HAKIKAT HAMBA MENSHALATKAN SEMESTA
Melaksanakan shalat lima waktu, hamba dalam posisi berdiri memadukan dan
menyelaraskan niat, ucapan, serta tindakan, dan menghadapkan jiwa raga kepada
Tuhan Pencipta Jagad Raya.
Hakikat shalat bagi hamba merupakan
lintas keterpaduan dan keterbuhungan antara hamba dengan dengan Khalik,
semesta, dan Tuhan.
Menjadi keharusan bagi hamba untuk memadukan posisi manusia sebagai hamba
dengan kedudukan Allah sebagai Tuhan, dan menyelaraskan posisi manusia sebagai
Khalifah bumi dengan semua makhluk semesta.
Jika saja shalat disebut doa, maka sikap padu bagi makhluk merupakan sebuah
permohonan kepada Tuhan, bukan menuntut agar doa-doa dikabulkan, karena
menuntut-Nya adalah perlakuan yang tidak padu.
Jika sholat disebut sebagai ibadah,
maka sewajarnya sebagai hamba setiap kita harus melayani-Nya tanpa motif
apapun. Jika sholat disebut sebagai dzikir (mengingat Tuhan), maka sewajarnya
sebagai hamba tidak melupakan-Nya tanpa kepentingan apapun.
Sikap padu hamba kepada Tuhan
menyelaraskan antara hukum kejadian (Hakikat) dan proses penyikapan pada hukum
kejadian (Syari’at). Proses penyikapan terhadap hukum kejadian selalu
didasarkan atas rasionalisasi, atau alasan nyata dari setiap hakikat kejadian.
Karenanya, agama yang mesti dipahami secara Syari’at sebagai tata aturan
yang tidak boleh dilanggar, yaitu tata aturan yang berfungsi untuk melakukan
penyikapan yang tepat terhadap fakta kejadian.
Seperti hukum kejadian regenerasi
umat manusia pasca Nabi Adam merupakan proses melahirkan. Tata hukum kejadian
menyatakan bahwa yang melahirkan tentu lebih berjasa dari pada yang dilahirkan.
Kemudian agama syari’at hadir untuk meyampaikan aturan, hak, tanggung jawab dan etika antara yang melahirkan dan yang dilahirkan.
Kewajiban menghormati orang tua merupakan kewajiban tertinggi
setelah kewajiban meng-Esa-kan Tuhan. Ketertundukan kita kepada orang tua
berada satu tingkat dibawah ketertundukan kita dengan Sang Maha Pencipta.
Saat menerima hakikat tugas semesta
hamba sebagai guru akan melaksanakan syariat keguruan sesuai dengan aturan yang
berlaku. Kesukesan hamba bukan karena telah menjadi seorang guru, tetap
bagaimana sang guru menghantarkan
murud-muridnya dapat meraih keberhasilan dalam studinya.
Sehingga hakikat dan syariat hamba
sebagai guru berjalan selaras, padu, dan harmoni. Dengan demikian manusia
sebagai hamba telah menshalatkan hidupnya sebagai guru. Itulah kecerdasan
semesta yang mesti terpatri dalam diri hamba.
Jakarta, 9
Februari 2021.
Komentar
Posting Komentar