalui pipa bawah laut.
Kekayaan sumber
daya alam Aceh mesti dikelola dengan baik. Maka dengan itu penting bagi
masyarakat Aceh berpikir dengan baik sosok pemimpin yang layak untuk menjaga
kekayaan sumber daya alam Aceh. Dengan demikian, layaknya seseorang menjadi
pemimpin di Aceh bukan karena kemapanan secara ekonomi, juga bukan soal
kemampuan memengaruhi orang lain. Pemimpin itu soal kemampuan berpikir dalam
mengelola banyak hal. Jika pemimpin hanya dilihat dari kemapanan ekonomi maka
yang lebih berhak menjadi pemimpin adalah orang yang sudah lama atau terlebih
dahulu kaya-raya dengan usahanya, dan telah banyak menpekerjakan
orang-orang.
Perlu
menyederhanakan cara berpikir dalam melihat realitas politik, mesti disesuaikan
dengan kenyataan yang dihadapi. Aceh dengan kekayaan yang melimpah tidak perlu
memilih pemimpin hanya karena kemapanan ekonomi, sementara kemapanan
berpikirnya lemah. Bagaiman hasil kekayaan alam dapat dikelola dengan baik jika
modal berpikirnya lemah. Logika ini sangatlah sederhana, tetapi tidak mampu
dipahami dengan baik oleh banyak pihak.
Disaat proses
pergantian pemimpin yang dilihat oleh pemilih adalah kekayaan calonnya,
walaupun daya pikir terhadap pengelolaan sumber daya alam lemah. Berpatokan
pada kekayaan calon pemimpin sama dengan menjual sumber daya untuk memperkaya
para penguasa. Sebab, kemapanan ekonomi akan dijadikan modal untuk
memperebutkan kekuasaan, dan tentunya setelah kekuasaan diperoleh yang
dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal tersebut. Tanpa disadari oleh
masyarakat pemilih sebagian dari mereka juga menggunakan uang daerah dengan cara
mengolah dengan caranya sendiri untuk dijadikan modal kampanye. Bukan hanya
itu, perangkat pemerintahan pun digunakan untuk memengaruhi banyak orang.
Keutamaan yang
dilihat dari pemimpin adalah kemapanan berpikir bukan kemapanan ekonomi. Bagi
yang mengukur ekonomi berperan penting secara berlebihan dalam mengelola
kehidupan umat, percayalah manusia tidak pernah cukup. Apalagi mengukur
pengaturan dunia dengan uang maka manusia tidak akan pernah mampu
membelinya. Seyogianya pemimpin adalah sosok yang mapan secara ekonomi
juga mapan dalam berpikir, serta memiliki rasa yang kuat dalam memahami kondisi
masyarakat yang terus berubah dan tidak berbanding dengan kemampuan kerja
pemangku kekuasaan. Dari sini, pemimpin tidak hanya dilihat mapan secara
ekonomi, mapan daya pikirnya tetapi juga cepat membaca situasi yang terus
menerus berkembang.
Di sini, perlu
ketegasan masyarakat pemilih untuk melihat dengan baik potensi calon
pemimpinnya. Negara ini sudah kaya dengan sumber daya alamnya, maka tidak perlu
lagi memilih orang kaya menjadi pemimpin jika ternyata daya pikirnya lemah
untuk membangun kesejahteraan masyarakat, tetapi tajam saat berpikir membangun
kemapanan atas dirinya. Politik pembangunan hanya berjalan membangun citra
diri, dan tidak berbanding lurus dengan membangun kesejahteraan masyarakatnya.
Negara ini sudah
kaya, dan tidak butuh orang mengaku kaya sehingga merasa layak untuk memimpin.
Itupun jika dilihat secara seksama kekayaan yang selama ini diperoleh juga dari
hasil kerabe-kerabe peng nanggroe (olah mengolah uang negara). Politik dan
uang seperti mata pedang yang membelah pola pikir sehat umat terkait etika dan
moral politik. Lahirnya pemikiran demikian disebabkan cara berpikir masyarakat
yang keliru dalam memahami politik; di mana budaya memilih karena diberikan
uang. Beberapa dekade telah berlaku hal seperti ini, tanpa disadari oleh
masyarakat pemilih bahwa yang demikian adalah wajah suram cara masyarakat
memilih pemimpinnya. Dan pola pikir kemapanan elit tentunya lahir dari
pragmatisme politik dua pihak; elit yang ingin berkuasa dan kurangnya
kepedulian masyarakat terhadap nasibnya sendiri.
Seharusnya pemangku
kebijakan merasa malu mengatakan aman secara ekonomi pada masyarakat yang ia
pimpin mayoritas miskin. Kesadaran pada tahap ini belum dimiliki oleh masyarakat
Aceh. Mereka hanya tahu jika negerinya adalah negeri yang kaya, tidak pernah
peduli harus diserahkan pada siapa pengelolaannya. Calon pemimpin hanya dilihat
dari kemampua ekonomi dan sosok yang viral karena pintar membangun pencitraan
di media, dan tidak melihat dari kemampuan pikirnya.
Di zaman kini begitu
banyak seseorang setelah menjadi pemimpin atau bagian dari kekuasaan kaya raya
dan mapan secara ekonomi. Padahal, sedikit saja jika ingin menghitung
pendapatan mereka didapati banyak kejanggalan dari cara memperoleh kekayaan. Pemimpin
membangun kekayaan ekonomi dirinya yang tidak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat.
Tentunya ini disebabkan karena masyarakat lemah dalam membangun kemampuan pikirnya.
Menunjukkan
kemapanan ekonomi oleh pemimpin sama dengan menunjukkan moral yang buruk. Apalagi
mengumumkan mapan pada masyarakat yang sedang susah secara ekonomi, sementara masyarakatnya
tahu bahwa daerahnya kaya, sementara pengelolaan kebijakan seperti tidak
memihak pada kesejahteraan umat. Disinyalir ada yang salah dalam mengelola aset
publik oleh pemangku kuasa. Hampir tidak ada seseorang setelah memimpin ia
menjadi miskin atau tetap menjadi biasa saja. Negara ini sudah kaya, karena
itulah tidak butuh lagi orang kaya untuk mengelolanya, kecuali kepemimpinan
diserahkan pada orang yang memiliki daya pikir membangun yang kuat.
Tetunya sangat ironis,
disaat rakyat dikatagorikan miskin lalu hadir para pemangku kebijakan mengaku
aman secara ekonomi dan merasa dirinya layak mengurus urusan umat yang jauh
lebih besar tanggung jawabnya. Cara berpikir demikian bagian dari kemunduran
berpikir sehingga kehadirannya tidak layak sama sekali untuk dinobatkan sebagai
pemimpin. Pemimpin selayaknya hadir untuk menampakkan pikiran dan mengukir
program, bukan menampakkan kemapanan di tengah-tengah masyarakat yang sedang
susah secara ekonomi. Hampir di seluruh pelosok negeri menderita secara ekonomi
di tengah-tengah kucuran dana Otonomi Khusus, tetapi elitnya merasa tidak malu
sama sekali mengaku dirinya sudah mapan secara ekonomi.
Dengan demikian, filosofi
lalat/langong perlu dipahami oleh masyarakat pemilih. Sebagai masyarakat yang
menginginkan kesejahteraan atas pengelolaan kebijakan publik mesti
menghindarkan diri sifat seperti lalat. Lalat tidak pernah peduli pada tempat,
lalat tetap berdiri di tempat yang busuk karena menguntungkan baginya. Siapa
pun boleh didukung dan dipilih tapi bukan karena melihat kemapanan secara
ekonomi, melainkan yang dilihat adalah kemampuan berpikir. Masyarakat
pendudkung adala memilih buka menjilat. Seseorang yang mentalnya menjilat
seperti lalat tidak pernah tahu siapa dan bagaimana kepribadian orang yang
mendeklrasikan dirinya untuk berkuasa, asalkan menguntungkan baginya. Siempunya
mental lalat akan tetap hinggap walaupun pada orang yang buruk perangainya.
Politik lalat
tidaklah baik dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan juga
tidak baik dipraktekkan dalam kehidupan sosial. Terkadang seseorang yang
mentalnya seperti lalat suka merekayasa kebusukan di sekitarnya agar ia
senantiasa bisa menjilat. Sulit memang memberi tahu pada lalat bahwa bunga
lebih harum dibandingkan bangkai yang terus membusuk. Aceh sudah kaya dengan
sumber daya alamnya, tidak perlu lagi memilih orang yang merasa mapan secara
ekonomi untuk menjadi pemimpin. Sudah saatnya kepemimpinan diserahkan pada
orang yang memiliki kemampuan berpikir yang kuat dalam rangka membangun kesejahteraan
ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Banjarmasin-Kalsel, 7 Mei 2024
Komentar
Posting Komentar