Impotensi Politik Sontoloyo ke Indonesiaan
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلَّا أُولُو الْأَلْبَاب
Artinya, “Allah
menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan
As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
: QS.
Al-Baqarah: 269.
Snouck Hurgronje mengungkapkan ulama dari segala waktu terikat
pada ucapan ulama terdahulu, masing-masing dalam kalangan mazhabnya. Syariat
itu akhirnya bergantung kepada ijma’ dan tidak kepada maksud-maksud
firman yang asli. Padahal jelas, baginya, dua sumber utama Islam adalah Kalam
Allah dan Sunah Rasul. Dari dua sumber ini pula para ulama mengambil kesimpulan
hukum. Dari dua sumber utama ini pula kita mesti menyalakan api Islam.
Menurut Bung Karno, Al-Quran dan Hadits itu,
tidak berubah. Bahkan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang
di panas.” Tapi pandangan masyarakat yang senantiasa berubah, berevolusi,
dinamis, mengalir. Masyarakat onta dan Islam sontoloyo
adalah kelompok di mana akal itu seolah-olah datangnya dari setan,
sehingga akal tidak layak digunakan untuk berfikir. Cara berfikir seperti ini
paradoks dengan Alqur‘an yang sering mengunci pada akhir
penjelasan dengan beberapa ungkapan dalam bentuk fi'il
mudhari' di dalamnya seperti yang terdapat pada penghujun ayat-ayat
tertentu, yang berbunyi afala
ta'qilun, afala tafafakkarun, afala
tatadabbarun, ulul al-bab.
Alqur‘an di dalamnya juga terdapat ayat-ayat
yang membangun tentan gagasan politik. Tendensius
politik kaum agamawan bertumpu pada moral dan etika. Ruh politik itu semestinya
dipahami sebagai jalan untuk menata ruang dan waktu dalam kesenambungan antara
ucapan dengan janji, keduanya bertalian dan mesti
bersinergi, sehingga ruh politik itu hidup sebagai instrumen yang melekat dalam semangat penataan masyarakat yang
berkemajuan.
Moral politik menurut Niccolo Machiavelli
adalah sesuatu yang terpisah dan tidak bisa menyatu dalam ruh yang sama,
mengaitkan deistik politik dengan moral akan menjadikan penguasa seperti
macan ompong yang tidak bertenaga dipandang oleh masyarakat. Dengan demikian
politik sebagai penguasa dalam pelaksanaannya harus mengintervensi moral dalam
bentuk apapun. Pemisahan moral
dan politik ini menjadi aikon konsep kekuasaan Machiavelli. Dalam
sejarah perjalanan politik Machiavelian, hukum itu
adalah penguasa itu sendiri, dalam hal ini penguasa bebas melakukan apa saja,
walaupun sikap dan keputusannya bertentangan dengan agama, moral, dan budaya.
Konsep kekuasaan dalam Islam bertujuan
untuk menciptakan keseimbangan di antara dua yang
berkepentingan, yaitu keputusan penguasa dan keinginan masyarakat. Antara dua
kepentingan ini akan terwujud jika politik kekuasaan harus dipisahkan dari
kepentingan politik itu sendiri. Pada tahap ini penguasa dituntut berani
memutuskan sebuah kebijakan tanpa harus mempertimbangkan transaksi politik
pilkada yang selalu mempersulit dan mendilematis keputusan penguasa.
Politik demokrasi yang menjadi acuan dalam
proses suksesi kepemimpinan sering dimaknai
melukai rasa keadilan. Di mana suara terbanyak menjadi patokan dasar
untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Sementara politik identitas juga menjadi sesuatu yang berlebihan
disa‘at agama menjadi taimeng dalam meraih kekuasaan. Padahal
demokrasi dan politik identitas
sama-sama berkeinginan untuk menghadirkan pemimpin terbaik, akan tetapi
akibat dari kesalahan berfikir, kedua sistem berfikir tersebut rentan sekali
terjadinya perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam, politik,
dan moral seharusnya bersinergi dengan baik tanpa harus dibentrokkan dalam
usaha menciptakan kehidupan yang berperadaban sebagaimana cita-cita setiap
anak bangsa.
Radikalisme berfikir dalam memahami fenomena
realitas politik akan mengakibatkan pengaruh politik menjadi wilayah yang
sangat menakutkan terhadap tendensitas persamaan hak dan politik demokrasi. Dalam
hal ini, Azyumardi Azra menggaris bawahi, semakin
radikal sebuah kelompok, disini termasuk agama, sekte, golongan, partai, dan
lain lainnya, maka semakin besar pula terjadinya perpecahan dalam masyarakat.
Politik gagasan dan adu sihir merupakan ciprakan dari cerita masa lalu. Kisah diketika
Fir'un berkuasa, kekuatan individu masyarakatnya ada pada sihir, siapa yang
paling kuat ilmu sihirnya dia yang paling besar peluang nya untuk menguasai
panggung pertarungan. Tukang sihir menjadi dukun-dukunnya Istana. Disa‘at
fir'un memerlukan para penyihir untuk membela atau menampakkan kekuatan sihir
pada diri mereka, maka ahli-ahli sihir ini dengan gagah berani berada dan
membela pemimpinnya. Kekuatan sihir
menjadi power yang menakutkan dikala itu. Sihir bisa merubah keadaan
mudah menjadi sulit, yang sulit menjadi mudah, kasat mata menjadi aneh, yang
aneh menjadi kasat mata.
Dibalik kekuatan sihir hadir seorang Nabi yang
berfungsi untuk merubah kondisi masyarakat yang didominasi oleh penyamun
kebathinan. Di mana mereka bekerja sama dengan Iblis, menjadi masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai peradaban yang normal. Sasaran
utamanya adalah sang raja fir'un. Musa berfungsi sebagai pembawa kalimat
kebenaran untuk menyeimbangi disparitas waktu bagi fir'un,
yang sudah melampau kondisi kefitrahan makhluk,
yang seharusnya menjadi hamba, namun sebaliknya Fir‘un mengikrarkan
diri sebagai Tuhan. Pernyataan ini,
keluar dari mulut Fir'un disaat dia melepaskan hawa nafsunya melampaui batas
kefitrahan manusia.
Sihir dan gagasan adalah dua kata yang berkonotasi makna yang sama,
jika ditinjau dari disparitas waktu yang berbeda. Jika dulu pada masa Fir'un
adu sihir menjadi kekuatan utama bagi seseorang yang hendak berkuasa. Hadirlah
saat itu Nabi Musa as., sebagai testimoni ketuhanan,
supaya manusia memahami kontekstualisasi mu'jizatnya Nabi Musa as., yang
mampu merubah sebuah tongkat menjadi ular besar sebagai simbol perlawanan
terhadap sihir-sihir para peramun istana yang bekerja sebagai pawang penguasa.
Sementara gagasan adalah ide, meng-adu
gagasan adalah meng-adu ide. Today..... adu gagasan dan ide diterjemahkan dalam
ranah politik sebagai program kerja. Calon yang hadir sebagai pemimpin harus
mampu mempengaruhi dengan ide atau gagasan dan program kerja selama lima
tahunan. Semakin bagus dan kuat materi gagasan semakin berpeluang dipilih
menjadi pemimpin sepanjang waktu yang telah ditentukan.
Di sini gagasan SONTOLOYO sama dengan sihir
yang menjelma menjadi ular-ular besar, akan tetapi sangat lemah eksistensinya,
dan akan dengan mudah dimakan oleh
sebuah tongkat seorang utusan, sehingga menjadikan ribuan sihir-sihir dalam
bentuk ular tersebut ditelan dan dimusnahkan oleh sebuah senjata yang menjadi
mu'jizat sang utusan testimoni ketuhanan.
Jika dulu para pemimpin mengadu sihir, zaman kini calon pemimpin
mengadu gagasan. Beruntunglah orang-orang yang mempunyai hairah
pandangan yang mampu membedakan mana sihir, mana pula ide, dan yang mana pula
gagasan atau program. Politik SONTOLOYO adalah sihir yang belum tuntas dipahami
Menyuarakan kemerdekaan berfikir tanpa hoaxs. Hoaxs
sudah membodohkan satu generasi, mematikan narasi rasionalitas anak negeri
dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa, di mana bangsa ini
adalah dunia ketiga yang selalu dihimpit oleh hegemoni dua kekuatan dunia,
kekuatan kapitalis dan kekuatan komunis. Dua kekuatan dunia ini memiliki
teritorial dan pengikut yang berbeda, jika hegemoni kapitalis
dikuasai oleh Amerika bersama-sama eropa didalamnya, sementara hegemoni
komunis dikuasai oleh Rusia bersama asia meliputi china dan sekitarnya.
Indonesia merupakan negara yang gamang dalam menentukan arah kerja
sama internasional. Baik kerjasama dibidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Kedua arah kebijakan dunia
menyisakan hal buruk bagi Negara Indonesia. Ketika negara menjalin kerja sama dengan Barat, rakyat menyerang pemimpinnya dengan kalimat pro Barat, dan
menjadi kapitalis seketika. Sementara
jika rusia dan China yang menjdi arah kerja samanya, masyarakat akan membangun narasi bahwa pemerintah pro China dan menjadi Komunis seketika itu juga.
Kedua arah ini menjadi momok bagi pemerintah disa‘at
langkah kerja sama disampaikan kepada public. Bukan
sebuah dukungan yang didapatkan, malah disambut
dengan narasi
kebencian yang begitu tendensius. Dan narasi kebencian
masyarakat inipun masih juga mau digoreng dan dimanfa‘atkan oleh oposisi yang haus akan kekuasaan.
Kondisi seperti ini selalu yang menjadi korban itu adalah sang pemimpin
sebagai kepala pemerintahan. Label pro asing atau pro China atau pro Barat, pro
kapitalis, dan pro komunis akan melekat
dalam dirinya sampai kapanpun, dan tidak
terhindar kemungkinan setiap apa yang diprogramkan oleh pemerintah akan selalu
dianggap pro asing, aseng, asong, komunis, dan kapitalis. Siapapun pemimpin terpilih
nantinya akan selalu dan pasti selalu harus
melakukan kerja sama, baik dalam bentuk kerja sama regional maupun kerja sama internasional. Tak terkecuali bekerja sama dengan kapitalis maupun komunis, kondisi seperti ini tergantung kondisi politik dunia. Bukan tergantung kondisi negara
indonesia.
Jika sebaliknya, seandai saja
pemimpin terpilih menentukan arah kerja sama internasional dengan negara-negara
Barat,
Amerika di dalamnya pemerintah juga tidak akan terlepas dari cacian warga
negaranya, ketika arah kerja sama disampaikan kepublik, maka publik juga akan merespon
pemerintah pro Amerika dan berpaham kapitalis. Gayung
bersambut dan air pun memecah. Masalah
yang dihadapi pemimpin terpilih akan semakin sulit dimasa kepemimpinannya.
Boro-boro berfikir kemajuan bangsa kadong disibuki untuk menangkis
isu meredam amarah kebodohan yang selalu dipertontonkan disetiap suksesi
kepemimpinan berlangsung. Jika seperti ini terus cara berfikir warganya kapan
cita-cita naik ke Bulan bakal terwujud.
Sudah semestinya masyaraka cerdas berharap,
jika Indonesia adalah negara yang dianggap ketiga hari ini yang mayoritas
penduduknya adalah muslim. Sebagai masyarakat mayoritas sudah semesti bangkit
menciptakan poros dunia baru, sebagai kekuatan ketiga yang mampu berdiri
sendiri tanpa harus bekerja sama dengan negara kapitalis dan komunis, baik
menyangkut dengan ekonomi, politik, tehnologi persenjataan, kesehatan,
pendidikan dan lain sebagainya. Harapan ini sepertinya hannya sebuah mimpi
mengingat kondisi umat Islam yang selalu bertikai sesamanya, hanya gara-gara
makan mempersoalkan dalil, apakah makan dengan tangan kiri atau tangan kanan. menggunakan tangan saja atau menggunakan sendok. Fitnah-fitnah yang menjadi prilaku
dosa besar bagi umat Islam hari ini tidak lagi dilakukan dengan mulutnya melain
di pencet dengan ujung-ujung jarinya.
Membuka cakrawala berfikir politik ke Indonesian
mesti dibarengi dengan pandangan dunia yang terbuka. Pada saat dunia berubah sifatnya dari klasik
menjadi modern, bahkan super modern perubahannya sangat pesat
sekali dari segala bidang. Baik dibidang Ilmu pengetahuan maupun tehnologi
informatika, yang semakin hari semakin berkembang dan menjadi elemen penting
dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Kondisi seprti
tersebut, telah menjadikan masyarakatnya terjebak dalam menggunakan tehnologi
untuk menyerap segala isu yang sengaja dikembangkan untuk merobah tatanan pola
pikir masyarakat Indonesia, dari aksi yang beradap menjadi brutal seketika
akibat tidak menggunakan barometer berfikir rasional dalam menghadapi informasi
keterbukaan dunia.
Jakarta 05 Januari 2020
Komentar
Posting Komentar