Kuliah Politik Oase Arus Bawah Bersama Profesor Kasem
Orang-orang mengenalnya sebagai penjual obat keliling dengan tutur yang menggelitik ketika menjelaskan berbagai macam penyakit dan obat yang ditawarkannya. Tak pelak candaan-candaan yang berlaku di kalangan masyarakat bawah selalu mengiringi tuturnya.
Begitu mudah menebak pengertian dari kata-kata yang
diucapkannya, dengan menggunakan bahasa Aceh, sehingga komunikasi yang dibangun
tidak asing bagi yang mendengarkannya dari berbagai latar usia.
Profesor Kasem, begitu nama yang telah disematkan
kepadanya. Tentunya gelar Prof., bukan karena beliau sudah mendapatkan nilai KUM
akademis yang tinggi dan sudah dikukuhkan sebagai Guru Besar di salah satu
Perguruan Tinggi. Namun gelar tersebut adalah sebuah ketakjuban dari netijen
dengan ide-ide kritik sosial yang dilontarkannya memancing birahi amarah para
elit politik di Aceh akhir-akhir ini.
Lapak kaki lima ke kaki lima telah memberi ruang dagang
jalanan baginya untuk mengisi ruang publik ekonomi dari sektor obat-obat
tradisional yang diracik olehnya sendiri.
Fenomena meukat ubat memang tidak asing bagi
masyarakat Aceh, namun yang berbeda adalah peran mereka masing-masing. Prof.
Kasem telah mengambil peran ganda, sebagai penjual obat juga sekaligus
membangun narasi politik dan sosial keagamaan.
Politik dan sosial keagamaan merupakan dua ruang publik
yang seksi untuk dibahas. Melalui lapak meukat ubat, Prof. Kasem telah
menyuguhkan narasi kritik yang membangun, di mana para elit itu sendiri
dianggap belum mampu mengantarkan pesan pembangunan kepada masyarakat yang
dipimpinnya. Menurutnya, pemimpin hari ini jangankan melaksanakan
kepemimpinannya, meretribusi hak-hak rakyat saja belum mampu.
Prof. Kasem mencontohkan, program penyaluran gas elpiji
dengan satuan kilo terendah ke masyarakat sering terdapat masalah di lapangan. Begitu
juga dengan elemen penggerak mobilisasi masyarakat bawah jenis premium, masih
kacau balau dalam penyalurannya. Di sini keadilan tidak tersalur dan
diperhatikan sampai ke level bawah.
Beberapa jenis penyakit dan beberapa jenis obat selalu
ada paradoknya. Setiap orang telah ditentukan penyakitnya dan telah ditentukan
obatnya. Penyakit yang sama dengan orang yang berbeda dan cara mengobatinya
tidaklah sama. Di sini Tuhan sangat adil melihat hambanya. Sifat adilnya Tuhan
ini seharusnya diadopsi oleh manusia. Berbuat adillah kamu dengan kekuasaan
yang disematkan padamu. Dan keadilan inilah yang diharapkan oleh masyarakat
bawah.
Untuk itu Prof. Kasem berpesan kepada masyarakat Aceh,
untuk ke depan pilihlah pemimpin yang memiliki ilmu pengetahuan dan nilai agama
yang kuat dalam dirinya. Ilmu pengetahuan di sini dipahami dua, ilmu
pengetahuan agama, dan ilmu pengetahuan kekinian yang menyangkut dengan
ketatanegaraan.
Keberadaan seseorang dengan latar belakang agama yang
kuat terpatri rasa malu dalam dirinya. Ketika rasa malu melekat dalam seseorang,
maka ketika berbuat sesuatu dia akan berpikir banyak hal, terutama sekali dia
akan berpikir akan agamanya. Jika dalam
pelaksanaannya dusta, sama dengan dia telah mendustakan agamanyanya. Di sini,
pemimpin yang berasal dari kalangan ulama memiliki benteng spiritual dalam
dirinya.
Berdasarkan cara berpikir seperti itulah, pemimpin Aceh
ke depan menurut Prof. Kasem harus berasal dari orang yang memiliki ilmu dan
nilai agama yang tinggi. Baik pemimpin
di tingkat satu maupun di tingkat dua, dan pemimpin di berbagai level.
Pada saat Prof. Kasem menyinggung terkait dengan ulama,
Aceh sebagai pemeluk Islam yang kuat, menurutnya ulama di Aceh terbagi tiga. Pertama,
ulama fikih, ulama fikih adalah ulama yang melihat Islam berdasarkan praktek hukum
yang harus ditegakkan atas manusia. Sisi-sisi hukum dalam sebuah negara tujuan
utamanya adalah mendidik moral bagi masyarakat. Keberadaan ulama fikih
memperkuat legitimasi kekuasaan berdasarkan kekuatan hukum.
Kedua, ulama tauhid, ulama yang mengajarkan ma’rifatullah. Tiga
katagori keberadaan Tuhan yang harus dipahami oleh umat manusia, yaitu Tuhan
dalam makna Rububiyah, Tuhan dalam makna Ilahiyah, dan Tuhan
dalam pengertian asma wa sifat.
Ketiga, ulama tasawuf, konteks tasawuf telah menjadi polemik di
Aceh sepanjang abad. Di mulai sejak Hamzah Fansuri dengan wahdatul al-wujud
hingga hari ini dengan konsep tasawuf Insan Kamilnya. Tasawuf semestinya
dipahami lebih luas oleh masyarakat
Muslim hari ini, tidak hanya dipahami sebagai pemurnian diri terhadap
keberadaan Tuhan seutuhnya, lalu dia menjadi asing dengan manusia. Namun
tasawuf harus dimaknai sangat dekat dengan manusia, sehingga keberadaannya
selalu ada dalam ucapan, sikap, prilaku, dan tindakan umat dalam berbagai level.
Ketiga kelompok ulama di atas harus dipahami sebagai
faktor penggerak bagi umat untuk membangun potensi dirinya. Dengan fikih
berdasarkan syariat kita membangun keadilan atas manusia. Dengan tawhid kita
membangun pemurnian diri bahwa tiada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah
swt., dengannya jabatan dan apapun yang dimiliki tidak menjadikan tawhid itu
kotor dipahami manusia. dengan tasawuf kita membangun potensi diri berdasarkan
moralitas yang kuat, sehingga keberadaannya benar-benar membangun akhlak dalam
proses kepemimpinan di Aceh. Dan dengan tasawuf jua kita membangun peradaban
madaniah.
Ulama, umara, dan cendikiawan harus berjalan beriringan. Inilah
numerasi kekuatan politk kita. Ketiga elemen ini harus bersatu. Jangan memberi
celah sedikitpun peran-peran adu domba politik masuk di dalamnya. Kekacauan yang
terjadi dalam proses politik apapun menurut Prof. Kasem adalah hak politik.
Berdasarkan kekacauan itu sendiri adalah haknya politik,
maka dari stekmen Prof. Kasem tersebut dapat ditarik pengertian bahwa, dalam
politik tidak ada musuh yang abadi dan tidak ada teman hakiki. Prinsip politik
adalah menimbulkan kekacauan, jika tidak kacau maka bukan politik namanya.
Sering memanasnya politik di Aceh itu sebuah tanda bahwa
sistem politik di Aceh mencapai level klimak, tapi belum matang. Belum matang
di sini harus dipahami bahwa politik masyarakat Aceh tidak memiliki ideologi
penggerak. Untuk apa polemik politik itu diperankan, jika tidak memiliki tujuan
dasar yang kuat.
Lalu apa yang menjadi kekuatan politik di Aceh, menurut
Prof. Kasem, politik di Aceh yang telah dibangun pasca damai adalah kita harus
kembali kepada makna damai itu untuk apa. Jika damai dipahami untuk menjalankan
syariat Islam, maka upaya ini sudah ketinggalan zaman, sebab pelaksanaan
syariat Islam telah diberikan kepada Aceh sejak selesainya perdamaian Aceh
dengan RI yang berakhir dengan ikrar Lamteh, dan sampai saat ini kewenangan itu
belum dihapus. Coba dicek...Prof. Kasem mempertegas.
Membahas politik di Aceh menurut Prof. Kasem, kita harus
kembali kepada titah dasar perjuangan. Jika titah pasca damai adalah
terealisasinya poin-poin damai dari perjanjian Mou Helsingki, maka segala hal
yang tidak berkepentingan dengan penyelesaian tersebut perlu disingkirkan dari
polemik politik yang kita perankan.
Elit politik pasca damai dari partai manapun asalnya,
seharusnya malu. Sifat malu ini harus ditunjukkan kepada rakyat Aceh, dengan
cara meminta maaf kepada rakyat Aceh dan untuk meneruskan cita-cita dasar
tersebut harus menghadirkan sosok yang baru dan kuat. Bek gejak rakle
gobnyan inan, kasep pegot wok kala periode politek yang ka ulikot.
Akhirnya, stekmen yang menarik dari kuliah politik Prof.
Kasem bersama Institute Prof. Kasem (IPK) yang dihantarkan secara langsung 8
Oktober 2021, Aceh tidak mempunyai
pemimpin yang memiliki rasa malu dalam dirinya dan berani.
Oase politik kepemimpinan harus dibangun dari arus bawah. Pemimpin yang berani meminta maaf kepada rakyat Aceh dengan
mengatakan bahwa “long ka gagal, long ka ipenget le Pemerintah Pusat, dan
long ka lambat dalam meretribusikan kekuasaan kepada masyarakat bawah, long ka
lalo ngon hal-hal yang hana penteng, dan long ka gagal membawa kesejahteraan
bagi masyarakat Aceh”.
Depalapan puluh triliun dana otsus dikucurkan, ekonomi di
Aceh "lage urang mekilah boh. Tatejet urot han ditejet ten, dijet ten hana ta
tejet urot. Pasar di Aceh dit konsumen, ulak barang ho taba"....... Sementara
segmen ekspor tidak ada. Tutup Prof. Kasem.
Jakarta, 9 Oktober 2021......
Komentar
Posting Komentar