HAKIKAT HAMBA MENSHALATKAN SEMESTA

Pengampu kitab Fathul Mu'in Dr. KH. Mohammad Mahrussilah, MA mengutarakan makna shalat bagi hamba. Shalat bukan hanya sekedar prosesi ibadah antara Tuhan dengan hamba, melainkan lebih dari itu bahwa shalat adalah meditasi keterhubungan antara hamba, Tuhan, dan alam semesta.

Makna shalat secara bahasa dimaknai dengan keterhubungan, keterpaduan, dan keselarasan dari dua pihak atau lebih yang saling menguatkan.

Melaksanakan shalat lima waktu,  hamba dalam posisi berdiri memadukan dan menyelaraskan niat, ucapan, serta tindakan, dan menghadapkan jiwa raga kepada Tuhan Pencipta Jagad Raya.

Hakikat shalat bagi hamba merupakan lintas keterpaduan dan keterbuhungan antara hamba dengan dengan Khalik, semesta, dan Tuhan.

Menjadi keharusan bagi hamba untuk memadukan posisi manusia sebagai hamba dengan kedudukan Allah sebagai Tuhan, dan menyelaraskan posisi manusia sebagai Khalifah bumi dengan semua makhluk semesta.

Jika saja shalat disebut doa, maka sikap padu bagi makhluk merupakan sebuah permohonan kepada Tuhan, bukan menuntut agar doa-doa dikabulkan, karena menuntut-Nya adalah perlakuan yang tidak padu.

Jika sholat disebut sebagai ibadah, maka sewajarnya sebagai hamba setiap kita harus melayani-Nya tanpa motif apapun. Jika sholat disebut sebagai dzikir (mengingat Tuhan), maka sewajarnya sebagai hamba tidak melupakan-Nya tanpa kepentingan apapun.

Sikap padu hamba kepada Tuhan menyelaraskan antara hukum kejadian (Hakikat) dan proses penyikapan pada hukum kejadian (Syari’at). Proses penyikapan terhadap hukum kejadian selalu didasarkan atas rasionalisasi, atau alasan nyata dari setiap hakikat kejadian.

Karenanya, agama yang mesti dipahami secara Syari’at sebagai tata aturan yang tidak boleh dilanggar, yaitu tata aturan yang berfungsi untuk melakukan penyikapan yang tepat terhadap fakta kejadian.

Seperti hukum kejadian regenerasi umat manusia pasca Nabi Adam merupakan proses melahirkan. Tata hukum kejadian menyatakan bahwa yang melahirkan tentu lebih berjasa dari pada yang dilahirkan.

Kemudian agama syari’at hadir untuk meyampaikan aturan, hak, tanggung jawab dan etika antara yang melahirkan dan yang dilahirkan. 

Kewajiban menghormati orang tua merupakan kewajiban tertinggi setelah kewajiban meng-Esa-kan Tuhan. Ketertundukan kita kepada orang tua berada satu tingkat dibawah ketertundukan kita dengan Sang Maha Pencipta.

Saat menerima hakikat tugas semesta hamba sebagai guru akan melaksanakan syariat keguruan sesuai dengan aturan yang berlaku. Kesukesan hamba bukan karena telah menjadi seorang guru, tetap bagaimana  sang guru menghantarkan murud-muridnya dapat meraih keberhasilan dalam studinya.

Sehingga hakikat dan syariat hamba sebagai guru berjalan selaras, padu, dan harmoni. Dengan demikian manusia sebagai hamba telah menshalatkan hidupnya sebagai guru. Itulah kecerdasan semesta yang mesti terpatri dalam diri hamba.

Jakarta, 9 Februari 2021.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama